When One Door Closes, Another Opens
Kali pertama, semenarik apapun itu—-tetap selalu menakutkan. Setidaknya begitu bagi Xena. Kadang ia benci pikirannya sendiri, ia benci kekhawatirannya pada sesuatu yang bahkan belum tentu terjadi. Asumsi dan skenario di kepalanya seringkali membuat pikirannya lelah, bahkan sebelum hal yang dia khawatirkan terjadi. She hates being an overthinker and it really shows. But there’s something about Ale that seems to tame her and her wild mind, he always has a way to bring her back to her senses, and she loves that fact. Sometimes, it’s nice to have someone who will be around and say ‘It’s okay’ ‘Everything’s going to be okay’, and making sure you know, you're not alone. She’s forever grateful for that. Dan lagi, seperti beberapa kekhawatiran yang sebelumnya pernah ia rasakan, kekhawatirannya kali ini juga tidak terjadi. Lagi, it was just her and her wild mind.
Zeta yang sempat asik mengetik dengan handphone seketika melepas handphonenya untuk ikut tertawa bersama Xena dan Ibunya yang sedang membahas Stand Up Comedy. Wanita paruh baya yang wajahnya benar-benar terlihat seperti Ale versi wanita dengan setelan kemeja coklat ini tertawa kencang, sesekali memukul-mukul Xena pelan dengan tangan kanannya, membuat Xena tertawa makin kencang karena menyadari darimana Ale mendapatkan kebiasaan tersebut.
“Stand Up Comedy bener-bener seru ya, Na. Ternyata Ibu suka banget.” Ujar Ibu Ale—Reni dengan sisa tawanya. Xena mengangguk bersemangat, merasa senang karena semakin banyak orang disekitarnya merasakan hal yang dia rasakan.
“Apa yang bikin kamu pertama kali suka Ale, Na?” Kali ini pertanyaan cukup serius terlontar dari mulut Reni, membuat Xena terkejut sedikit karena perubahan topik yang tiba-tiba.
Xena berpikir sebentar, sebelum akhirnya menjawab, “Hmm, sebenarnya aku kenal Ale itu dari lagunya, Bu. Liriknya cantik, lagu Beg For Love. Mungkin sejak itu, aku akhirnya suka atau kagum sama Ale. Emang kata-kata itu ternyata punya kekuatan. Kita gak akan pernah tahu seberapa berartinya kata-kata kita buat orang lain. Dan bagi aku, lagu Beg For Love itu liriknya berarti banget.”
Reni manggut-manggut, secara tiba-tiba lantunan lagu Beg For Love dari Ale memenuhi seisi kafe, membuat Xena, Reni, dan Zeta saling pandang kemudian tertawa pelan. “Kaya disetujui dunia, tuh.” Ujar Reni sambil tersenyum iseng.
“Terus, apa yang buat kamu sadar kamu jatuh cinta sama Ale, Na?” Tanya Reni lagi.
Xena tersenyum kecil, ia tersipu, bagaimanapun, membahas hal seperti ini dengan Ibu dari kekasihnya yang mungkin-akan-menjadi-Ibunya-juga membuatnya sedikit malu.
“Kayanya, setelah aku sadar aku pengen selalu ketawa bareng Ale, Bu. Setelah aku sadar kalau ternyata ketawa bareng sama Ale bisa semenyenangkan itu. Setelah aku sadar kalau mungkin, pertemuan kita yang aneh itu justru bisa bawa kita ke hubungan yang istimewa. Setelah aku sadar, kalau aku mau lihat lebih banyak hal tentang Ale, mau belajar banyak hal tentang Ale, dan mau tahu hal apa lagi yang bisa kita lakuin sama-sama—-selain ngobrol dan ketawa bareng. Setelah aku sadar kalau aku bisa percaya Ale, dan Ale bertanggung jawab untuk setiap langkahnya, aku jadi merasa yakin kalau aku benar-benar sayang sama Ale.” Jawab Xena sembari tersenyum, membayangkan banyak hal yang sudah ia lalui bersama Ale, ia terbawa suasana, membuat senyum di wajah Reni melebar. Zeta sudah siap untuk meledek Xena dan jawabannya sebelum Reni kembali berbicara dengan wajah serius, tatapannya lurus kedepan, menatap orang yang berlalu lalang tanpa mengindahkan mereka.
“Ale itu laki-laki yang bertanggung jawab, bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bertanggung jawab atas perbuatan dan perkataannya, bertanggung jawab atas pilihan dan janjinya, juga orang yang ada di lingkup tanggung jawabnya. Jadi dengan memilih kamu untuk jadi pasangannya, artinya dia udah siap untuk bertanggung jawab atas pilihannya itu, setidaknya itu yang Ibu lihat dari Ale, dan ternyata kamu juga lihat dan yakin sama hal itu, ya. Kamu sempet takut gak, Na? karena Ale itu artis dan cukup terkenal?”
