We’re All a Little Fragile; Tentang Haikal
Tw// self harm ‼️ Tw// divorce ‼️
Haikal langsung berlari-lari kecil sesaat setelah mereka sampai di parkiran rumah sakit. Banyak sekali yang ada di pikirannya, membuat kepalanya pusing bukan main. Xena ikut berlari mengikutinya dari belakang, dadanya berdebar, ia khawatir terjadi sesuatu pada Haikal.
Langkah Haikal terhenti sebentar di depan pintu sebuah ruangan di lantai 3 rumah sakit tersebut, ia memukul-mukul dadanya kasar sebelum akhirnya membuka pintu ruangan. Sesak, yang Haikal rasakan adalah sesak di dadanya.
Setelah Haikal masuk, Xena tetap berdiri di depan pintu. Ia benci bau rumah sakit, karena dengan hanya mencium baunya, itu bisa membawanya kepada luka terdalam dari hidupnya, kehilangan Bundanya. Ia mungkin masih terlihat ceria, masih bisa tertawa, namun sejujurnya, setengah bagian dari hidupnya ikut terbawa sepeninggal Bundanya.
Ia benci berada di rumah sakit, karena menurutnya rumah sakit itu tempatnya duka. Tempatnya pengharapan yang pupus. Tempatnya air mata. Tempatnya kecewa dan luka. Meski tak bisa dipungkiri banyak juga tawa dan suka yang ada di rumah sakit, kelahiran dan kesembuhan, contohnya.
‘Kenapa sih, bau rumah sakit itu khas?’
Sebelumnya, karena panik saat berlarian mengikuti Haikal, Xena tidak begitu sadar kalau bau rumah sakit masih membuatnya trauma. Tapi setelah dia diam, dia mulai merasa sakit kepala dan mual.
Xena memeluk tubuhnya sambil menepuk-nepuk pundaknya pelan, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
“Gaboleh, Haikal lagi kaya gini. Gue gaboleh jadi orang yang ngerepotin.”
Xena mulai mengintip dari kaca pintu untuk melihat kondisi di dalam ruangan. Ia terkejut ketika dilihatnya sosok yang dikunjungi Haikal adalah Mama Haikal yang terbaring di atas kasur dengan mata terpejam. Entah dalam kondisi tidak sadar, atau memang sedang tertidur.
Xena berjalan gontai, mencoba untuk mencari toilet paling dekat. Ia mual, rasanya seperti ingin muntah. Sesuatu seperti ini selalu memicu traumanya. Melihat Mama dari temannya terbaring di atas kasur rumah sakit benar-benar membuatnya mengingat masa-masa 5 tahun lalu ketika ia juga harus bolak-balik rumah sakit menemani Bundanya yang terbaring lemah. Ia bisa mengerti mengapa Haikal bisa sepanik dan sekacau tadi.
Sesampainya di toilet ia langsung mengeluarkan isi perutnya di dalam salah satu bilik toilet. Samar-samar, ia dengar langkah kaki yang mendekat.
”Ibu yang tadi di ruangan itu…kasian ya, di rumahnya nyayat tangannya sendiri. Untungnya masih bisa selamat.”
“Yang tadi di ruangan 3A?”
“Iya. Barusan anaknya juga udah kesana ternyata. Pasti kaget banget anaknya.”
“3A? Haikal……” Lirih Xena pelan. Ia menepuk-nepuk dadanya dan terduduk di lantai toilet. Sakit. Dia bisa merasakan sakitnya. Jelas saja Haikal yang biasanya nyaris tidak banyak mengeluarkan emosi bisa sekalut tadi.
“Haikal..ada apa….” Rintihnya lagi tertahan.
Di ruangan 3A, Haikal duduk di kursi sebelah kasur rumah sakit, tangannya menggenggam erat jemari Mamanya.
“Mah…” rintih Haikal lemah.
“Mah…jangan gini.”
