Everything In Its Right Place

Sambil meneguk kopi yang sudah dipesannya selagi menunggu Zeta datang, Xena tertawa kecil membaca komentar-komentar warga twitter terkait Ale dan instagram storynya. Kata-kata 'Ale Bucin Era' yang menjadi trending topic membuatnya terkekeh geli berkali-kali. Ditambah lagi banyak meme berseliweran menambah kelucuan dari segala komentar yang diberikan.

Surprisingly, Xena tidak merasa sedikitpun terbebani akan hal ini. In fact, she's happy. Sejauh ini, respon yang diberikan oleh orang-orang terkait Ale dan hubungannya sungguh baik. Pada akhirnya, lagi-lagi ia disadarkan, tidak semua hal yang menjadi kekhawatirannya di masa lalu jadi kenyataan. Sometimes, it's just her, and her wild mind. Sometimes, things are better than expected.

“KAK XENAA!!” Suara nyaring terdengar bersamaan dengan langkah kaki yang mendekat kearah Xena. Xena langsung berdiri dan tersenyum lebar menyadari kehadiran Zeta. “HAIIIII” Jawabnya tak kalah heboh sembari merentangkan tangannya. 5 detik pertama, mereka habiskan dengan saling berpelukan.

“Aku seneng banget bisa ketemu Kakak, serius.” Mata Zeta berbinar, badannya bergerak heboh ke kanan dan ke kiri, rambutnya yang sebahu ikut bergoyang mengikuti gerakan badannya yang bersemangat.

“Aku juga.” Senyumnya melebar. Setelahnya mereka duduk, saling bertatapan selama 5 detik kemudian tertawa.

“Aku speechless. Sumpah, aku seneng banget ketemu Kakak. Maaf aku ngomong itu terus soalnya aku bener-bener seneng.” Xena tertawa mendengarnya, Zeta ternyata sesuai dugaannya, ia anak yang ceria, she's talky, just like how she expected her to be.

“Aku banyak denger tentang kamu dari Ale. Dan aku juga bener-bener pengen banget ketemu kamu, sebenarnya. Maaf ya, aku baru nunjukkin muka aku di depan kamu sekarang.”

“Ah gak apa apa Kak! Ohya Kak, aku penasaran, Kakak kenal Bang Ale sejak kapan sih, Kak? Soalnya aduh serius ya ini pertama kali Bang Ale kayak gini, dia tuh biasanya gapernah mikirin cinta-cintaan, Kak. Mangkanya pas pertama kali aku liat Bang Ale kayak beda gitu aku kaget banget ternyata karena jatuh cinta, aduh kalau Kakak tau nih ya, dia tuh bener-bener senyam-senyum terus tau gak sih di rumah.” Ucap Zeta dalam satu napas, membuat Xena terkekeh geli.

“Hmm, aku tuh kenal Ale sejak dia fanmeet tanggal 2 Agustus itu.”

“Hah?! Gimana ceritanya Kak? eh tapi kalau Kakak gamau cerita gak apa-apa, maaf Kak kalau aku kesannya kepo. Tapi emang bener sih, sejak hari itu Bang Ale anehnya.”

“Gak apa apa kok, aku mau cerita juga. Sebenernya, aku dulu tuh fansnya Ale.”

“HAH?! IYA KAK?!”

“Iya.” Jawab Xena sembari tertawa kecil, geli melihat reaksi Zeta yang sekarang membelalak karena terkejut.   Setelahnya, Xena menceritakan secara garis besar perjalanannya dengan Ale hingga sampai di titik sekarang. Zeta mendengarkan, sesekali mengangguk, kadang ia ternganga, tak heran, cara Ale dan Xena bertemu memang agak unik.

“WOW. Yaampun, that was beautiful. Yaampun. Ternyata cara orang ketemu pasangannya itu bisa macem-macem ya. Kak, yaampun, SERU BANGET.” Seru Zeta sesaat setelah Xena menyelesaikan ceritanya. Xena nyengir.

“Berarti bener, soalnya Bang Ale aneh banget pas abis pulang fanmeet—maksudnya gak kaya biasanya gitu. Ternyata Kakak alasannya, aku jadi tau sekarang.”

“Aneh gimana, Ta?” Tanya Xena penasaran.

