The Very First Encounter
Dari pertama Ale dan Xena masuk ke dalam rumah, kedua orang tua Xena menyambutnya dengan ramah. Terlihat jelas kerinduan Juna—Ayah Xena kepada Xena, dipeluknya anak gadisnya erat. Dina—Mamah Xena juga ikut memeluknya. Ale memperhatikan ekspresi Xena, gadisnya nampak senang bisa kembali ke rumah, meski ia masih melihat rasa kikuk dari sinar matanya.
Dina sempat melongo tak percaya ketika sadar yang dibawa mampir ke rumahnya dan diperkenalkan sebagai kekasih dari anaknya adalah Ale Madheva—penyanyi terkenal yang biasa ia liat di televisi. Juna juga nyaris tidak percaya, tapi tetap mengontrol ekspresinya seolah itu adalah hal yang mungkin terjadi.
Setelah berbincang berempat sembari makan bersama, Juna mengajak Ale untuk duduk di halaman belakang, sedangkan Xena dan Dina duduk dan mengobrol bersama di sofa depan TV. Meskipun suasana canggung masih mengiringi percakapan Ale dan Juna. Ale lega karena pertemuan ini tidak semenyeramkan yang ada di bayangannya.
“Xena makan teratur dan hidup dengan baik kan Le di Jakarta?” pria paruh baya itu bertanya setelah mereka menduduki kursi yang bersebelahan di depan kolam ikan, taman belakang rumah Xena penuh dengan tanaman hias, kicauan burung yang saling bersautan menambah kesan asri dari rumah Xena yang berada di tengah kota Bandung.
“Iya Om. Xena hidup dengan baik.” jawab Ale, Juna kemudian manggut-manggut. Ale masih diam, menunggu Juna untuk kembali memulai percakapan karena demi Tuhan, dia gugup bukan main.
“Nggak usah grogi.” ujar Juna yang menyadari kegugupan Ale, ia menepuk punggung Ale pelan. “Muka kamu ituloh, keliatan grogi banget.” lanjutnya dengan nada bergurau, membuat Ale menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian tertawa. Juna ikut tertawa. Membuat kecangungan mereka mulai terkikis seiringan dengan suara tawa mereka yang saling beradu di udara. Mulai dari kerjaan Juna, kerjaan Ale, sampai obrolan tentang musik mereka bicarakan dengan lebih santai setelahnya. Ale juga bisa terlihat lebih relax dan mengimbangi pembicaraan mereka. Setelah lama membahas banyak hal secara acak, Juna akhirnya menceritakan banyak hal tentang Xena. Topik pembicaraan favorit Ale.
“Xena itu, selalu ingin jadi penulis. Tapi sekarang dia jadi pegawai kantoran. Jujur saya nggak tahu, apa dia masih mau coba untuk menulis, atau tidak. Tapi saya dan Bundanya selalu mendukung dan ikut mendoakan mimpinya.” Ale mengangguk-anggukkan kepalanya, ingin sekali rasanya ia memberitahu Juna kalau mimpi baik putrinya sudah tercapai, mungkin Juna akan senang sekali mendengarnya.
“Kamu tau kan, Xena suka menulis?” tanyanya. Ale mengangguk. “Iya Om. Xena cerita.” Juna kemudian membakar ujung rokoknya, mendekatkannya ke mulut dan menghisapnya. “Maaf saya sambil ngerokok, ya? Kamu ngerokok nggak?”
“Ah iya nggak apa-apa Om. Tapi nggak, saya nggak ngerokok Om.” Juna manggut-manggut. Kemudian kembali menghisap rokoknya, menghembuskan asapnya sampai menjulang tinggi ke udara. “Xena itu punya hati yang lembut, lembut sekali. Sama persis seperti Bundanya.”
