I Want You to Have No Regrets In Life

//Cw: Kiss

Xena yang sedari tadi pagi hanya merebahkan tubuhnya di kasur menengadah, memandang langit-langit, pikirannya mengudara, kepalanya rasanya penuh sekali. Ia masih bisa mendengar percakapannya dan Juna kemarin lusa, percakapan yang rasanya tidak bisa berhenti ia pikirkan. Percakapan yang membuat keyakinan dalam dirinya runtuh, digantikan oleh rasa ragu yang menenggelamkannya dalam perasaan bersalah.

“Anak Ayah ternyata udah gede ya, Ayah juga udah tua, udah 58 tahun. Ternyata Ayah sebentar lagi 60 tahun, cepat banget waktu ya, Na?” Xena menatap Ayahnya yang bersandar setengah tidur di kasurnya. Xena hanya diam, menunggu Juna melanjutkan.

“Setelah Bunda kamu meninggal, Ayah bingung, kok bisa Bunda urus semuanya? Kok bisa Bunda melakukan keduanya—-jadi istri yang baik, dan jadi Ibu yang baik. Sekarang kamu sudah hampir jadi istri, mungkin hampir juga jadi Ibu, wanita memang luar biasa. Ayah harap kamu bisa belajar dari Bunda kamu yang hebat. Kamu sudah benar-benar yakin kan, Na?”

Xena berpikir sejenak, kemudian mengangguk, mengiyakan, membuat senyuman tipis tersungging di bibir Juna. “Anak Ayah benar-benar sudah besar.” gumamnya pelan.

“Ayah belum sempat minta maaf sama kamu secara langsung ya, Na? Maafin Ayah ya, kalau keputusan Ayah untuk nikah lagi itu egois. Maafin Ayah, waktu itu nasehatin kamu dengan cara yang kasar. Maafin Ayah, belum bisa jadi Ayah yang baik. Harusnya Ayah ngerti kamu butuh waktu untuk menerima Mamah. Harusnya Ayah lebih ngertiin kamu. Maafin Ayah Na, ternyata hidup tanpa Bunda kamu berat untuk Ayah, ternyata susah jadi orang tua tanpa Bunda kamu, Na.”

Seperti dua manusia yang hilang dan berusaha untuk menemukan jiwanya lagi, mereka berdua saling tatap. Xena tidak dapat menutupi fakta bahwa dirinya sedih, sangat sedih. Matanya mulai berkaca-kaca, memikirkan betapa banyak waktu yang ia habiskan tanpa saling mengabari, betapa banyak waktu yang ia sia-siakan. Ia lihat lagi wajah Ayahnya, kulit wajahnya yang mulai mengendur, keriput di area sekitar mata yang juga sudah terlihat jelas. Ia sempat lupa, selagi ia bertumbuh menjadi dewasa, Ayahnya juga ikut menua.

“Nggak Ayah. Nana juga bukan anak yang baik, belum bisa jadi anak yang baik, maafin Nana juga ya?”

Juna menggeleng. Menegakkan posisi duduknya. “Ayah banyak buang waktu Ayah ya Na. Harusnya di masa-masa kamu tumbuh jadi dewasa Ayah banyak disana. Harusnya Ayah lihat bagaimana kamu jadi mahasiswi, tahu banyak hal yang kamu lalui di kampus, gimana proses kamu cari kerja, gimana hari-hari kamu di tempat kerja. Harusnya Ayah berperan jadi Ayah yang baik, di masa-masa kamu tumbuh dewasa.”

Membicarakan hal-hal ini sama sekali tidak ada dalam rencananya. Sebelumnya, semua ini hanya beputar-putar di pikiran Juna. Penyesalan, kesedihan, perasaan bersalah, dan perasaan sedih karena waktu yang banyak terlewatkan begitu saja. Namun baginya, saat ini adalah waktu yang cukup tepat untuk membicarakan semuanya. Untuk berbicara mata ke mata dengan anak semata wayangnya. Mengungkapkan penyesalan sekaligus meminta maaf. “Sekarang kamu sudah mau nikah, nggak kerasa ya? Kamu sudah gede ternyata. Ayah menyesal beberapa tahun belakangan ini kita benar-benar jauh. Rasanya, kalau Ayah bisa mengembalikan waktu, Ayah pengen habiskan banyak waktu Ayah sama kamu.”

