Late Night Talks, Late Night Indomie

//cw: kiss

Xena selalu suka menghabiskan waktu dengan Ale, begitu juga dengan Ale yang bahkan seringkali mampir ke apartemen Xena hanya untuk bertemu selama satu sampai dua jam, sebelum akhirnya kembali pulang ke rumah. Kadang Ale datang menjemput Xena di kantor lalu pulang ke apartemen Xena bersama-sama, di perjalanan pulang mereka seringkali bernyanyi bersama—sekencang yang mereka bisa, begitulah cara mereka menyembuhkan lelah.

Di apartemen Xena, biasanya mereka berbincang, mengobrol tentang banyak hal. Kadang mereka hanya beristirahat bersama, duduk di sofa cokelat ditemani teh hangat sembari menonton acara televisi. What they do don’t really matter for them—-it’s the presence that matters the most, for them.

Apartemen Xena sudah menjadi saksi bisu banyaknya hal yang mereka lakukan bersama, dari membaca buku, menonton Stand Up Comedy, menonton Harry Potter yang berkali-kali mereka ulang, memasak bersama (meskipun kegiatan masak itu seringkali berakhir dengan Ale yang akhirnya hanya memperhatikan Xena sembari sesekali membantunya dengan kegiatan-kegiatan ringan seperti mengambilkan pisau atau sendok), mencoba berbagai jenis masker wajah, dan banyak hal lainnya. They really love to spend time together.

Seperti halnya malam ini, setelah banyak lelah yang Xena rasa, kehadiran Ale cukup untuk membuat wajahnya yang muram kembali bersinar. Setelah sebelumnya meluapkan kembali emosinya karena masalah di kantor, yang kemudian diakhiri dengan Ale yang memberikan berbagai solusi terkait Xena yang bingung tentang urusan karirnya, mereka sekarang merebahkan tubuh di karpet, menatap langit-langit, sama-sama terdiam. Ale memiringkan tubuhnya, menghadap Xena yang langsung mengikuti. Setelah bertatapan selama beberapa saat, Ale membuka suara.

“Aku pernah ngomong ini nggak ya, Na. Aku suka amazed aja sama cara kita ketemu——kamu yang tiba-tiba tau aku dari laguku, terus tiba-tiba kepikiran untuk cerita sama aku di DM, aku yang baca semua itu sampai akhirnya kita jadi kaya sekarang. Lucu juga ya, aku belum pernah bilang makasih ya, Na? Makasih karena meskipun hal buruk terjadi di hidup kamu, kamu nggak lantas marah sama seluruh isi dunia. Selalu coba untuk kasih kesempatan lagi buat diri sendiri coba hal baru. Contohnya, kamu yang abis sakit hati sama—bentar agak berat ngomongnya—mantan kamu itu tapi nggak lantas mikir semua cowok akan nyakitin kamu kaya gitu, you give me a chance, to get to know you, to be close to you. And I sincerely thank you for that. Maaf, aku ngomongnya kebanyakan ya?”

Xena terkekeh mendengar kalimat terakhir Ale barusan, “Ale, kalimat terakhir kamu itu kalimat khas aku, nggak boleh kamu ambil.”

Ale ikut tertawa, “Hahahaha—-kenapa ya, keseringan denger kalimat itu aku jadi keikutan kan. Tapi serius Na, I thank you for giving me a chance.”

“Instead of giving you a chance, I’ve been trying to give myself a chance, and I don’t regret this choice that I made. Aku juga merasa senang, karena aku kasih diriku kesempatan buat kenal kamu, Le. Kamu mau tau nggak Le, kenapa aku bisa kaya gitu?” Yang ditanya langsung menyunggingkan senyum, mengangguk dengan mantap.

“Karena Bunda.” Jawab Xena dengan senyum yang sama lebarnya. Ale manggut-manggut, semakin yakin kalau Bunda Xena adalah Ibu yang luar biasa. “I know it, she made you, you.” Ujarnya kemudian, menanggapi.

