I Hope, We Won't Have an End
Ale mengelus puncak kepala Xena dengan satu tangannya, tangannya yang satu lagi sibuk mengendalikan setir kemudi. “Ngantuk sayang? Tidur aja kalau ngantuk.” ujarnya lembut.
Xena menggeleng. “Nggak deh, aku lagi mau ngobrol sama kamu, tapi maaf ya kalau aku agak nggak jelas ngomongnya nanti.” jawabnya dengan suara cukup parau—jelas terlihat kalau Xena memang sudah mengantuk, Ale terkekeh kemudian menyibak rambut Xena, merapihkannya kebelakang telinga, sebelum akhirnya kembali memegang setir dengan kedua tangannya.
Mereka pulang dari rumah Xena pukul 9 malam. Sebenarnya, mereka sempat berniat dan ditawarkan untuk menginap. Namun Xena tiba-tiba dikabari ada meeting penting besok pagi, membuat mereka terpaksa harus kembali ke Jakarta malam-malam.
“Tadi aku akhirnya ngobrol sama Mamah. Akhirnya aku tahu sedikit hal tentang Mamah, termasuk makanan kesukaan Mamah. Mamah paling suka ikan gurame ternyata. Ya meskipun kita masih canggung sih. Aku masih belum bisa leluasa.” Xena mulai bercerita.
Ale menoleh sebentar, mencoba melihat ekspresi Xena, kemudian kembali memfokuskan pandangannya ke hamparan jalan di depannya. “Kamu udah hebat banget karena udah coba sayang. Nanti, kita coba lagi oke? It’s okay, let’s do it slowly. Kan kita ada rencana rutin ke Bandung. Nanti kita lebih banyak ngobrol sama Mamah ya, sama Ayah juga.” Xena tersenyum, kemudian mengangguk.
“Kamu ngobrol apa aja sama Ayah? Lama banget tadi berduanya?” Xena membuka kotak camilan yang dibawanya kemudian memasukan biskuit tersebut ke mulutnya, tak lupa ia juga menyuapi Ale di sebelahnya.
“Hmm. Rahasia.” jawab Ale sembari mengunyah.
“Lah kok gitu, tapi….lancar kan?”
“Lancar kok. Ayah kamu benar-benar baik, Na. Kaya yang kamu bilang, he’s a sweet sweet guy.” lanjutnya lagi. Ia tidak bilang tentang tatapan sendu Juna, atau tentang perasaan janggal yang ia rasakan akan hal itu. Xena tersenyum, merasa lega.
“Ohya, aku udah bilang ke Ayah kamu, soal niatku, soal niat kita. Aku udah minta izin ke Ayah kamu.” ujar Ale, membuat Xena menoleh, matanya berbinar—meski dengan sedikit tatapan cemas.
“Ohya? Terus Ayah jawab apa?”
“Selama kamu senang, katanya. Dan selama kita yakin.” jawab Ale, membuat mata Xena semakin berbinar.
“Lampu hijau dong?” Ale mengangguk, kemudian menoleh kearah Xena sambil tersenyum. Xena kembali memasukan biskuit cokelat ke dalam mulutnya, kemudian mengambil biskuit lagi dan menyuapi Ale. “Aku tadinya mau ngomong, tapi jujur aku bingung ngomongnya gimana. Ternyata kamu yang duluan ngomong.”
“Kan aku yang memang seharusnya minta izin, sayang.” Xena manggut-manggut, tersenyum makin lebar, kemudian terkekeh. Membuat Ale menoleh lalu ikut tertawa kecil. “Kamu kenapa? Tiba-tiba ketawa?”
“Aku seneng mikirinnya.” jawab Xena yang ikut menoleh kearah Ale.
“Mikirin apa?”
“Mikirin kita.”