“Keliatan seneng banget, senyum-senyum terus, biasanya dia kalau capek suka langsung tepar.”

“Nah, tapi waktu itu senyum-senyum. Ohya, Kakak suka baca buku ‘A Love She Didn't Know She Deserves’ gak sih, yang karyanya Kak Sweet Cakes?” Zeta melanjutkan.

Xena terbatuk sedikit mendengar buku dan nama penanya disebut. “Hmm...iya, aku baca, kenapa Ta sama buku itu?” Jawabnya kemudian, sedikit merasa bersalah karena menutupi fakta bahwa dirinya adalah penulisnya.

“NAH! Berarti karena Kakak ya! Wah terbukti semua. Jadi, pas pulang fanmeet, kata Mas Rama—em managernya Abang, dia tuh langsung ke Gramedia kan, terus pulang ke rumah bawa buku itu sampai 30 biji! dikasih ke aku, soalnya aku punya account reading gitu deh—udah agak banyak followersnya hehehe—nah pas aku tanya dia bilang gini.” Zeta kemudian merendahkan suaranya, meniru nada dan cara bicara Ale. ”Ta, punya reading account twitter kan? bikin giveaway aja nih.”

“Terus aku kaget kan karena tiba-tiba banget jadi aku tanya ‘Lah Bang, ada apaan?’ terus dia jawab lagi”—Zeta kembali merendahkan suaranya, membuat Xena terkekeh geli melihatnya “Ya gak apa-apa, pasti ada aja orang yang sebenarnya mau bukunya, tapi gak ada budget buat belinya, jadi ini aja, biar orang-orang tau buku ini bagus.”

Xena tertegun. “He did that?”

“Yes!! Ternyata karena Kakak suka ya.” Xena tersenyum, matanya berkaca-kaca, terharu dengan Ale dan hal yang dilakukannya—-padahal waktu itu mereka baru pertama kali bertemu. Ale never fails her, he always has a way to amaze her.

“Awalnya Mas Rama bahkan sempat mikir jangan-jangan Bang Ale itu Sweet Cakes!! Hahahahahaaha.”

Xena tertawa kencang sampai kepalanya tertarik ke belakang.

“In fact, he’s Cool Cakes.” Pikirnya dalam hati, ia terkekeh geli.

“Aku sendiri juga fans berat Kak Sweet Cakes! Aku suka banget sama tulisannya. Semua kata-katanya yang menurutku dekat banget sama kehidupan manusia, deh. Raya yang selalu sendiri, Raya yang memilih sendiri karena trust issue, Raya yang jadiin buku sebagai media untuk lari dari dunia nyata, Raya yang pada akhirnya ketemu Dena, teman pertamanya.”

“Kedua, yang pertama Mousse.”

“Ohiya, Mousse!! Hahahaha. Mousse ini cuma kucing, tapi dia inget gak ya semua hal yang diceritain sama Raya?”

“Mungkin. Paling penting, Raya merasa lega tiap dia cerita sama Mousse, meski dia cuma kucing dan kalau Raya cerita cuma balas ‘MEOWWW’.” Xena mengangkat bahunya, kemudian tertawa, Zeta ikut tertawa.

“Aku suka chapter dimana dia bilang dia bingung sama mimpinya. Dia punya mimpi. Tapi merasa gak bisa gapai mimpi itu. That one sentences yang Raya tulis di jurnalnya it hits me. Mungkin…banyak orang yang baru beranjak dewasa ngerasainnya ya, Kak? Bingung sama hidupnya sendiri. Mimpi yang dulu semangat untuk digapai, tiba-tiba jadi terasa jauh.”

Xena mengangguk, “Jadi dewasa kadang artinya kita lagi berjalan menuju ragu, sepi, dan sendiri. Tapi setiap perjalanan pasti ada ujungnya, kan? Kaya Raya yang pada akhirnya tau apa yang dia mau sekaligus bisa dia gapai. Raya yang sadar, beberapa orang end up jadi manusia rata-rata, and that’s okay. Raya yang pada akhirnya tau caranya menerima. Menerima sedihnya, menerima gagalnya, menerima pahitnya. Bukan melupakan, tapi menerima. Sampai akhirnya dengan ajaib justru banyak hal baik datang, termasuk salah satu mimpinya yang udah dia relakan.”