“Bunda pernah kasih aku surat pas aku ulang tahun waktu SD. Setiap aku kecewa sama orang atau keadaan, aku suka baca lagi surat itu. Surat dan kado buku diary gitu. Dulu aku nggak punya temen, aku cuma ngobrol sama kucingku, si Mochi. Aku sempat kecewa sama orang, sebenarnya ini drama anak SD tapi ternyata berpengaruh banget buat aku. Aku jadi nggak mau kenal orang lagi gitu deh. Aku selalu sendirian—kemana-mana sendirian, main sendirian. Aku nggak mau temenan lagi sama orang, menurutku mereka semua sama aja, sama-sama bisa kasih luka dan kecewa buat aku, agak sensitif untuk pikiran anak SD, ya? But that’s just how it was. Aku sekecewa itu, but then, Bunda kasih aku surat di hari ulang tahun aku. Mau liat? Bentar, aku masih simpan surat itu—lengkap sama diary-diarynya yang masih aku suka tulis juga.” Xena beranjak dari posisinya, berjalan menghampiri laci meja kerjanya, kemudian datang kembali membawa buku diary hijau. Ale ikut duduk disebelah Xena yang sekarang sudah membuka halaman demi halaman sembari tersenyum, mengingat banyak memori dari buku tersebut. Rasanya aneh ketika satu barang bisa mendatangkan banyak ingatan, hanya dengan buku diary tersebut, ia bisa menoleh kembali ke banyak hal yang sudah terjadi di hidupnya.

Xena membuka bagian tengah buku diary yang didalamnya terselip sebuah surat, “Ini surat dari Bunda.” Ale manggut-manggut, merapatkan duduknya dengan Xena, mereka kemudian membaca surat tersebut secara bersamaan.

“Selamat ulang tahun anak Bunda yang lagi banyak cemberutnya. Semoga sebentar lagi anak Bunda bisa banyak senyum lagi. Sayang, kamu tau kenapa kita baiknya tau rasa sakit hati? Itu supaya kita belajar untuk nggak buat orang merasakan sakit karena kita, karena kita tau pasti bagaimana rasanya sakit. Nana, orang di dunia ini banyak macamnya, semakin kamu besar, kamu akan semakin banyak ketemu manusia dari jenis A sampai Z. Kebahagiaan yang kamu temukan di orang A, belum tentu bisa kamu temukan di orang B, begitu juga dengan kekecewaan. Kalau kamu sudah besar, kamu pasti makin paham. Anak Bunda, jangan marah sama dunia lama-lama, ya?”

Ale menatap mata Xena setelah selesai membaca suratnya, “She’s amazing.”

Xena tersenyum, lalu mengangguk setuju, “I know, right? Karena surat Bunda ini, aku berpikiran kalau nggak semua orang bakal kasih kecewa yang sama buat aku, Le. Dengan kasih diriku kesempatan, aku udah ngelakuin hal yang baik buat diriku sendiri. Ya tentunya—-berbagai hal juga perlu diperhitungkan untuk menerima orang masuk ke hidup kita. Dan kamu, lolos.”

Xena kembali membuka halaman diary tersebut, “Liat deh, abis Bunda kasih ini, aku langsung jadiin diary ini kumpulan wishlist aku, yang pertama aku tulis itu 4 keinginan, semuanya terkabul, ‘Punya teman’, dan aku berhasil checklist ini pas SMP, aku punya beberapa teman. Terus yang kedua, ‘Punya sahabat’, aku berhasil checklist ini pas SMP juga, Dean itu juga sahabatku dulu. ‘Punya banyak buku keren’, aku bisa checklist ini pas SMA, dan ‘Jadi penulis’ aku bisa checklist ini tahun lalu. Setelah nulis wishlistnya pas SD.”

Xena membuka halaman selanjutnya, berhenti sebentar setelah baris permintaan pertama membuatnya sedikit merasa sedih, Ale merangkul Xena, menggenggam lengan atasnya erat, mencoba menenangkan Xena dengan caranya. “Bisa terus sama Bunda, itu keinginanku yang nggak kekabul, tapi nggak apa, Tuhan lebih sayang Bunda.”

Xena kembali tertawa kecil setelah membaca baris selanjutnya, “Keinginan lain lagi, Fallin love with real man, aku sempat nulis ini juga karena dulu aku kebanyakan ngayal cowok fiksi. Terus akhirnya keinginanku itu terkabul, pas aku jatuh cinta sama—————” Xena melirik Ale, sedikit ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

“Nggak apa, lanjutin, cuma masih suka jealous aja kalau kamu nyebut dia, dikit. Ada namanya lagi tuh di buku itu.”

“Udah kucoret!!”

“Iya, nggak apa, lanjutin.”

