We’re All a Little Fragile

There’s something about skripsi that makes it hard——something about it that forces us to procrastinate.

Berbagai alasan sudah Xena pakai demi menghindar dari mengerjakan skripsinya.

“Gue lagi mumet, kayanya harus baca AU deh.”

“Ih lagi gak mood, mending nonton film gak sih?”

“Kalau lagi jenuh gini, dipaksain ngerjain skripsi juga gak akan jadi bener. Yaudahlah, nanti aja, healing dulu sama rebahan dan scroll twitter kali ya?”

Hingga akhirnya, resmi 3 bulan skripsi menjadi proyek mangkraknya.

Lucu, dia bahkan bisa menulis 1 novel dalam waktu 3 bulan, tapi tidak untuk skripsi.

Sebenarnya, Xena ingin sekali segera menyelesaikan skripsi ini. Bagaimanapun, beban itu akan hilang kalau yang membuat beban diselesaikan, kan? Tapi entah kenapa rasanya berat sekali.

Tulisan yang ingin ia garap untuk menjadi anak keduanya pun masih menjadi angan-angan di kepala. Ia tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan hal lain karena terpikirkan skripsi, namun enggan juga untuk segera menyelesaikannya.

Setelah selesai shift, Haikal langsung menghampiri Xena yang sibuk dengan handphonenya di kursi dekat jendela.

“Tuh kan. Sini hapenya.” Haikal langsung merebut handphone Xena dari tangannya, menguncinya, kemudian menyimpannya di atas meja dalam posisi menelungkup.

“Scroll tiktok terus. Gak cape apa liat pargoy? Inget tujuan lo kesini. Lo udah terlalu lama anggurin skripsi.” Haikal menunjuk laptop Xena di hadapannya dengan file Word skripsi yang hanya terbuka namun tidak ia sentuh.

“HAAA kenapa semales ini ya Kal?”

“Ya karena lo males.” Jawab Haikal acuh tak acuh. Pandangannya tak lepas dari laptop di hadapannya.

“Jahaat.”

“Ya emang iya. Udah, kerjain.” Haikal menyentil dahi Xena pelan. Kebiasaan yang sering ia lakukan sejak lama jika gemas dengan kelakuan Xena.

——————

Haikal adalah teman pertama Xena di SMA, selain Zara—yang memang sudah menjadi temannya sejak SD, dan SMP. Masih Xena ingat betul pertemuan pertamanya dengan Haikal saat mos.

Waktu mos, 2 panitia tiba-tiba berkelahi, memaki dengan kata-kata kasar dan saling memukul di depan barisan anak-anak yang sedang di mos. Xena yang kebetulan berdiri paling depan dari barisan mundur perlahan karena ketakutan, kemudian tak sengaja menginjak kaki teman seangkatan di belakangnya. Xena membalikkan tubuhnya kemudian dilihatnya lelaki dengan postur tubuh tinggi dan kulit yang sedikit gelap, lelaki tersebut hanya memasang muka datar.

Eh, maaf.” Suara Xena bergetar. Dia memang benar-benar ketakutan. Belum pernah ia lihat baku hantam secara langsung sebelumnya.

BRAKKK

Belum sempat Xena membalikan badannya, tiba-tiba terdengar bunyi kencang dari arah depan. Gitar yang sebelumnya dipegang oleh salah satu panitia hancur tak berbentuk, ia memukulnya keras ke lantai tepat sebelah lawannya berdiri.

Xena terperanjat, kemudian tanpa sadar meremas lengan lelaki tersebut.

“Santai. Mereka cuma acting.” Ujar -yang punya tangan- santai, setengah berbisik.

“Serius?”

“Iya. Setiap tahun kaya gini.”

“Kok lo tau?”

“Yaaaa, adalah pokoknya.”

“Terus ngapain mereka acting kaya gini?”

“Ya biar seru kali?”

“Tapi ga seru.” Xena merengut. Mengangkat kedua alisnya sebal.

Lelaki dengan -tahi lalat di sekitar wajah dan lehernya yang membentuk Ursa Minor- hanya tertawa pelan, menyeringai.

“Gue Xena.”

“Gue Haikal.”

“Lo temen pertama gue disini——eh enggak sih, ada Zara, yang itu tuh.” Xena menunjuk Zara yang berdiri cukup jauh darinya.

Setelahnya, Xena selalu ada disekitar Haikal. Xena suka berada didekat Haikal. Entah bagaimana, meski kadang dingin, meski cuek dan blak-blakan. Haikal punya cara untuk membuat orang disekitarnya nyaman.

—————-

Haikal menghentikan gerakan jarinya di atas keyboard laptop setelah dilihatnya ada panggilan telepon masuk.

“Bentar ya, Xen.”

Xena mengangguk tanpa melihat kearah Haikal.

3 menit kemudian, Haikal kembali ke meja mereka dengan muka pucat dan panik.

“Eh, kenapa Kal?”

“Gue duluan ya, Xen. Ada urusan.” Haikal merapihkan barang-barangnya dengan tergesa. Xena tetap tak melepas pandangannya dari Haikal, ia khawatir.

Dilihatnya tangan Haikal yang gemetar saat mencoba mememasukkan laptop kedalam tasnya.

Truth be told—-kaki Haikal lemas. Ia hampir tidak bisa merasakan tubuhnya.

“Kal. Kenapa? Ada apa?” Tanya Xena panik.

Haikal hanya menggeleng pelan, tidak sanggup berbicara.

“Kal, jangan nyetir, gue aja yang nyetir, gue anter, lo mau kemana?”

“Gak usah, Xen. Gue duluan.” Haikal langsung berjalan cepat kearah pintu keluar.

“Kal. You’re not on your mind. Please biarin gue anterin lo. Gue janji gak akan nanya apapun.” Xena menarik lengan Haikal sesaat sebelum ia masuk ke mobilnya. Dengan lemas dan pasrah, Haikal memberikan kunci mobilnya kepada Xena.

Diperjalanan, Xena benar-benar tidak menanyakan apapun. Mereka berdua hanya terdiam dalam pikiran masing-masing. Sesekali diliriknya Haikal yang memainkan jarinya gelisah. Tangannya gemetar hebat.

“Breath Kal, breath.” Xena melepas satu tangannya dari setir kemudi kemudian menggenggam tangan Haikal erat. Jemari hangat Xena lumayan menenangkan Haikal, gemetar di tangannya jadi sedikit berkurang, namun sebagai gantinya, Haikal mulai meneteskan air mata yang sedari tadi ia tahan untuk tidak keluar. Pikirannya kacau.

Xena belum pernah melihat Haikal seperti ini sebelumnya. Haikal yang rapuh, Haikal yang nyaris tidak berdaya. Jantung Xena berdebar-debar saat mencoba menerka hal yang membuat Haikal seterkejut dan sepanik ini.

‘Kal…apapun itu, semoga semuanya baik-baik aja.’