I Find Your Laugh Therapeutic

“Na gue udah di parkiran. Apart lo lantai berapa nomor berapa?”

Pesan teks dari Ale siang itu membuat jantung Xena berdegup sangat cepat. Ia gelisah, sedikit menyesali keputusannya untuk bertemu Ale secepat ini karena sejujurnya ia masih belum siap.

Ale langsung berjalan kedalam lobby apartement dan masuk lift untuk naik menuju lantai tempat Xena tinggal.

Ia juga gugup, sangat gugup. Bagaimanapun, ini kali pertamanya sedekat ini dengan wanita untuk tujuan benar-benar mendekatinya. Ia tidak mau membohongi dirinya sendiri, tujuannya jelas, ia tidak pernah seyakin ini sebelumnya.

Ia ingin Xena, ia mau Xena, dan bukan hanya sebagai teman. Sebenarnya selama ini ia tidak terlalu memikirkan perkara jatuh cinta dan semacamnya. Baginya, prioritas utama adalah keluarga dan karirnya. After all—he’s an ambitious person. But it’s different, dia merasa pertemuan ini bukan tanpa sebab. Ia yakin ketiadaan ragunya ini bukan untuk alasan yang tidak jelas. Ia merasa…tidak aneh baginya untuk secepat ini menyimpan rasa pada Xena.

Ia tidak mudah suka dengan orang lain, namun kali ini perasaannya begitu menggebu. Dan hal tersebut justru membuatnya yakin kalau Xena orangnya. She’s the one.

Falling in love is not in his priority, but it is if it’s with Xena. That’s what he thinks.

Ale membunyikan bel setelah sampai di depan pintu apartement Xena. Sang pemilik kemudian membuka pintu dengan cepat setelahnya, seakan sudah menanti kehadiran Ale sedari tadi.

“Masuk Le.”

Setelah masuk, Ale melihat sekeliling. Suasana apartement Xena sesuai dengan yang ia bayangkan—-it’s just soooo her.

Warna dinding coklat tenang dengan aroma candle sandalwood yang mengisi ruangan. Harum. Aromanya sangat menggambarkan Xena. Dari pintu langsung terlihat dapur Xena yang rapih dan bersih dengan nuansa kecoklatan dan beberapa tanaman hijau.

Di atas meja makan sudah tertata sushi dan beberapa makanan ringan lain yang Xena buat sendiri.

Berdekatan dengan dapur, dilihatnya sofa coklat yang terletak di depan televisi. Kemudian ada 2 pintu yang ia yakini kamar dan juga kamar mandi dari apartement Xena.

“Rumah lo rapih banget, Na.”

“Sebenernya gak gini banget. Ya gue rapihin dulu lah tadi. Tengsin banget kalau idola gue kesini terus rumahnya berantakan.”

Ale hanya tertawa. Sial, dia salah tingkah.

Setelahnya, mereka asik makan siang di meja makan sembari mengobrol. Tak disangka, segala kegugupan yang sebelumnya ada seakan sirna. Mereka berbincang seperti kawan lama.

“Lah, Haikal?” Seru Ale kaget setelah dilihatnya foto Xena dan ketiga kawannya pada bingkai yang terletak di sebelah televisi. Kali ini mereka sedang saling berbincang dan duduk di sofa coklat.

“Hah? Ale kenal Haikal?”

“Dia adek sepupu gue, Na.”

“HAH?! Haikal sahabat baik gue, Le.”

“Hahaha sumpah, gue beneran speechless sekarang. Dunia sempit banget ya, Na?”

“ALEEE. Waktu itu Haikal pernah kasih tau dia sodara lo, tapi gue gapercaya dan malah bilang dia halu. Mana dia iya-iya aja lagi.”

“Hah? Yaampun Na.” Ale tertawa keras kali ini, Xena nyaris tidak percaya tawa yang selama ini sering ia putar-putar di youtube demi meningkatkan moodnya bisa ia lihat langsung secara live——dan lagi, tawanya karena dia.

“Tapi emang gitu kan dia anaknya.” —Lanjut Ale setelah tawanya mereda.