Lagi, Xena mengembalikan kata-kata Ale. Ale melirik kearah Xena, dilihatnya Xena yang menatapnya dengan senyuman lebar—setengah menggoda. Xena tersenyum ketika Ale nyengir salah tingkah. “Salting, ya?”
Ale tertawa, dan menggeleng pelan, mencoba terlihat normal, pura-pura tidak salah tingkah.
“Bohong banget.” goda Xena lagi, kali ini sembari menusuk-nusuk pipi Ale dengan jari telunjuknya. Membuat Ale tertawa kencang. “Oh God, Xena. I’m driving now. Kamu bener-bener jago banget sekarang bikin aku salting sumpah.” ujar Ale yang kemudian mengacak-ngacak rambut Xena gemas. Xena tertawa sampai kepalanya tertarik ke belakang.
“Makasih ya, Ale.” gumam Xena setelah puas dengan tawanya.
“Buat?”
“Buat semuanya.”
Ale tersenyum. Rasanya, malam ini, seperti banyak malam lainnya bersama Xena, senyum enggan untuk pergi. He doesn’t want this kind of feeling leave his body, he clearly wants to stuck with her forever—for the rest of his life.
“Aku juga makasih kalau gitu.” kata Ale.
“Buat apa?”
“Buat semuanya.” balas Ale, ia tersenyum, senyuman paling lebar yang ia keluarkan malam ini. Ia kemudian menoleh, menatap Xena yang juga memandangnya dan secara tiba-tiba mereka tertawa—tawa dengan arti yang mungkin hanya bisa diketahui oleh mereka sendiri. Sometimes, they look at each other like they have their own language. Without saying anything, without saying any word, they understand the language.
Xena melihat keluar jendela. Memperhatikan hamparan pohon di samping jalan. “Ale, aku tiba-tiba mikir, what if things go wrong between us? Gimana kalau nanti aku jadi menyebalkan, atau kamu jadi menyebalkan setelah menikah, atau kita jadi sama-sama menyebalkan. Terus kita jadi orang tua menyebalkan.” Ale tersenyum tipis mendengar penuturan Xena. Xena and her endless what ifs—dia mulai terbiasa dengan hal itu.
“Kita bisa aja jadi menyebalkan. Tapi for some reasons I’m pretty sure kita nggak bakal lama-lama jadi sama-sama menyebalkan.”
“Kamu seyakin itu?”
Ale mengangguk. “Kalaupun nanti aku jadi menyebalkan, aku bakalan coba inget lagi hari ini, malam ini, hari dimana aku minta izin sama Ayah kamu untuk nikahin kamu. Hari dimana aku mulai melangkah untuk pegang tanggung jawab yang baru.”
Xena tersenyum. “Kalau gitu, aku juga bakal inget malam ini kalau aku jadi menyebalkan. Malam dimana kamu bilang kamu bakalan coba ingat malam ini. Means—you’ll try. So I’ll try my best for you too. Kamu paham nggak? Aku agak ngaco. Tapi aku masih mau ngomong.”
Ale tertawa. “Aku paham kok.”
“Kita bakal baik-baik aja nggak ya, Le? Nanti? Dan selamanya? Ending kita bakalan kaya gimana, ya?” tanyanya lagi. Loving someone is indeed a sweet sweet thing for her and maybe for everybody. But it also brings much much worry. It creates fear in you that you never knew before you met them. The fear of losing them, the fear of getting hurt, the fear of hurting them.
“Love is definitely never safe for everyone, but it’s absolutely worth it—for us. And back at it again, I’ll try my very best for you. I’ll try my very very best to keep you safe, to keep us safe.”
Xena mengangguk, lalu tersenyum lega. Kekhawatiran tak beralasan yang tiba-tiba datang dalam dirinya menghilang, digantikan oleh perasaan hangat yang menjalar kesekujur tubuhnya.
Ale kemudian menjulurkan tangannya dan menggenggam tangan Xena, membawanya ke atas pahanya. “And about the ending. Actually, I hope we won’t have an end.”