Xena mengangguk, jujur. “Sempet, aku sempet mikir. Tapi aku tiba-tiba sadar, hal yang paling menakutkan dari takut itu sendiri adalah kalau kita terus menerus merasa takut. Kalau aku terus merasa takut, aku mungkin kehilangan kesempatan untuk dapat bahagia itu. Lama-lama ketakutan karena itu berubah jadi ketakutan kalau aku kehilangan kesempatan untuk dapat bahagia itu——sama-sama takut, sih. Tapi takut yang justru buat aku memilih hal yang tepat, kayanya.” Kali ini, mata Xena dan Reni bertatap, Reni kembali tersenyum kemudian mengelus kepala Xena lembut.
“What a wise words, hal yang paling menakutkan dari ketakutan itu sendiri adalah kalau kita terus menerus merasa takut, Ibu setuju.” Xena menikmati usapan di kepalanya dengan senyum yang lebar, ia benar-benar merasa sedang bersama Ale sekaligus merasakan keberadaan Bundanya yang sama lembutnya.
“Ale itu…..orang yang super selfless.” Ujarnya lagi. Xena diam, menunggu Reni melanjutkan.
“Dia selalu berusaha ada untuk orang disekitarnya. Selalu berusaha jadi Ale terbaik untuk orang disekitarnya yang dia pedulikan. Dari dulu, Ibu nggak pernah dengar dia ngeluh karena kegiatannya. Bahkan dengan tanggungan dan tanggung jawab sebesar sekarang, jadi penyanyi yang cukup terkenal, punya studio rekaman, meskipun Ibu tahu dia pasti capek dan kadang stress, Ibu nggak pernah dengar dia mengeluh.”
“Dia nggak mau ngerepotin orang, mungkin itu kata yang pas, walau sebenarnya Ibu juga gak tahu. Atau mungkin terbiasa menelan sendiri semuanya—-kayanya turunan dari Ayahnya.” Kali ini Reni tertawa kecil.
“Bahkan, pas salah satu anak labelnya kena kasus narkoba sampai Madheva Records jadi korban padahal masih terbilang baru, Ale sampai rumah tetap kaya biasa—-tegar, walau wajahnya nggak bisa bohong, dia capek.”
“Selalu coba cari solusinya sendiri.” Lanjut Reni, ia menenggak minumnya sebentar, kemudian kembali berbicara, “setiap dia ngerasa sakit, dia nggak pernah minta orang lain untuk ini ataupun itu, kadang malah dia masih tetep kerja.”
“Jadi, Ibu seneng banget, karena sekarang pas dia sakit dia mau minta tolong sama kamu untuk nemenin dia, sama-sama dia.”
“Banyak hal yang berubah dari Ale semenjak ketemu kamu, Na. Ale jadi lebih bahagia, terasa lebih hidup dan lengkap, mungkin itu kalimat yang pas. Ale setelah ketemu kamu itu versi Ale favorit Ibu.” Reni menatap Xena lekat, kemudian tersenyum. “Jadi makasih sayang, makasih udah datang ke kehidupan Ale ya. Makasih udah mau ngalahin rasa takut kamu untuk bareng sama Ale, makasih udah kasih kesempatan buat diri kamu mencoba. Percaya, kebahagiaan yang kamu dapet itu sama besarnya dengan kebahagiaan yang Ale juga dapet. Ternyata anak setangguh Ale juga butuh seseorang untuk ada di sisinya, nemenin dia di segala masa sulitnya. Ibu senang karena orangnya kamu. Kamu bisa anggap Ibu seperti Ibu kamu sendiri, karena Ibu juga sudah menganggap kamu seperti anak Ibu sendiri.” Lagi, Reni mengusap lembut kepala Xena dengan tangan kanannya, tangan kirinya menggenggam tangan Xena. Xena tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. Banyak perasaan yang tidak bisa dideskripsikan datang, membuatnya bahkan tidak bisa berkata-kata.
Tidak dia sangka, mengalahkan satu ketakutan membuatnya merasakan banyak bahagia yang bahkan tidak bisa ia deskripsikan. Kebahagiaan yang menghangatkan hati, sekaligus terasa tidak nyata. Hanya dengan mengalahkan satu ketakutan, ia berhasil sampai pada bahagia yang selama ini ia cari. Perasaannya penuh, membuatnya tanpa sadar meneteskan air mata yang sedari tadi hanya menggenang di bawah matanya.
“Makasih——Bu.” Ujar Xena singkat, tertahan karena tangisnya yang tiba-tiba pecah. Ia menangis tanpa bersuara, Zeta yang ada di sebelahnya merengkuhnya erat, mencoba menenangkan. Banyak sekali yang ada di pikiran Xena saat ini.
“Bun, your Nana is really safe and happy now, Bun I hope you can see me happy now, I’m on the right hand, I’m on the right path.” Ujarnya dalam hati sembari menangis dalam dekapan Reni yang memeluknya erat sembari mengusap-usap punggungnya.
When one door closes, another opens. She believes that for sure. Her past relationship ended badly, but it brings her here—-here, in this very place, all happy and feeling so full. Now, she can say she’s a firm believer that everything happens for a reason. For her, it’s not just a lucky coincidence again, it’s a destiny.
“Ale, it’s been a long time since I’ve been me, thank you, thank you for coming into my life.”