“Mah…kalau Mamah juga gak ada, Haikal gimana?” Haikal menundukkan kepalanya, menenggelamkan wajahnya diatas tangannya sendiri yang masih menggenggam jemari Mamanya.
Haikal mengelus pelan pergelangan tangan Mama yang sudah dibalut perban. Dadanya sesak memikirkan parahnya perasaan sedih dari Mamanya sampai beliau menyakiti dan membahayakan dirinya sendiri. Ini kali pertama. Apa selama ini Mama menahan semua perasaannya hingga jadi menumpuk dan kacau, sampai akhirnya berniat untuk menyakiti dirinya sendiri?
Sebelumnya, di kafe tadi, asisten rumah tangganya menelepon.
“Mas Ikal….Mama Mas…” Suara Bi Nina yang terdengar panik membuat tubuh Haikal melemas seketika, firasatnya buruk.
“Mama nyayat…..”
hiks
“Nyayat tangannya Mas.”
hiks
Bi Nina berusaha untuk menjelaskan situasi yang terjadi dengan suara yang bergetar hebat, diselingi oleh tangisan yang juga tidak bisa ia tahan saking terkejutnya.
Di perjalanan menuju kesini, pikiran Haikal dipenuhi sumpah serapah dan kecemasan. Dalam hati ia menyumpahi Ayahnya yang mengkhianati Mama. Ayah yang dengan mudahnya mengingkari tanggung jawabnya pada keluarga, juga mengingkari janji dan ikrar sucinya dengan Mama. Masih dia ingat betul satu tahun lalu dimana semua kebenaran terungkap, fakta bahwa Ayahnya selingkuh, betapa hancurnya perasaan dari Mama dan Haikal saat itu. Ayah yang selama ini menjadi panutannya karena kelembutan hatinya, ternyata bisa mengkhianati Mama-nya.
“Kenapa Yah? Kenapa?”
“Maaf……”
“Kenapa?”
“Maaf……saya khilaf.”
“Kok segampang itu?”
Perceraian antara kedua orang tuanya benar-benar terjadi. Mama jadi orang yang sangat berbeda setelahnya. Kadang marah, kadang tiba-tiba menangis, kadang kembali seperti biasa. Mama sering kehilangan dirinya sendiri, bahkan setelah satu tahun kejadian tersebut berlalu. Haikal sendiri juga benar-benar terluka, ia terluka karena harus merasa marah pada Ayahnya, padahal sebelum ini, baginya, Ayahnya adalah sosok Bapak paling hebat. Haikal tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, hanya keluarganya yang tau, termasuk Ale.
“Bajingan. Orang yang mengingkari janji-janjinya itu bajingan.”
“Bajingan. Orang yang gak mau kasih penjelasan yang baik itu bajingan.”
“Mah….Haikal masih mau lihat Mamah jadi kaya dulu lagi, Mamah yang banyak senangnya. Mamah yang selalu senyum. Mamah yang….” Air mata mengalir deras membanjiri pipi Haikal. Ia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Hancur. Hatinya hancur. Bermenit-menit lamanya, ia hanya bisa menangis.
Setelah mengumpulkan kewarasannya, Xena langsung kembali ke depan pintu, dilihatnya Haikal yang masih terduduk menangis.
“Haikal belum sempet makan…beliin makan dulu deh.” Pikirnya.
Dalam perjalanan menuju kantin Rumah Sakit. Ia melihat kerumunan yang berbisik dan sedikit heboh.
“Eh itu Ale kan ya?”
”Eh Iya bener Ale. Ngapain ya? Kaya buru-buru banget.”
Xena kemudian melirik kearah pandangan mata semua orang tertuju.
