I'm real, You Can Make Sure of It

Xena kembali ke ruangan dengan wajah yang cerah. Membuat Ale tersenyum lebar karena semakin yakin semuanya berjalan dengan baik. “Ibu sama Zeta barusan ketemu temennya Ibu, jadi nyangkut dulu.” Xena mencuci tangannya di westafel, kemudian mengisi gelas Ale yang kosong dengan air, semburat senyum masih terlihat dari wajahnya, mata Ale terus mengikuti gerakan Xena, senang melihat wanitanya terlihat sebahagia ini. Setelah menyodorkan gelas berisi air minum pada Ale, Xena langsung memfokuskan perhatiannya pada Ale, mengecek kondisinya, “Kamu nggak ngerasa yang aneh-aneh kan? Pusing? Apapun?”

Ale menggeleng, kemudian menggenggam tangan Xena yang kini sudah berada disebelahnya. “No. In fact, I feel good. Kayanya aku udah sembuh deh. You seem happy, I’m glad and I feel relieved.” ibu jari Ale bergerak mengusap punggung tangan Xena, sebelum akhirnya ia menyadari sesuatu, “Sebentar, kamu nangis? Kok mata kamu sembab?” Tanya Ale yang langsung mengelus pipi Xena, jemarinya kini meraba bagian kantung mata Xena yang sedikit menggelap karena menangis tadi.

“Was it a happy tear?” Ale menebak, ia tahu bahwa Xena sangat mudah menangis. Karena sedih, senang, hal yang lucu, ia bisa menangis karena banyak hal. Xena mengangguk, ikut memegang tangan Ale yang masih mengusap pipinya, “It’s a happy tear, no need to worry. I can’t help it, I’m super happy!!” Jawab Xena sembari menguatkan genggamannya, dengan hanya melihat mata Xena yang sekarang semakin berbinar, Ale tahu pasti kalau Xena benar-benar senang, ia tersenyum kemudian mengubah posisi duduknya, kali ini mereka benar-benar berhadapan. “Jadi, ada cerita apa?” Tanya Ale, masih sambil tersenyum.

“Ibu kamu keren banget, sama kaya kamu dan Zeta. Ibu kamu keren! It’s such a blessing, you know, meeting another you.” Ale menggeser posisi duduknya di kasur, membiarkan Xena ikut duduk disebelahnya.

“And you know what, aku tadi ngomongin banyak buku sama Ibu kamu. Aku berasa lagi ngobrol sama Bunda, karena dulu aku juga suka ngobrolin buku sama Bunda.”

“Aku jadi tiba-tiba inget, dulu pas Bunda pertama kali lihat aku baca buku romance, kayaknya pas aku SMP kelas 1 atau 2 gitu, Bunda nangis sambil bilang ‘Anak Bunda ternyata udah gede, yaampun.’ Aku gatau kenapa tiba-tiba inget itu. Bunda sering nangis karena hal-hal kaya gitu—-kaya aku ya? Terus ya aku juga jadi ikutan nangis.”

“Kamu emang bener-bener mirip Bunda kamu, Na.” Ujar Ale menanggapi.

“Maksudnya, sama-sama cengeng ya?”

Ale menggeleng, “No, soft and warm.” Jawabnya, membuat Xena tersenyum dari telinga ke telinga. Lagi-lagi, Ale berhasil membuat salah satu hal yang tidak ia sukai dari dirinya jadi terasa istimewa. “Kamu tau, Le. Kamu selalu buat hal-hal yang nggak aku suka dari diriku jadi terasa spesial, tau nggak?”

“It is special, literally.” Ujar Ale dengan nada tulus, he really means it.

“Pertama aku yang banyak omong ini, aku yang suka cerita dan bawel, aku yang loud, kamu bilang justru itu hal yang bikin kamu mikir aku menghargai banyak hal termasuk hal kecil sekalipun. Kamu buat sifatku itu—yang kayanya emang udah nggak bisa aku ubah—jadi spesial, padahal aku sempat merasa sebal karena itu. Terus sekarang ini, aku tuh sempat sebal juga sama diriku sendiri yang gampang banget nangis. Kamu tau? Aku kalau liat pengumuman pemenang Stand Up Comedy itu bisa nangis. Orang lain bersorak sorai, aku nangis. Aku merasa aneh—-but once again, you help me accepting the fact that I am me, and there’s nothing wrong with that.”

Kali ini Ale mengubah lagi posisi duduknya, badannya yang sebelumnya bersandar ke kepala kasur kini ia miringkan, Xena mengikuti, sekarang mereka saling duduk bersila di atas kasur dengan posisi berhadapan. Ale menatap mata Xena dalam, mencoba menunjukkan kalau ia benar-benar serius, “There’s nothing wrong with that. There's nothing wrong with you being loud, as long as I'm with you, I'll always listen. And there's nothing wrong with you being a cry baby, as long as I'm here, I'll wait until you finish crying and wipe your tears for you. In fact, those things make you—you, I love the fact that you're you, always. I mean it.”

Xena kembali tersenyum, terenyuh, “I know you mean it.” Jawabnya sembari mengacak-acak rambut Ale.

