We’re All a Little Fragile Sometimes, And That’s Okay
Ale langsung datang ke rumah sakit setelah selesai acara. Dilihatnya Haikal yang duduk di depan ruangan. Wajahnya masih terlihat lelah, tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya.
“Kal…mama udah sadar?”
“Udah…lagi tidur lagi.”
“Barusan mama nangis, Bang.”
“Mama minta maaf sama gue.”
“Minta maaf karena udah jadi Mama yang payah.”
“Minta maaf karena Mama lemah.”
“Sakit Bang…sakit dengarnya.”
Ale langsung mendekap tubuh Haikal erat. Ditepuk-tepuknya pundak Haikal pelan, ia diam, membiarkan Haikal mengeluarkan semua isi pikiran yang ingin dia bagi.
“Capek Bang.”
“Gue harus apa Bang, kalau kaya gini?”
“Mama kaya udah gaada semangat hidup.”
Ale melepas dekapannya. Berbicara mata ke mata dengan Haikal.
“Kal….orang yang ingin mati itu sebenarnya gak benar-benar ingin mati. Mereka ingin hidup jadi lebih baik. Mereka ingin isi kepala mereka jadi lebih bersahabat. Mereka berharap untuk tenang dan gak mikirin keinginan untuk mati lagi. Mereka butuh diselamatkan, Kal. Mama bisa diselamatkan.”
“Ada gue, sama-sama kita bantu Mama ya? Kalau udah begini, kayanya kita butuh bantuan ahlinya. Kita bawa Mama ke psikiater, ya? Mama pasti sembuh. Sekarang, Mama cuma lagi lupa aja kalau Mama orang yang kuat.”
Ale kembali merengkuh tubuh Haikal lalu didekapnya. Hari itu, untuk pertama kalinya, Haikal mencurahkan isi hatinya. We’re all a little fragile sometimes, and that’s okay. We all need somebody sometimes, and that’s understandable.