“Oke, sama he-who-must-not-be-named deh kalau gitu, tapi akhirnya nggak berakhir baik. Dan aku nggak nyerah, aku tulis lagi di bawahnya, fallin love with real—real man, dan aku checklist waktu aku jatuh cinta sama kamu, Le. Setelah aku contemplating, what if it doesn’t work out? Terus aku versi kanan jawab what if it does?

Ale tersenyum lebar, “And it really does work out.”

Xena mengangguk, “Kalau dipikir-pikir, aneh nggak sih? Aku yang fans kamu ini nih—-dulu cuma bisa mikirin kamu yang bahkan nggak kenal aku, tiba-tiba kamu dm aku, minta nomor aku, kalau dipikir-pikir, itu aneh banget! Rasanya kaya nggak bisa dipercaya, but look at me, setelah ngebiarin hal aneh itu terjadi di hidup aku, I got my own fairy tale, with you! Xena yang dulu mana mungkin bisa percaya kalau Ale Madheva yang video ketawanya sering dia puter-puter tiap lagi nangis supaya jadi ketawa—sekarang jadi pacarnya? Pingsan kali dia kalau tau di masa depan Ale Madheva bakalan jadiin apartemennya rumah kedua! Hahahaha. Kejang-kejang kali, kalau dia tau di masa depan dia bisa peluk dan ci——” Xena menghentikan ocehannya setelah melihat ekspresi Ale yang tiba-tiba berubah jadi senyum menyebalkan. “Nggak jadi, wajahmu mencurigakan.”

Ale tertawa, “Kenapa kamu curigaan banget? Cium, aku lanjutin.”

Xena kembali melanjutkan, “Gila, rasanya aku pengen tau reaksi Xena yang dulu kalau dia tahu masa depannya kaya gini.”

Ale manggut-manggut, “The future is indeed a mystery.”

“Iya, misteri banget. Kadang buat takut, ya nggak sih?”

“Sometimes. Kalau kamu, takut apa?”

Xena menelan ludah sejenak, kemudian lanjut berbicara, matanya menatap Ale dalam, suasana berubah menjadi sedikit lebih serius, “Kamu tau nggak Le? Kamu berpengaruh banget buat mood aku. Aku takut. Takut kalau jadinya terlalu bergantung sama kamu, padahal kita juga nggak pernah tau apa yang bakalan terjadi di masa depan. What if——what if——-things go wrong? Aku bakal kaya gimana ya, kalau tiba-tiba kamu nggak ada?”

“Kenapa tiba-tiba mikir aku nggak ada?”

“Kepikiran aja, kamu tau kan Le, aku banyak kehilangan. Aku kepikiran seberapa berpengaruhnya kamu buat aku sekarang, kayanya aku bakal hancur banget kalau kamu nggak ada, Le.”

Tatapan Ale melembut setelah melihat wajah Xena yang terlihat khawatir, “Trust me, aku juga. Aku bahkan nggak bisa bayangin. Aku nggak bisa janji sama kamu untuk terus ada, karena bener kata kamu, kita nggak pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan. But instead, aku mau janji, I’ll try my best for you. Jadi jangan khawatir, ya? Kita seneng-seneng aja sekarang, saling berdoa hal-hal yang kita khawatirin nggak bakal kejadian.” Ujarnya kemudian sembari menggenggam tangan Xena erat, ibu jarinya kembali mengusap punggung tangan Xena, Xena tersenyum.

I’ll try my best for you, what a thoughtful words.

“I’ll try my best for you too. Thank you, it calms me down. Semoga, kita sama-sama terus, ya?” Xena menatap Ale penuh harap, Ale mengangguk, kemudian mengecup dahi Xena. “Semoga. Aku juga maunya gitu.”

Xena kembali beranjak dari duduknya, “Yaudah aku mandi dulu deh Le, aku belum mandi tau dari tadi, bentar ya.”

Ale mengangguk-ngangguk sembari memasukkan yupi ke dalam mulutnya. Setelah mandi kilat selama 20 menit, Xena menghampiri Ale yang kini sudah berpindah posisi, ia berdiri di depan kompor listrik, sedang memasak sesuatu.

“Kamu lagi ngapain?” Tanya Xena yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ale. Ale menoleh, memasang wajah polos, “Masak….mie?” Jawabnya dengan nada yang lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan.