Ale mengangguk, menyetujuinya. “Bener, Om. Saya setuju.” jawabnya menanggapi. Juna tersenyum simpul. “Waktu dia SMP, pernah sekali saya dan Xena jalan-jalan berdua naik mobil. Dia lihat ada pedagang tua yang menawarkan dagangannya dari satu mobil ke mobil lain di lampu merah. Setelah kita beli dagangannya, dia tiba-tiba angkat tangannya, saya tanya dia sedang apa, dia jawab sedang berdoa.”
“Sehabis saya tanya berdoa apa, dia jawab berdoa supaya dagangan Bapak itu laris dan bisa makan enak hari ini sama keluarganya. Nggak sampai disitu, dia bilang hal yang sampai sekarang rasanya ninggal di kepala saya. Katanya, kita nggak pernah tahu doa mana yang akan sampai lebih dulu ke langit, atau doa dari siapa yang akhirnya akan dikabulkan, jadi dia mau bantu Bapak itu dengan doa—-meski mungkin Bapak itu juga sudah berdoa hal yang sama.”
Ale mendengarkan dengan saksama, sembari tak henti memuji kekasihnya dalam hati. Xena dan kelembutannya memang sudah menjadi hal yang tidak asing bagi dirinya. Tapi rasanya, setiap hari, Xena selalu punya cara untuk membuatnya tambah kagum. Perasaan hangat mulai menjalar disekujur tubuhnya, ia semakin merasa beruntung karena bisa memiliki Xena. Dari banyaknya kebaikan yang Tuhan berikan padanya—-Tuhan dengan baiknya juga menambah kebahagiaannya dengan kehadiran Xena. Juna kembali bercerita banyak hal tentang Xena dan masa kecilnya, Ale banyak menganggukan kepalanya, sesekali menanggapi, sesekali tersenyum lebar karena lagi-lagi dibuat kagum, dan sesekali juga tertawa karena beberapa tingkah unik yang Xena lakukan di masa lalunya. Ia merasa senang bisa mengetahui banyak hal tentang Xena—studying her is one of the best things in life, for him.
“Xena banyak cerita sama kamu, Le?”
“Cukup banyak Om.” jawabnya. Juna menganggukan kepalanya beberapa kali, kemudian menghisap lagi rokok yang terselip diantara dua jemarinya. Sinar matanya sulit sekali untuk diartikan oleh Ale. Sedih? Senang? Kedua perasaan tersebut terlihat menyatu.
“Kalau tentang hal sedih, Xena cerita juga?”
“Sejauh ini, iya Om.” jawab Ale lagi. Membuat Juna kembali manggut-manggut, lalu tersenyum. Senyum yang bagi Ale terlihat cukup—sendu. “Saya senang, dia punya tempat bercerita. Dia itu anak yang suka banget bercerita. Dari dulu. Tapi kalau sedih, dia banyak pendam sendiri. Syukurlah kalau dia punya tempat aman untuk bercerita tentang hal-hal yang buat dia sedih sekarang. Xena masih sering main dengan Haikal, Zara dan Nara?”
Ale mengangguk, membuat senyuman Juna semakin melebar, senyuman yang terlihat lega, namun entah bagaimana secara bersamaan juga terlihat sendu. Sinar matanya seakan menyiratkan banyak kesedihan. “Saya jujur, nggak begitu tahu banyak tentang Xena setelah Bunda Xena meninggal. Xena langsung tinggal di Jakarta juga sehabis memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Hubungan kita bisa dibilang cukup merenggang, mungkin kamu sudah tahu dari Xena, atau sudah bisa melihat.” tutur Juna, membuat Ale berasumsi—mungkin ini arti dari sinar mata Juna. Mungkin, ia sedih. Sedih karena tidak mengetahui banyak hal tentang putrinya lagi, seperti dulu.
