When It All Began

Tak ada kata yang bisa menggambarkan betapa gugupnya Xena saat itu. Sahabatnya—-sahabat yang sebenarnya juga ia sukai sejak lama tiba-tiba menyatakan perasaannya.

“Gue mau lu jadi masa depan gue Xen. Not as bestfriends, but as lovers.” Ucap Dean sesaat setelah Xena mengangkat teleponnya.

‘Is he being serious right now? But how? Kenapa tiba-tiba dia mikir gini?’ Pikirnya.

“But why?” Xena berusaha terdengar biasa saja, menutupi fakta dia yang gugup setengah mati sampai rasanya sulit mengeluarkan suara.

“Because I like you? Because I’m in love with you? Because I feel attached and attracted to you? Because I think you’re the right one for me? For my future?

Ini pertama kalinya. Pertama kali dalam hidup Xena yang sudah 22 tahun ia mendengar kata-kata seperti ini ditujukan padanya.

“Since when? Sorry I still don’t get it.”

“I don’t really know the exact time. All I know is I want you, Xen. Stop talking about me because my answer is clear already, right? So how about you? Your feeling?”

Faktanya, selama ini Xena memendam perasaan yang sama. Perasaan yang mungkin ia coba tahan sekuat tenaga mengingat Dean adalah sahabatnya. Sahabat yang mungkin hilang jika hubungan ini melibatkan perasaan.

Tapi Dean mengungkapkannya begitu mudah, membuatnya berpikir, ‘Apa dia sudah tau ya?’ ‘Apa persahabatan ini tidak sepenting itu ya? Sampai dia berani melawan batas dan mencoba peruntungan?’

“I don’t wanna lose my chance, I don’t wanna regret anything, that’s all, if that’s what bothering you. Dan ini bukan tiba-tiba, I’ve been thinking about it for months.” Ujar Dean seakan bisa membaca pikiran Xena.

Xena menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kikuk setengah mati. Bagaimanapun, ini kali pertamanya.

“Tapi Dean….”

“Kenapa? Jangan takut kehilangan gue Xen. Gue gak akan kemana-mana.” Dean memotong, nada bicaranya begitu meyakinkan, terlebih Xena merasa tahu betul kalau Dean tidak pernah asal bicara.

“I—actually like you too, I mean, like you as a man. I just, don’t wanna lose you so yeah.”

“So….can we take it to a new step of relationship now that we know we have the same feelings?” Dean made it so easy, membuat Xena sedikit ragu, tapi entah bagaimana, ada bagian dari dirinya yang mencoba percaya. Atau mungkin karena Xena juga memiliki perasaan yang sama dan tidak punya alasan untuk menolak ajakan dari Dean? Entahlah. Ia tidak memikirkan banyak kemungkinan, yang dia pikirkan hanya satu.

‘Mungkin setelah banyak membaca buku romance, ini saatnya gue ngerasain sendiri juga, waktunya gue untuk bareng sama soulmate gue. Mungkin setelah banyaknya pengharapan, gue akhirnya dapat gilirannya juga.’

“O-okay maybe we can try it?” jawab Xena kemudian dengan nada bicara yang lebih seperti pertanyaan.

Dari seberang telepon, Dean tersenyum lega. Ungkapan perasaannya diterima dengan baik.

Pada saat itu, pertama kali dalam hidupnya Xena merasakan rasa bahagia yang biasanya hanya bisa ia bayangkan. Rasanya dicintai dan diinginkan. Dia tidak percaya hari seperti itu akan datang, terlebih dengan orang yang selama ini juga dia inginkan. Hari itu, ia bahagia sampai menangis.

She’s that kind of girl who spends her free time reading romance books or watching romance movies. Smiling for things she hasn’t tasted herself. So would you blame a girl who never tasted the-feeling-of-being-loved before for believing? Would you blame her for believing the man who told her he loved her convincingly? Things that she’s been craving for years?

Pada saat itu juga, Dean merasa sudah menaklukan dunia. Orang yang dia inginkan untuk bersamanya juga menginginkannya. Terlepas dari apapun yang dia rasakan saat itu, yang ia tahu, ia bahagia.

Dan sejak hari itu, dua sahabat yang akhirnya tau perasaan masing-masing mencoba untuk mengenal satu sama lain lebih dekat, membentuk hubungan baru yang melibatkan cinta dan perasaan, mempersiapkan masa depan yang mereka pikir akan berpihak pada mereka.

Satu yang Dean sebelumnya tidak sadari, janji yang ia buat ketika sedang berbahagia bisa saja membawa orang lain ke luka hati paling dalam.