Xena mengernyit dan memanyunkan bibirnya sebal, Ale melongo—masih dengan wajah polos, “Kok mie lagi sih? Perasaan kemarin kamu udah makan mie, kemarinnya juga, kemarinnya lagi juga. Ale, kamu udah makan mie 3 hari berturut-turut!! Aku tau deh ini kamu bukan laper, orang tadi kita udah makan. Kamu iseng kan?”

Ale menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Tiba-tiba pengen, Na.”

Xena berjalan makin dekat, kali ini mereka berdiri berhadap-hadapan, “Ale, bener deh, kamu harus sayangin perut kamu sendiri dong. Kamu tuh sibuk, capek, kamu harus jaga pola makan kamu. Kalau kamu mau apaan bilang aja deh jangan malah makan mie terus. Udah, kamu dengerin aku dulu jangan pasang muka cengegesan gitu. Aku nggak lagi bercanda. Ini padahal kamu tuh nggak kaya gini loh dulu, sekarang kenapa jadi suka banget mie instan? Ya nggak apa sebenernya, tapi nggak tiap hari juga, Ale. Beneran deh, lama-lama aku——”

Ale maju satu langkah kemudian mengecup bibir Xena singkat. Membuat Xena sedikit terlonjak, membelalakkan matanya tidak percaya, “Ale! Aku lagi ngomong.”

Ale nyengir, “Oke oke maaf, ayo lanjut lagi ngomelnya.” Katakanlah Ale gila, karena melihat Xena mengomelinya justru membuatnya makin merasa dicintai, tanpa sadar ia kembali tersenyum memperhatikan Xena yang melanjutkan omelannya.

“Beneran deh, habis ini aku nggak mau stock mie lagi disini. Kamu udah 3 hari berturut-turut makan mie. Sekarang mau lagi? Maaf aku ngatur, soalnya kamu suka sakit perut kalau makannya nggak bener, aku nggak suka kamu sakit. Nanti kalau sakit perut lagi, kamu yang kesakitan sendiri kan padahal? Terus nanti ngeluh-ngeluh bilang sakit perutnya, terus—”

Ale kembali mendekat dan mencium bibir Xena, lagi-lagi membuat Xena terbelalak. “Ale!!” serunya setelah Ale kembali mundur satu langkah.

“Maaf maaf, oke lanjut lagi.” Ujar Ale sembari terkekeh, geli melihat Xena yang melotot galak.

“AH NGGAK TAU AH! AKU LUPA MAU NGOMONG APA TADI! Yaudah, pokoknya jangan makan mie lagi dulu, ini buat aku aja, karena terlanjur udah dimasak.” Ujar Xena yang langsung mematikan kompor setelah mie terlihat sudah masak.

“Yaudah, yaudah. Iya aku nggak makan mie. Yaudah kamu duduk aja ini sekalian aku taro mangkok.” Jawab Ale menuruti.

Xena menyantap mie instan dengan lahap, Ale ikut duduk di meja makan—memakan buah semangka yang sempat Xena potong untuk mengganti mie yang tidak jadi ia makan. Ale melirik Xena yang menyantap mienya ala-ala bintang iklan mie instan, sengaja meledek Ale.

“Biasa aja makannya, nggak usah kaya bintang iklan mie instan gitu, kamu lebay!!” Seru Ale sebal, membuat Xena tergelak.

Xena menyeruput kuah mie nya lagi, kemudian memejamkan matanya, kembali berakting seolah ia adalah bintang iklan mie instan, “Emmmmm, tapi serius, mie rasa soto emang enak. Makasih ya, udah bikinin mie soto.”

Melihat Xena yang menikmati mie instannya, pertahanan Ale sedikit goyah, “Bagi dong, satu sendok aja.”

“Nggak.” Jawab Xena singkat.

“Please?” Ale kembali memohon. Kali ini ia menggeser posisi duduknya agar makin dekat dengan Xena.

“Yaudah terserah, nih.” Xena mendekatkan mangkok berisi mie instan ke hadapan Ale. Ale terkekeh melihat Xena yang tampak galak, ia kemudian berdiri dari duduknya, tangan kanannya memegang dagu Xena, mengangkatnya, membuat mereka akhirnya saling bertatapan, Xena hanya diam, membuat Ale tersenyum simpul, Ale lalu mengikis jaraknya dengan Xena, mencium bibirnya lembut.

“Nggak jadi, mienya. Already tasted it, rasa soto.” Ujar Ale sembari tersenyum setelah tautan bibir mereka terlepas. Ale kemudian berlalu, meninggalkan Xena yang membatu di tempatnya.