“Xena masih menulis, Le?” Juna kembali bertanya sembari menoleh ke arah Ale. Ale diam sebentar, memikirkan jawaban yang pas. “Masih, Om. Kayanya nulis sudah jadi hobi mutlak Xena.” jawabnya sembari tersenyum. Sejujurnya, ia merasa bersalah karena menyembunyikan fakta besar tentang kesuksesan anaknya dalam mimpinya. Juna mengeluarkan senyuman lega.
“Dari dulu saya tidak pernah membatasi Xena. Saya merasa tidak begitu penting Xena jadi apa di masa depan. Selama itu baik, dan selama dia senang.” ucap Juna sembari menghembuskan asap rokoknya. “Kamu dukung kan, kalau dia nulis?” Ale mengangguk bersemangat.
“Saya dukung Om. Saya juga sama, apa yang buat Xena senang, selama itu baik, saya pasti ikut senang.” jawabnya. Juna menepuk-nepuk pundak Ale, kemudian berterimakasih dengan tulus, membuat Ale tersenyum. “Sejujurnya, saya cukup kaget karena Xena ternyata sudah punya pacar. Karena selama ini ya saya pikir dia tidak terlalu memikirkan itu, walau memang saya juga sih yang memang tidak tahu banyak hal tentang dia. Dan jujur, setelah Xena akhirnya cerita sama saya tentang kamu, saya merasa senang sekali. Pertama, senang karena akhirnya dia cerita sesuatu lagi sama saya. Kedua, senang karena saya semakin yakin—-Xena hidup dengan baik dan bahagia sekarang. Xena menemukan laki-laki baik, itu membuat saya senang sekali.” Juna menatap lurus kedepan, memperhatikan air yang jatuh dari pancuran di kolam ikan.
“Saya juga merasa beruntung sekali, Om. Bisa menemukan, dan bisa saya bilang—ditemukan Xena.” Juna kembali menepuk-nepuk pundak Ale, tersenyum dari telinga ke telinga. “Om senang dengarnya.”
“Kalian sudah berapa lama?” tanya Juna lagi. Ale menegakkan posisi duduknya. “Sudah mau 7 bulan, Om.” jawabnya.
“Maaf Om, seharusnya saya izin lebih awal sama Om. Seharusnya saya memperkenalkan diri sama Om dan Tante lebih awal.” lanjut Ale cepat. Dia benar-benar merasa bersalah, dan merasa kurang sopan. Juna menggeleng pelan. “Nggak apa, nggak apa, saya mengerti. Yang penting saya sekarang sudah tahu. Senang sekali saya, tahu sesuatu lagi tentang anak saya.” ujarnya lagi, membuat Ale entah bagaimana justru semakin merasa bersalah.
“Kamu serius, sama Xena?”
“Serius Om.” jawabnya mantap. Juna manggut-manggut sembari tersenyum, kemudian menghisap rokoknya yang tinggal setengah. Ale menghela napasnya pelan. Mengumpulkan keberanian untuk membuka suaranya. Ia berdehem pelan sebelum mulai berbicara. “Sebenarnya, saya dan Xena sudah berpikiran untuk menikah Om.” Ale sedikit ragu untuk mengutarakan niatnya secepat ini kepada Juna—bahkan di pertemuan pertama, tapi sepertinya ini moment yang pas untuk membahasnya. Menurutnya, sudah sepatutnya Juna tau niat ini secepatnya. Sudah seharusnya ia minta izin dari sekarang.
Juna langsung menoleh, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Ohya?” tanyanya.
Ale menatap Juna tepat di matanya, mulai berbicara dengan jauh lebih serius. “Kami sebenarnya sudah sama-sama membicarakan hal ini. Awalnya berpikiran sekitar 6 bulan sampai 1 tahun lagi, tapi akhirnya berpikir 6 bulan lagi. Tapi sebelum itu, saya mau minta izin sama Om, minta izin untuk menikahi Xena—-maaf jika terkesan terburu-buru, bahkan Om juga belum begitu mengenal saya, tapi saya benar-benar yakin. Saya benar-benar serius dengan Xena. Dan kalau boleh, saya mau minta izin, untuk menghabiskan waktu seumur hidup saya dengan Xena. Tujuan saya jelas, bagi saya. Untuk bisa bersama-sama Xena, dengan ikatan yang bisa saya lebih pertangunggjawabkan.”
