The Night I Never Thought Would Happen

Xena menarik napas panjang sesampainya dia di lift. Jantungnya berdegup sangat kencang sejak Dean memberikan pesan teks yang mengabari bahwa dia sudah ada di cafe lobby bawah. Truth be told, ia takut. Ia takut bertemu dengan Dean. Banyak sekali yang ada di pikirannya saat ini.

Bagaimana kalau ini benar-benar akhir dari segalanya?

Bagaimana caranya dia bisa menerima apapun yang nantinya akan Dean sampaikan?

She doesn’t really know if she’s ready.

Sesampainya di lantai bawah. Kaki Xena melemas, debaran jantungnya semakin tak karuan.

Oke chill Xena, take a deep breath.” Gumamnya pelan.

Xena berjalan pelan kearah kafe tempat mereka janjian untuk bertemu. Dari jauh, Xena dapat melihat Dean yang sudah menunggu di kafe tersebut, duduk dengan pandangan kosong dan dua gelas kopi di hadapannya. Dean memang sudah tahu kopi apa yang selalu Xena pesan di cafe itu.

Yang Xena tidak tahu, Dean juga gugup setengah mati, tapi dia harus segera bicara apa yang seharusnya ia sampaikan. Menyelesaikan apa yang seharusnya ia selesaikan.

Xena berjalan menghampiri Dean, kemudian menarik kursi yang ada di hadapan Dean dan duduk disana perlahan. Menaruh tas yang ia bawa di atas pahanya.

“Hai Xen.” Dean menyapa sembari tersenyum kikuk. Tidak ada yang berubah dari Dean dan intonasi bicaranya. Ia masih Dean yang sama. Namun entah bagaimana hari ini Dean terasa jauh, tidak tergapai. Rasanya seperti, ia tidak pernah mengenal Dean sebelumnya.

“Hai.” Jawab Xena pelan. Matanya mencoba untuk mencari distraksi, menghindari tatapan Dean di hadapannya.

Satu bulan yang lalu, Xena dan Dean duduk disini dalam keadaan yang jauh berbeda dari sekarang. Hari itu, mereka banyak tertawa, Dean juga dalam suasana hati yang baik karena baru saja diterima bekerja di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Kebahagiaan itu juga menular pada Xena, bagaimana tidak? Karena sekarang Dean bekerja di Jakarta, mereka dapat sering bertemu ——- setidaknya itu yang dulu Xena pikir.

Nyatanya, setelah Dean bekerja, mereka justru semakin jarang menghabiskan waktu bersama, bahkan untuk sekadar mengobrol melalui pesan teks ataupun telepon. Waktu itu, Xena menganggap itu semua murni karena Dean sibuk. Xena bisa mengerti. Tapi yang sebenarnya terjadi, Dean punya alasan lain.

Ada keheningan yang cukup panjang setelah mereka saling mengucapkan kata sapa. Keduanya berusaha memikirkan topik pembicaraan yang pas sebelum akhirnya membahas topik paling inti.

“Xena…how are you?” Dean akhirnya memecah keheningan.

“Lo serius mau tanya itu ke gue? After all this?” Lo berharap apa dari pertanyaan itu? Berharap gue pura-pura baik-baik aja?” Emosi yang sedari tadi Xena tahan tiba-tiba meledak. Xena mengutuki dirinya dan self controlnya yang payah. Namun ia hanya tak habis pikir, basa-basi atau apapun itu, bagaimana bisa dia menanyakan kabarnya padahal dia tahu pasti Xena tidak baik-baik saja dan itu karenanya?

“Xen…I’m so sorry.”

“For all of this, I’m so sorry.”

“Maaf kalau gue gak jelas. Maaf kalau gue gak tau diri.”

“Emang gak jelas.” Xena menimpali, matanya masih enggan menatap Dean. “Kemarin lo bilang mau serius sama gue. Kemarin lo bilang gak akan pernah ninggalin gue. Kemarin lo bilang lo gak akan kemana-mana, dan sekarang, kenapa gini, Dean?”

“I know…”

“Okay now, tell me the truth, I guess I deserve an explanation, don’t you think?” Akhirnya Xena memberanikan diri untuk menatap Dean. Mencoba untuk membaca ekspresinya. Menerka ketulusan dari ucapan apapun yang nantinya keluar dari bibirnya.

“I was so messed up.”

”Gue nggak seharusnya janjiin lo sesuatu yang gue belum tahu pasti bisa gue tepatin atau enggak.”

“I know it’ll hurt you but I’ll tell you the truth. Because I don’t want you to feel bad about yourself because it’s all in me, it’s me. I’m the one to blame.

