Halfway Dead, Partially Alive
Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi ketika mereka berempat sampai di tujuan. Tempat ini tidak terlalu banyak berubah, hanya lebih rimbun karena ditanami oleh beberapa pepohonan, mungkin supaya yang berkunjung lebih nyaman dan tidak merasa kepanasan ketika mengunjungi yang terkasih. Sudah 1 tahun setelah terakhir Xena berkunjung. Xena merasa bersalah karena selama ini selalu menghindar untuk datang.
Xena berjalan pelan, diikuti oleh ketiga temannya di belakang. Mereka yang sebelumnya riuh di perjalanan langsung diam setelah sampai ke tujuan. Memberikan Xena ruang sendiri.
Xena menghentikan langkahnya, menoleh kearah tiga temannya yang kemudian ikut berhenti. “Kalian nggak usah ikut juga nggak apa apa kok, tunggu di mobil aja, nggak akan lama.”
“Nggak apa apa Xen. Tapi, kalau lo lebih nyaman sendiri juga kita gapapa kok di mobil.” Jawab Haikal yang disetujui oleh anggukan Zara dan Nara.
“Santai, yaudah ayo. Bunda lebih seneng kalau banyak yang ngunjungin pasti.” Xena kemudian melanjutkan langkahnya. Dia diam, tapi pikirannya penuh. Banyak memori yang selalu terlintas tiap dia mengunjungi tempat ini. Yang indah dan yang buruk, semuanya berlalu lalang.
“Bun, Xena pulang.” Ucap Xena dalam hati. Xena mengusap nisan bergores tinta hitam di hadapannya, kemudian bertumpu di atas tanah. Ketiga temannya berdiri di belakangnya, berdoa dalam hati.
Meski sudah mencoba untuk menahan, tetes demi tetes air mata mulai jatuh perlahan, mengaliri pipi Xena yang sedari tadi sudah merah.
“Maaf Bun, maaf karena masih lemah.” Xena bergumam dalam hati, sambil terus mengusap pelan nisan dengan goresan nama Ibundanya. Berharap yang diajak bicara bisa mendengar dan merasakan.
“Maaf Bun, maaf karena belum bisa jadi Xena yang kuat.”
“Maaf juga karena Nana masih belum bisa maafin Ayah, Nana buat Bunda kecewa ya? Padahal Bunda selalu bilang untuk meluaskan hati dan membuat hati Nana penuh maaf.”
“Maaf Bunda…semuanya masih berat buat Nana.”
Zara maju sebentar untuk memberikan tissue kemudian kembali ke posisi semula. Mereka bertiga hanya diam di belakang Xena, saling mengucap doa dalam hati masing-masing.
Dulu, waktu Bunda divonis kanker oleh Dokter, dunia Xena serasa runtuh. Xena kemudian menjadi saksi perubahan fisik Ibundanya, tubuh yang semula sehat dalam sekejap terlihat mengkhawatirkan. Setiap malam Xena selalu ketakutan, sekolah pun jadi tidak tenang, mungkin itu juga alasannya dia hanya mempunyai 4 teman di SMA. Dia tidak sempat bahkan untuk mencoba berteman dengan yang lainnya.
Xena masih ingat betul permintaan egoisnya pada Tuhan waktu itu, Xena ingin Ibundanya sembuh, Xena ingin Ibundanya hidup lebih lama daripada dirinya, kalau perlu ia saja yang mati saat itu. Xena tidak ingin ditinggalkan. Baginya, lebih baik meninggalkan daripada ditinggalkan, ia tidak ingin merasakan sakitnya. Namun pada akhirnya permintaan itu tidak dikabulkan, Tuhan lebih sayang Bunda.
“Bunda gimana disana? Semoga Bunda baik. Nana kangen, Bun. Nana mau ketemu Bunda, main ke mimpi Nana, ya?”
“Bunda jangan sedih ya, tapi Nana mau jujur, Nana bingung sama hidup Nana, kok gini ya Bun? Nana masih hidup, tapi nggak merasa hidup.”
Xena pernah baca dalam sebuah buku, katanya, banyak manusia yang dikubur saat tua namun sebenarnya sudah mati di umur 20-an. Dulu Xena tak begitu mengerti maksudnya, namun sekarang dia bisa memahami.
Hidupnya diambang. Dia masih hidup, tapi tak merasa hidup. Halfway dead, partially alive. Apa mungkin karena dia tidak bersyukur? Atau karena hidupnya memang berat dan dia belum bisa sepenuhnya kuat? Yang pasti, jiwanya bagai hilang sebagian sepeninggal Ibundanya.
“Tapi Bunda selalu ingetin Nana buat jadi anak yang kuat kan Bun? Nana bakal berusaha lagi, supaya Bunda tenang dan senang disana.…pelan-pelan nggak apa-apa ya Bun? Ohya, Nana juga punya 3 sahabat baik, sekarang mereka ikut kesini…ikut doain Bunda.” Xena mengusap air matanya, kemudian mengangkat kedua tangannya lalu berdoa dengan khusyu, mengharapkan tempat terbaik untuk Bunda disisiNya.
Xena berdiri setelah selesai berdoa, Zara langsung merengkuhnya kemudian mendekapnya. Hatinya ikut sakit melihat Xena, dia turut menyaksikan jatuh bangun hidup Xena, segala kesulitan dan kesedihan yang ia lalui, dia tahu. Dia pun tahu pasti, kehilangan Bunda adalah patah hati terbesar bagi Xena.