Juna memandangi wajah Ale dan hanya diam selama beberapa detik, membuat Ale menelan ludahnya, sedikit gugup saat menunggu jawaban dari Juna. “Xena bagaimana? Xena sudah yakin juga?” Juna akhirnya menanggapi.
Ale mengangguk. “Dari pembicaraan kita, iya Om.”
Juna manggut-manggut tanda paham, kemudian balik menatap kolam ikan di depannya. “Kembali seperti yang saya bilang sebelumnya, saya bagaimana Xena. Saya tidak pernah mau membatasi Xena. Apapun itu yang buat dia senang, saya dukung.” jawabnya lagi. Ale diam sebentar, berusaha menganalisis ekspresi dan nada bicara dari Juna. Nada bicaranya lagi-lagi terdengar sendu bagi Ale, begitu juga dengan sorotan matanya. Membuat Ale selain merasa bahagia karena mendapatkan lampu hijau juga merasakan hal yang janggal dan membingungkan.
“Jadi, 6 bulan lagi?” tanya Juna lagi—seperti ingin memastikan.
“Kalau Om mengizinkan.”
“Selama Xena yakin, selama Xena senang. Selama kamu juga yakin, karena tentunya nikah bukan hal main-main.” jawabnya lagi.
“Saya percaya kamu. Saya bisa lihat, kamu sangat sayang anak saya. Saya juga bisa lihat, Xena sangat sayang kamu. Saya juga entah bagaimana bisa lihat kamu laki-laki yang baik, laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi satu pesan saya.” Ale membetulkan posisi duduknya, berusaha duduk lebih tegap. Kemudian memperhatikan Juna dengan saksama.
“Xena itu anak yang sangat perasa. Perasa sekali. Kalau ada hal yang kamu tidak suka dari sikapnya, tolong ingatkan dia dengan cara yang baik, ya? Jaga komunikasi kalian. Coba belajar untuk saling memahami dan mengerti. Pernikahan bukan hal yang mudah, jadi sebelum itu, kalian sama-sama belajar ya?” pesannya. Ale mengangguk, kemudian tersenyum lebar. Pesan yang akan ia ingat baik-baik. Meski masih banyak sekali pertanyaan di kepalanya perihal sinar mata sendu Juna, ia tidak bisa untuk tidak senang. Dia senang sekali. Bahagia mendapatkan persetujuan atas niat baiknya dan Xena.
“Terimakasih banyak, Om. Dan ya, saya akan banyak belajar sebelum itu. Kalau boleh, apa saya juga boleh menghubungi Om sewaktu-waktu?” tanyanya.
“Oh, boleh. Dengan Senang hati. Kamu kan akan jadi anak saya juga.” jawab Juna, membuat Ale lagi-lagi tersenyum senang. Ia kemudian berterimakasih, mencium tangan Juna sembari berjanji dalam hatinya akan benar-benar mengingat pesan Juna. Juna menepuk-nepuk pundak Ale yang membungkuk di hadapannya. Setelahnya, mereka saling diam, larut di dalam pikiran masing-masing, hanya suara gemericik air yang terdengar. Mereka bertahan seperti itu untuk beberapa lama, sebelum Juna akhirnya kembali bergumam. Gumaman yang pelan—pelan sekali, seakan berbicara dengan dirinya sendiri.
“Jadi, 6 bulan lagi ya.” gumamnya.
Membuat sejuta pertanyaan kembali singgah di pikiran Ale. Dan dengan begitu, perasaan mengganjal dalam dirinya yang Ale tidak tahu pasti apa—-menetap.