“Ohya Ale, kamu tau, Ibu kamu juga berniat untuk nonton Stand Up Comedy Raditya Dika, kayanya acara kita buat nonton show itu bakalan jadi acara keluarga.” Ujarnya lagi sembari terkekeh.

“Hah? Yah!! Padahal itu kan acara date kita.”

“Kita bisa date kapan aja, dimana aja, gapapa ya?”

“I’m okay if you’re okay with that.”

“I’m okay, kok. Aku senang malah. Semakin rame semakin asik kan?” Ale tersenyum lebar, wajahnya menampakkan ekspresi orang-orang yang bangga melihat anaknya juara 1 di kelas.

“Ohya dan Ale, kamu tau?! Ibu kamu tadi cerita tentang kisah cintanya sama Ayah kamu. Ternyata dulu mereka sempat jadi teman sekelas, saling suka, tapi nggak saling ngomong. Sampai akhirnya move on masing-masing, dan tiba-tiba ketemu karena satu project setelah udah sama-sama kerja. Terus cinta lamanya bersemi lagi. Lucu banget!! Bukti nyata kalau jodoh pasti bakalan ketemu. Ale—-aku ngocehnya kebanyakan ya?”
Ale yang sudah menduga kalau pertanyaan semacam ini akan keluar dari mulut Xena merapatkan bibirnya untuk menahan tawa, “Aku udah tau, pasti di sela-sela kamu cerita, kamu bakal ngomong gini. Dan kamu mungkin udah tau, aku bakal selalu ngomong hal yang sama, gapapa, aku senang dengar kamu cerita.”

Lagi-lagi Xena tersenyum, rasanya otot muka Xena bisa pegal karena sedari tadi senyum enggan lepas dari wajahnya. Xena kembali bercerita, “Kamu mau tau nggak kenapa aku suka baca buku romance?” Tanyanya. Ale mengangguk, terlihat antusias.

“Aku suka baca buku romance karena rasanya menyenangkan aja. Dengan cuma baca buku, aku bisa tau gimana rasanya jatuh cinta—bahkan ketika aku nggak lagi merasakannya. Dengan baca buku romance, aku bisa jadi macam-macam karakter orang jatuh cinta. Aku juga bisa ngerasain gimana rasanya sakit hati, dan cara bangkit dari situ. Aku suka ketika aku bisa ngerasain rasa sakit selayaknya orang yang patah hati, terus sama-sama belajar bangkit dari situ bareng karakternya. Kadang aku merasa kalau buku romance self improvementnya itu seringkali bagus banget, aku malah suka belajar dari sana tentang kehidupan. Buku romance bukan sekadar buku fiksi menye-menye kaya yang orang lain bilang, buku romance itu buku yang penuh rasa, menurutku.”

“Aku juga suka sensasi kupu-kupu yang aku dapatin dari buku romance, ketika aku bisa ngerasain rasa bahagia selayaknya orang yang dicintai. Aku nggak pernah nyangka, aku bakal dapatin hal kaya gitu di kehidupan nyataku sendiri. The love is real, now. Kamu tau, Le? Kamu kaya karakter fiksi yang aku baca di buku romance dan hidup jadi nyata. You’re so real, yet so unreal. Too good to be true, but it is true.”

“I’m real, you can make sure of it.” Ale mengarahkan tangan Xena ke wajahnya, membuat jari-jari Xena menyentuh bagian pipinya. “See? I’m touchable, I’m real, here, in front of you.”

Xena terkekeh, setelah itu, jarinya asyik menyusuri setiap senti wajah Ale, dari pelipis, kelopak mata, hidungnya yang mancung, sampai ke bibirnya. Bahkan dalam kondisi sakit, Ale tetap terlihat mengagumkan. “You know what, I always love this mole on your right cheek. It makes you cuter.” Ujarnya sembari menunjuk tahi lalat di pipi kanan Ale.

“And I always love this little mole on the upper of your lips, it makes you prettier.” Ucap Ale yang ikut asyik mengagumi wajah Xena di depannya. Ale hampir lupa sesaat kalau dia sedang sakit karena pikiran untuk mencium Xena sempat terlintas, ia menggelengkan kepalanya pelan, kemudian balik berbicara, “Lucu banget nih, kalau lagi kaya gini tiba-tiba Zeta sama Ibu masuk.” Ale tersenyum iseng, membuat Xena tersadar kalau hal itu mungkin terjadi. Xena langsung bersiap untuk turun dari kasur Ale namun Ale menariknya untuk kembali duduk. “No, Ibuku pasti lama kalau ngobrol sama temennya.”

Ale kembali menatap Xena dalam, menyusuri helai rambutnya dengan jemarinya, “Makasih ya, Na. Makasih udah mau nemenin aku disini. Your presence makes me feel better. Lemas juga jadi nggak begitu kerasa, aku nggak lagi gombal, I really mean it.”

Xena tersenyum sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya dengan Ale, membuat Ale sedikit tersontak, Xena lalu mengecup singkat dahi Ale, “We’re each other’s sanctuary, remember? So of course, aku bakal temenin kamu. You can always count me in, okay? Because I love you.”