“ALEEE!” Jeritnya dalam hati. Sebuah kebetulan untuk melihat dan bertemu Ale disini. Ale jauh lebih tampan dari yang ia lihat di layar handphonenya. Sayang, ini bukan saat yang tepat. Kalau saja kondisinya bukan seperti ini, dan lokasinya bukan di rumah sakit, Xena mungkin sangat senang bisa bertemu idolanya yang akhir-akhir ini menjadi salah satu sumber senyum dalam hidupnya.
“What a shame, kita harus ketemu dalam kondisi kaya gini.” Pikirnya, matanya masih menatap Ale yang berjalan cepat kearah eskalator rumah sakit.
“Kasian Ale. Bahkan mau ke rumah sakit untuk tujuan pribadi aja harus diliatin banyak orang kaya gini.” Pikirnya lagi.
“Yaudah…beli makan buat Haikal dulu. Ale pasti butuh privacy juga. Ale, semoga apapun itu, semuanya baik-baik aja, ya.” Doa Xena dalam hati.
———
Ale berlari cepat kearah ruangan setelah menanyakan nomor ruangan pada bagian informasi.
Sesampainya di depan pintu ruangan, tanpa ragu ia langsung membukanya, kemudian berjalan menghampiri Haikal yang masih terduduk di samping Mama-nya.
“Mama gimana?” —Ale memang memanggil Mama Haikal dengan sebutan Mama. Baginya, Mama Haikal sudah seperti Mamanya sendiri.
Bukan jawaban, tapi justru pertanyaan yang keluar dari mulut Haikal. “Lo tau dari mana?” Tanyanya tanpa melihat kearah Ale.
“Kenapa kalau kaya gini lo gapernah hubungin gue sih?” Tanyanya, ia mengontrol suaranya sebisa mungkin agar tidak terlalu kencang. Kepalanya pening, dia juga panik. Sebelumnya, ia memang meminta Bi Nina untuk selalu mengabarinya perihal kondisi rumah Haikal. Ia tahu pasti Haikal tidak akan memberitahunya hal-hal seperti ini.
“Tante Reni sama Om Tedi tau?” Haikal kembali bertanya. Tante Reni dan Om Tedi adalah kedua orangtua Ale.
Ale menggeleng pelan.
“Untuk sekarang gue gak kasih tau. Takut Ibu kaget.”
Haikal hanya diam. Tatapannya kosong.
“Kal….gue Abang lo. Gue keluarga lo. Lo harus inget itu.” Ale memeluk Haikal yang masih duduk. Mengguncang-guncang pelan tubuhnya.
“Bang. Gue mau sendiri dulu.”
“Kal…jangan gini. Lo udah makan?”
“Bang. Please. Gue pusing.”
“Kal…lo bisa gak nerima orang yang peduli dan sayang sama lo? Gue juga keluarga lo, Kal.”
“Bang…gue capek.” Haikal memohon. Yang ia inginkan saat ini hanya berdua dengan Mamanya. Berpikir hal-hal apa yang harus ia lakukan untuk membuat Mamanya sembuh dan kembali seperti dulu.
“Oke….tapi kalau ada apa-apa lo harus hubungin gue. Ya?”
“Kal. Jangan takut buat bergantung sama orang lain. Apalagi orang itu gue. Gue Abang lo. Gue bukan orang asing di kehidupan lo, kan?”
“Ini. Lo makan dulu. Isi perut lo. Kalau Mama udah sadar kasih tau gue.”
“Jangan takut ngerepotin orang lain, jangan takut dipayungi orang lain, karena lo pasti bisa ngerasain orang yang benar-benar rela apapun buat lo, Kal.”
“Mama lo, mama gue juga. Jadi gue gak mau tau, lo harus kabarin gue.”
Dengan pasrah, Ale berjalan keluar ruangan. Dadanya sesak bukan main melihat kondisi sekarang. Ia bahkan tidak bisa membujuk Haikal untuk membuka dirinya, membuka hatinya untuk menerima rangkulannya. Demi Tuhan, ia sayang dan peduli pada Haikal dan Mamanya.