“Berarti Na, yang waktu itu lo cerita di direct message instagram pas di RS, itu kita nyaris ketemu gak sih? Temen yang lo maksud…Haikal berarti?”

“Iya bener Le..gila berarti kalau gue ga ke kantin gue udah papasan sama lo di ruangan mamah Haikal ya.”

“Sumpah. Gue jadi makin yakin ini bukan cuma kebetulan doang kita ketemu, Na. Pasti ada maksudnya, don’t you think?”

“I—guess???”

“Haikal juga yang ngenalin gue sama lo, Le. Maksudnya, awal mula gue suka sama lagu lo dan sama lo—-as an idol. Ya itu karena Haikal.”

“Dia harus gue traktir apa ya Na? Biar jasanya dia terbayar. Aduh gabisa sih tapi, jasanya gede banget.”

Xena hanya senyum tipis, kali ini ia yang dibuat salah tingkah.

“Berarti hari itu kita sedih karena hal yang sama ya, Na.”

“Tapi Na, sekarang Haikal udah mulai buka dirinya. Dia jadi lebih terbuka buat pikirannya.”

“Sebelumnya dia bahkan gatau cara cerita kalau dia lagi sedih, Na.”

“Hidupnya jahat, tapi dia gatau harus gimana luapinnya.” Ale menatap jendela, tatapannya memperlihatkan banyaknya hal yang sedang ia pikirkan.

“2 hari setelah itu, Haikal yang gak pernah minta apa-apa ke gue juga tiba-tiba minta dibikin sushi, Le.”

“He’s trying.”

“Iya. Duh jadi sedih. Haikal tuh baik banget, Le. Dia tuh apa ya…emang sih kadang kata-katanya kasar dan blak-blakan banget.”

“Tapi dia selalu punya cara buat orang nyaman, iya kan?” Potong Ale. Xena mengangguk.

“Makasih ya Na, udah baik sama adek gue.”

“Gue seneng karena tau kalau adek gue ternyata punya sahabat baik…dan beneran peduli sama dia. He needs that. Walau dia gak nunjukkin dia butuh dan sayang kalian.”

“Iya gue tau Le.”

“Makasih anak baik…” ujar Ale lagi, kali ini sembari mengacak-acak rambut Xena pelan.

Sentuhan pertama Ale.

Might sound cliche but F butterflies. She feels the whole zoo.

“Makasih juga udah jadi Abang yang baik, Le.” Jawab Xena setelah mengumpulkan kesadarannya, jemarinya mengusap punggung tangan Ale yang masih ada di atas kepalanya.

Setelahnya, mereka hanya saling melemparkan senyum, salah tingkah dengan tindakan masing-masing.

“Na. Gue mau coba itu dong—nonton Stand Up Comedy. Lo pernah bilang punya DVD nya kan?” Ujar Ale kemudian setelah beberapa saat diam.

“Serius Le? Ah ayo!! Sumpah gue penasaran kalau lo ketawa nonton stand up gimana. Selama ini gue tonton ketawa lo tiap gue sedih Le.”

“Hahahaha gua ganyangka ketawa gue bisa ngibur orang lain.”

“Sumpah. Asli. Nular. Oke sekarang juga gue setel.”

Selama menonton, apartement Xena dipenuhi oleh suara tawa menggelegar Ale dan dirinya. Beberapa kali Ale berguling di lantai saking gelinya dengan tontonan ini. Beberapa kali juga ia tertawa sembari menepuk-nepuk pelan pundak Xena yang duduk di sebelahnya.

“Aleeeeee, gue gatau harus ketawa karena stand up nya atau karena ketawa lo.” Seru Xena kemudian sambil tertawa. Air matanya sampai keluar saking lucunya.

“Kayanya Le, kali ini, tawa beneran bikin gue sembuh.” pikirnya kemudian.

I watched you laughing on youtube videos because it was therapeutic. I never thought that laughing together with you would be this addicting—hell even I never thought that I’d be laughing with you.

”Ale, your laugh is therapeutic. And turns out, laughing with you is the best therapy.”

“Le, will you catch me if I fall way too deep into you?”