Be My Forever
Hari ini sesuai rencana mereka berkumpul di apartement Xena, Xena tahu niat baik teman-temannya—tidak ingin membiarkan Xena sendiri dalam lingkaran kesedihan. Xena sangat menghargai itu, terlepas dari dia yang tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan orang lain, ia merasa butuh ditemani sekarang.
“Dia balikin uang tiketnya gak Xen?” Tanya Zara setelah mereka selesai menonton Stand Up Comedy yang sebenarnya sudah ditonton berkali-kali, sampai rasanya Zara bisa dengan mudah menuturkan kembali setiap punch line-nya.
“Balikin, nih baru transfer.” Jawab Xena.
“Hah tai banget deh dia. Tetep aja tuh duit kebuang. Mangkanya lu sama gue harusnya, enak banget setan dapet lapak nyaman buat nonton Raditya Dika, nempatin tempat duduk lu berdua.” Nara menimpali, membuat Xena bergidik ngeri. “Jangan bawa-bawa setan!”
Mereka tertawa. Hangat. Xena selalu suka moment dia bersama teman-temannya. Cuma mereka yang Xena punya. Cuma mereka.
Di sela-sela keheningan, Xena tiba-tiba mengeluarkan suara, sembari menatap kosong kearah lantai. “Gue udahan…..gajelas banget hubungannya. Kayanya dari awal gue terlalu percaya dan terbuai. Kayanya dia juga gak bener-bener suka, mungkin kebawa suasana? Fallin’ love with the moments?”
“Persahabatan gue yang dari SMP, jadi kaya gini cuma karena perasaan gak jelas. Harusnya gue gapernah setuju.” Lanjutnya, suaranya sedikit bergetar.
Bagaimanapun, kehilangan adalah hal yang paling ia benci di dunia—-tapi entah bagaimana ia selalu merasakannya, lagi dan lagi. Dan dari banyaknya kehilangan yang terjadi, rasa sakitnya masih terasa, ia tidak pernah benar-benar terlatih kehilangan.
Xena menceritakan semua yang ia dan Dean bahas melalui pesan teks pagi ini. Termasuk tentang Axel. Axel sendiri adalah sahabat baik Dean di kampus.
Setelah semua yang ada di kepala Xena tersampaikan, ketiga temannya diam. Zara mengelus punggung tangan Xena, Nara dan Haikal menepuk pelan pundaknya. Berusaha meyakinkannya kalau mereka ada, dan akan selalu ada. Mereka tahu pasti yang dibutuhkan oleh Xena saat ini bukanlah nasihat, bukan juga kata-kata penghibur, ia hanya ingin didengarkan.
“Besok mau ke Bunda?” Tanya Haikal kemudian.
“Iya kayaknya. Kalau kaya gini, emang bawaannya pengen cerita sama Bunda.” Xena menatap potret wajah Bundanya di dinding. Wanita yang tidak pernah luput dari pikirannya.
Rindu, Xena sangat merindukan Bundanya.
“Ayo, gue anter.” Ajak Haikal. Haikal memang tahu pasti yang dibutuhkan Xena saat ini adalah berjumpa dengan Bundanya, menumpahkan segala emosi dan keresahan.
“Gapapa? Jakarta-Bandung kan lumayan Kal?”
“Gapapa, nanti sekalian main. Kita refreshing. Penat juga gue dari kemaren berkutat sama rumus.”
“Gue ikut.” Seru Nara bersemangat.
“Gue juga.” Zara menimpali.
Xena tersenyum lebar. “Oke.”
Zara, Haikal, dan Nara adalah satu dari sekian anugerah yang diberikan pada Xena. Mereka berteman sejak SMA, masa dimana semuanya masih begitu menyenangkan. Dari banyak hal menyakitkan yang ada di hidupnya, Tuhan tak lupa menghadirkan hal baik yang seringkali membuatnya lupa kalau hidupnya tidak baik-baik saja.
Zara memiliki kepribadian yang sangat bertolak belakang dengan Xena, tapi entah bagaimana justru menjadi yang paling dekat, sedekat nadi, lebih dekat dari siapapun yang ada di dunia. Zara adalah orang yang straightforward, tidak suka berbasa-basi dan tidak segan menunjukan ketidaksukaannya akan suatu hal. Sedangkan Xena cenderung tidak enakkan—hal ini juga yang menjadi masalah bagi dirinya sendiri.
Haikal dengan segala misteri dalam kehidupannya jadi yang paling tertutup, tapi secara bersamaan paling hangat. Haikal adalah laki-laki yang seringkali mengejutkan orang disekitarnya, auranya mengintimidasi, tapi paling peduli. Ia akan menjadi orang pertama yang sadar dengan perubahan emosi seseorang—-ia akan jadi orang pertama yang berusaha mengalihkan topik pembicaraan dalam obrolan kelompok ketika melihat ketidaknyamanan dari orang yang bersangkutan. Dia adalah manusia paling peka dan hangat yang pernah Xena kenal. Pribadi yang seringkali membuatnya kagum.
Dilain sisi, Nara adalah yang paling unik. Ia bisa menjadi manusia paling bawel sekaligus paling pendiam. Suasana hatinya berubah secepat kilat. Ketika energinya penuh—-akan sulit untuk membuatnya diam. Yang mengejutkan, dibalik riuh pikuk seorang Naraja, ia adalah pendengar yang baik. Sangat baik. Tatapan matanya seakan berbicara, memberi ruang tersendiri bagi si pencerita untuk merasa nyaman dan diperhatikan.
Xena tahu pasti orang datang untuk kemudian pergi, semuanya perihal waktu. Tapi dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia berharap mereka akan jadi pengecualian dan bertahan untuk waktu yang sangat lama.