Zeta mengangguk, kemudian tersenyum sembari membayangkan setiap chapter demi chapter.

“Kadang, hal baik justru datang ketika kita udah bisa menerima. Mungkin itu maksudnya, ya? Hidup itu soal penerimaan, ya Kak?”

Kali ini Xena yang mengangguk, ia setuju.

“This book inspires me a lot. Aku berharap Kak Sweet Cakes bakalan nulis buku baru lagi. Kenapa ya Kak Sweet Cakes nulis pakai pseudonym, Kak?”

“Mungkin, karena dia takut sama ekspektasi manusia?”

“Maksudnya?”

“Mungkin, dia takut, dengan dia nulis cerita yang bagi sebagian orang inspiratif, orang expect her untuk selalu jadi orang yang inspiratif. Karena dia nulis karakter Raya yang begini, orang expect dia untuk setidaknya—-jadi orang sebaik Raya.”

“Mungkin, mungkin begitu. Padahal, semua manusia berhak punya emosi, ya. Dan padahal, semua orang punya pasang surutnya sendiri, dalam hal apapun. Ekspektasi manusia emang kadang bikin beban di kepala, sih. Tapi aku beneran pengen tau siapa Sweet Cakes, just so I can hug her and say thank you for her writing. Semoga, dia nulis lagi deh, that’s the least I can hope.”

Xena terenyuh. “Pasti. Pasti dia nulis lagi.”

“Aku juga suka chapter ‘You Are a Very Loving Person’, ketika Raya akhirnya ketemu Dena, orang yang merasa Raya itu manusia spesial, manusia unik, manusia yang dia harus jadikan teman.” Lanjut Zeta.

“Moment dimana Dena terus mencoba untuk mendekat sama Raya, meskipun Raya gak merespon. Dan pas Raya tanya kenapa Dena terus dekat sama dia, Dena cuma bilang ‘I don’t know, I just have a strong urge to be close to you.’ Aku cinta banget sama Dena disini. She can see beauty in everything, even the invisible one.”

Xena tersenyum, ’she can see beauty in everything, even the invisible one’. That’s what Ale said to her.

“Iya. Disini Dena nunjukkin banget kalau kadang pertemanan itu aneh. Frekuensi itu unik. Kamu percaya frekuensi gak, Ta? Sometimes you just meet a person, and you can feel the click. Kaya, pas lihat, Okay, I like this one.”

Zeta mengangguk semangat, “I believe in it. Aku juga merasa gitu pas lihat Kakak sekarang, soalnya.”

Xena tersenyum lebar, “Aku juga.”

“Makasih ya Kak, aku senang Kakak bisa sama Bang Ale. I can see the reason why he loves you that much. Kak, Kakak mau jadi Teman sekaligus Kakak aku gak?”

Adik, sosok yang dia sebelumnya impikan.

“Bukannya udah?.” Jawab Xena setelah 3 detik diam, Xena kemudian mengelus kepala Zeta lembut, membuat Zeta tersenyum dari telinga ke telinga.

“Thank you Zeta, I always wanted a sister. You’re the sweetest.”

“Kak, aku boleh main ke apartement Kakak gak? Aku penasaran, kenapa Bang Ale betah banget!!”

“Hahahahaha—-boleh, kamu Mau nonton Stand Up Comedy gak?”

“Hah? Kakak suka itu? Boleh!! Aku belum pernah.”

“Oke, kita tonton itu!! Seru banget tau! Ale sekarang jadi suka juga.”

And once again, she’s thankful for every close doors. She’s thankful for her failure in her latest relationship. She’s thankful that she and Dean couldn’t make it. She’s thankful. She’s thankful for Ale. Because since she met Ale, everything in its right place. Dia punya Ale, dia punya bahagianya, sekarang, dia punya Adik, sosok yang selama ini hanya bisa ia bayangkan. Segala perjalanan menuju dewasanya yang penuh ragu dan sepi pada akhirnya berubah jadi rasa yakin yang pasti dan keramaian yang membahagiakan. Mungkin, sekarang dia sudah akan sampai pada ujungnya? Everything is starting to make sense. She hopes it really is destiny that will bring her to somewhere good.