Juna tersenyum tipis, kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Sebenarnya Ayah sempat berencana ajak kamu untuk tinggal di Bandung lagi. Ayah kangen. Kangen satu rumah sama Nana, kangen liat Nana setiap hari, kangen diceritain sama kamu soal banyak hal. Tapi nggak apa, Ayah senang banget kamu sudah menemukan laki-laki baik yang kamu cintai. Nanti kalau kamu sudah menikah pun, jangan bosen kunjungin Ayah sama Mamah disini ya?” ujarnya tulus, ia memandang Xena lekat, seolah itu adalah pertemuan terakhir. Mungkin ini yang dirasakan setiap Ayah ketika akan melepaskan anak perempuannya kepada laki-laki yang mau meminangnya, perasaan kosong dan sepi—sekaligus senang. Perasaan yang rasanya menyatu jadi satu, sampai sulit sekali dideskripsikan. Setelah itu, Xena hanya diam, mencoba untuk memproses semua hal yang berputar di kepalanya.

Xena memegang kepalanya yang serasa akan meledak, rasanya penuh sekali. Ia kemudian bangkit dari kasurnya, berjalan kearah kaca di sudut kamarnya. Ia menatap refleksi dirinya, memandangi wajahnya yang kusut karena 2 hari ini tidak bisa berhenti menangis dan berpikir. Banyak keraguan yang ia rasakan sekarang. Setengah dari dirinya berpikir untuk menunda waktu pernikahannya—-6 bulan entah bagaimana jadi terasa begitu cepat sekarang. Ia mulai berpikir untuk kembali tinggal bersama Ayahnya, memperbaiki hubungan mereka yang sempat renggang, menebus banyak waktu yang sempat terbuang. Meskipun Ayahnya tidak memintanya, ia menyadari bahwa dalam lubuk hatinya yang terdalam ia juga merasakan banyak penyesalan karena hubungan mereka yang jauh selama ini. Setengah dari dirinya lagi memikirkan kekecewaan Ale jika ia memilih untuk melakukan hal tersebut. She’s the one who brought that conversation—how can she let him down with that decision?

Ia merasa sedikit pathetic—sekaligus bodoh. Bagaimana bisa dia merasa yakin dalam waktu singkat, dan ragu dalam waktu yang sama singkatnya. Semua angan-angan dan rencana tentang pernikahan 6 bulan lagi seakan menguap. Jika ia jujur tentang keraguannya menikah cepat kepada Ale, apa yang akan terjadi? Memikirkan worst scenarios yang mungkin terjadi membuatnya takut untuk bertemu dengan Ale, she’s not ready to face him—not even ready to talk about it with him through text. Ia tahu ada kemungkinan Ale akan sangat kecewa padanya yang gegabah, ia sadar bahkan ada kemungkinan Ale akan marah karena kekecewaannya. Maka dari itu, dua hari ini ia memilih untuk mengurung dirinya sendiri—which is kinda stupid, karena ia tetap tidak menemukan titik terang apapun. Keraguannya masih disana, ketakutannya juga tidak berkurang sedikitpun. She’s stuck with her ownself and her wild mind.

“I shouldn’t have brought that conversation.”

“I don’t want to let him down, but what should I do now?”

Xena masih menatap refleksi dirinya di kaca, sampai ia mendengar bunyi bel apartemennya. Ia melihat jam dinding, sudah pukul 6 sore, kemungkinan tetangganya yang baru pulang dari kantor datang berkunjung untuk membawakan makanan—hal yang rutin sekali dilakukan setiap 2 hari sekali. Xena menghapus air matanya, kemudian mencoba untuk mengontrol ekspresinya agar tidak terlihat sendu. Ia kemudian berjalan kearah pintu. Setelah membuka pintu, Xena mematung di tempat ketika tahu yang berada di depan pintu adalah Ale. Ale menatap Xena, dilihatnya wajah Xena yang sembab, ia kemudian berjalan mendekat. “Hey, what happened?” tanyanya.

Dengan hanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Ale, pertahanan Xena runtuh, tangisannya mulai pecah, ia terduduk di lantai. Ale yang khawatir langsung menghampiri Xena, dia duduk dengan lutut yang menyentuh lantai, kemudian tanpa bertanya apapun, Ale merengkuh Xena, membiarkan Xena menangis dalam dekapannya. “I’m here….I’m here….” bisiknya pelan.

Xena terus menangis, dan Ale tetap memutuskan untuk diam, membiarkan Xena menumpahkan semuanya dalam dekapannya. Lama, sampai akhirnya Xena mulai bersuara—-suara yang terdengar lirih. “I think I’ll make you disappointed. No. I’m gonna make you super disappointed.” ujarnya sembari terisak. Ale melepaskan dekapannya, kemudian menangkup pipi Xena dengan kedua tangannya. Xena masih menunduk, enggan untuk menatap Ale yang ada di hadapannya.