“Lo gak kekurangan satu hal apapun. Gak Xen. Lo adalah cewek paling kuat, paling menarik, paling menenangkan, paling menyenangkan, yang gue tahu.”

“Terus masalahnya ada dimana, Dean?” Xena berusaha untuk menahan air matanya agar tidak terjatuh. Akan sangat memalukan kalau dia sampai menangis saat semuanya belum sampai pada puncaknya.

“Masalahnya ada di gue, Xen.”

“I was so fucked up.”

“Gue rasa gue gegabah. Padahal gue merasa udah memikirkan banyak hal sebelum confess ke lo, tapi ternyata gue kelewatan satu hal. Masa lalu. Gue kelewatan untuk mikirin apa gue udah benar-benar bisa lupa sama masa lalu gue atau belum.”

“Iya. Gue sempat ada di hubungan yang gak jelas sama Axel pas kuliah. I liked her. It’s sort of unfinished business relationship, I guess.”

“Gue gak begitu sadar kalau gue masih terjebak di masa lalu sampai akhirnya gue satu kantor sama dia. I spend lot of times with her and I realized something that….……”

“Okay, I get it.” Xena memotong. Sesak. Xena bisa merasakan sesak di dadanya. Bahkan sebelum Dean menjelaskan semuanya, Xena sudah bisa menerka yang sebenarnya terjadi.

“I enjoy your company, like a lot. Saking nyamannya, mungkin gue sampe gabisa membedakan rasanya falling in love with the person, atau falling in love with the moment.” Dean kembali melanjutkan.

”Maybe I fell in love with the moment we spent, and mistaken it as love itself.”

“I was so messed up. But really……..Gue gapernah mencoba untuk nyakitin lo, Xen. I’m sorry.”

“Gue inget lo yang pernah bilang, apapun itu yang salah, kita harus komunikasikan. Apapun itu yang gue rasain, gue harus bilang ke lo. Makanya, gue jelasin ini semua. Not to make you feel even more miserable by the fact that I never really love you but to make sure you know….bukan salah lo. It’s all me. I’m the one to blame.”

“Jadi yang mau gue bilang, makasih ya Xen? Makasih buat semuanya. Gue harap setelah ini lo gak akan trauma sama cinta. Karena Xen, you deserve to be loved. Gue yang brengsek disini. Gue bahkan nggak tau apa emang gue sebenarnya sayang sama lo juga, atau gimana. Gue benar-benar bingung.”

“Gue yang brengsek. Seharusnya gue gak gegabah buat janji, yang akhirnya malah bikin lo sakit hati kaya gini.”

“The thought of me hurting you, is hurting me too. Dan gue layak dapat perasaan bersalah dan sakit itu karena gue emang brengsek.”

“Gue brengsek bodoh yang merusak persahabatan dengan janji gegabah gue.”

Suara Dean bergetar, matanya mulai berkaca-kaca, Dean mengalihkan pandangannya dari Xena. Mengusap matanya dengan tangan kanannya. Dia menangis. Hal yang tidak Xena sangka akan terjadi.

“Gue harap kita masih bisa jadi teman, tapi gue ngerti kalau lo butuh waktu, bahkan kalau waktu yang lo butuhin itu selamanya, gue ngerti.”

Dean tahu masih banyak ketidakpastian yang menanti mereka di masa depan. Ia juga mencoba benar-benar mengerti bahwa ada kemungkinan Xena tidak akan ada di hidupnya lagi.

“Gue butuh waktu, bener. Dan nggak tau sampai kapan.” Xena meneguk kopinya cepat. Berusaha menghabiskan kopi tersebut sekilat mungkin agar ia bisa segera pergi dari sini.

“Gue menghargai lo yang jelasin ini semua ke gue. Makasih ya, udah jujur.”

“Maaf ya, kalau gue gak bisa nutupin fakta kalau gue kecewa. Tapi gue benar-benar lega karena lo mau jujur sama gue tentang semuanya, I appreciate your honesty. Oke, I hope life will treat you well. Gue pamit, ya?”

“Makasih Xen, udah mau dengerin semua penjelasan gue. Maaf, maaf karena yang bisa gue bilang cuma kata maaf.”

Xena mengangguk. Lalu beranjak dari duduknya, pergi meninggalkan Dean yang pada akhirnya tak kuasa menahan tangisnya.

Bodoh.

Dean merasa bodoh karena merusak persahabatan mereka dengan perasaan yang dengan cerobohnya ia anggap sebagai cinta.