“Hey….hey…..sweetheart, look at me.” ujarnya. Xena akhirnya memberanikan diri untuk menatap Ale, air mata masih mengalir membanjiri kedua pipinya. Ale kemudian mengikis jaraknya dengan Xena, mengecup kelopak mata Xena yang basah oleh air mata, kemudian mencium pipinya selama beberapa detik. “You know what that means, right? You can tell me your worries.” ucapnya sembari mengusap-usap pipi Xena dengan kedua ibu jarinya.

“Aku….” kata Xena pelan. Ia kembali menunduk. Takut untuk melihat ekspresi yang akan keluar dari wajah Ale setelah ia mengatakan apa yang membuatnya sedih. “Aku……sekarang ragu untuk nikah secepat itu, Le.” ujarnya lirih. Ale memutuskan untuk diam, menatap Xena dan mendengarkan semua yang ingin Xena utarakan. Jemarinya masih mengelus pipi Xena, mencoba untuk memberi paham bahwa ia menyimak. Xena melanjutkan penjelasannya, ia ceritakan percakapannya dengan Juna kemarin lusa. Ia ungkapkan seluruh perasaannya, dari keraguannya hingga keinginannya yang tiba-tiba muncul untuk kembali merasakan tinggal serumah dengan Juna. Ale mulai mengerti kenapa dua hari ini Xena terasa berbeda, pasti banyak sekali yang ada di dalam pikirannya.

“I’m so sorry. Harusnya aku nggak merasa ragu kaya gini, padahal kemarin aku yakin betul kalau aku siap. Aku payah, aku gegabah, aku nggak jelas, aku main-main sama janji, aku pasti buat kamu sedih banget, aku udah buat kamu kecewa banget, aku bener-bener………….” ujarnya tertahan, tangisnya kembali pecah.

“Sweetheart, pretty, look at me.” Ale mengangkat dagu Xena. Xena kemudian memberanikan diri untuk menatap wajah laki-laki itu. Air muka Ale melembut setelah Xena mulai menatapnya. Matanya yang besar dan hidup sekarang terlihat berkaca-kaca.

“You know, it’s hard for me seeing you this pressured. Ngeliat kamu sedih dan tertekan kaya gini buat aku sakit banget.” Ale mengelap air mata di pipi Xena dengan telapak tangannya. “From the very first time, aku ngomong kan sama kamu, I don’t want you to feel pressured about this marriage thingy. I can never see you this pressured. Your peace is all that matters to me, I want you to be happy in everything you choose.” Ale kembali menatap Xena tepat di matanya.

“Can you bring me your diary?” pinta Ale kemudian. Xena bingung, namun tetap mengangguk, mengiyakan, ia kemudian beranjak dari posisinya dan menghampiri laci meja kerjanya, mengambil buku diarynya lalu memberikannya kepada Ale. Ale mengeluarkan pulpen dari saku kemejanya, kemudian membuka halaman tempat dimana Xena menuliskan wishlist yang sempat ia perlihatkan kepada Ale. Xena menatap Ale sembari bertanya-tanya dalam hati. God knows what he’s about to do.

Ale mulai menulis. Setelah selesai dengan tulisannya, Ale langsung menunjukannya kepada Xena. Ale menuliskan satu kalimat tambahan dalam daftar keinginan Xena. Diatas tulisan Spend the rest of my life with Ale kini tertulis Do everything I want to do before I get married. Xena yang sebelumnya sudah berhenti menangis kembali tersedu-sedu. Membuat Ale meletakkan buku diary tersebut di lantai kemudian kembali merengkuh Xena. “Hey, kenapa nangis? Aku serius. Aku pernah bilang sama kamu kan, aku nggak pernah mempermasalahkan perihal waktu. It’s not like you’re leaving me or something. Kita masih sama-sama and that’s what matters for me.” Ale mencoba menenangkan.

“Ale, maafin aku. Aku tahu kamu sedih, aku tahu kamu kecewa, maafin aku.”

Ale mengusap-usap punggung Xena, menyandarkan kepalanya di atas bahu Xena. “Bohong kalau aku nggak sedih sayang, tapi aku jauh lebih sedih lihat kamu kaya gini. I don’t want you to feel pressured. I can never see you this pressured.” Ale melepaskan pelukan mereka, kembali menatap Xena tepat di matanya. Tatapan yang dalam, dalam sekali. “I want you, to have no regrets in life.” tegasnya.

Xena yang terisak kembali memeluk Ale. “Ale maafin aku.” Ale kemudian mengecup puncak kepala Xena, mencoba untuk memberikan ketenangan, mencoba menunjukkan kalau ia baik-baik saja dengan semua ini. “It’s okay, I’ll help you, I’ll help you fulfilling that wishlist. You know you can always count me in, kan?” gumamnya sembari memegang bagian belakang kepala Xena, menariknya untuk lebih mendekat kedalam dekapannya.

“Ale maafin aku, harusnya aku nggak ngasih kamu harapan kaya gitu, harusnya aku lebih berpikir lagi sebelum itu.” ujarnya lagi—masih sambil terisak. She can’t help it but says sorry a lot—-because she really is feeling sorry for him.

“It’s okay, it’s okay. Kamu inget kan kata-kata di buku The Alchemist yang kita baca bareng waktu itu? Making decision is only the beginning of everything. Dan rencana kita waktu itu benar-benar awal dari segalanya, anything can happen in between. Aku percaya keraguan kamu ini juga ada maksudnya, mungkin waktu baik kita untuk menikah bukan sekarang, bukan 6 bulan lagi, Na. Toh, kita juga belum siapin apapun kan? We don’t need to rush it, you don’t have to rush it. Aku nggak akan kemana-mana.”

Xena mengeratkan pelukannya dengan Ale, menyandarkan kepalanya di dada Ale. Ale meletakkan dagunya di atas kepala Xena, sembari terus mengusap punggung Xena, berusaha menenangkan. Mereka bertahan dalam pelukan itu cukup lama, sampai Ale perlahan melepaskannya. Ia menatap Xena lekat, mengusap pipinya dengan jemari kanannya.

“Sekarang jangan khawatir lagi, ya? Aku benar-benar nggak apa-apa. Selama aku nggak kehilangan kamu aku nggak apa-apa, Na. Kamu bisa tinggal di Bandung lagi, aku dukung kamu untuk mendekatkan diri sama keluarga kamu lagi, aku nggak akan kemana-mana. Dan tentang pernikahan, just give me a sign—with anything, whenever you’re ready, okay?”

Perkataan Ale membuatnya benar-benar terharu. Banyak hal yang membuatnya merasa nyaman dengan Ale, salah satunya adalah bagaimana Ale selalu punya cara untuk membuat segala kekhawatirannya sirna. He is love, he is comfort, he is security, he is need, all in one. Ale dan kalimat-kalimat penenangnya, Ale dan sikapnya yang tidak pernah menuntut, Ale dan rasa cintanya yang tulus, membuat Xena merasa aman. Benar-benar aman. He is warm and solid. He is definitely not lying when he says he’ll turn her fear into faith—she begins to think that he can even do it without the kiss on her lips—eventhough it’s better with the kiss.

Xena memandangi wajah Ale, kemudian tersenyum. Ia benar-benar merasa sangat beruntung bisa memiliki pasangan seperti Ale. “Aku sayang banget sama kamu, kamu tahu kan?” ujarnya, membuat Ale tersenyum dari telinga ke telinga kemudian mengangguk. “Kamu hutang banyak kalimat itu, dua hari kemarin tiap aku bilang sayang kamu nggak balas.” jawabnya dengan nada bergurau.

“Aku sayang kamu, aku sayang kamu, aku sayang kamu, aku sayang kamu, aku sayang kamu. Aku balas dengan lebih banyak.” ujar Xena. Ale tertawa, kemudian kembali diam dan menatap mata Xena lekat. Tangan kanannya masih berada di pipi Xena. Pandangannya perlahan mulai turun ke bibir Xena, Ia kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah Xena, menutup matanya sesaat sebelum bibir mereka berdua bertemu. Ciuman itu pelan, tidak menuntut, tidak tergesa. Mereka sama-sama berusaha menuangkan perasaan mereka dalam ciuman tersebut. Xena mengalungkan kedua tangannya di leher Ale, menariknya untuk mendekat—deepening the kiss.

Ale tersenyum setelah tautan bibir mereka terlepas. Ia mengusap kepala Xena dengan tangan kanannya, merapihkan rambutnya yang sedikit menutupi wajahnya. “I love you, and I want you to have no regrets in life.” ujarnya lagi. And just like that——her worries fade away. She knows, they’ll be okay. She knows for sure, everything will be alright.