Words Unsaid; A Feeling You Will Never Recognize
Sedari tadi, Haikal mengendari mobilnya tanpa tujuan. Dia nyaris mengitari satu kota Jakarta demi menenangkan pikirannya. Permintaan izin dari Ale untuk mendekati Xena tadi membuatnya tertawa miris. Dari sekian banyak lelaki di dunia ini, universe managed to allow them to cross paths. Bahkan tanpa ada keterlibatan dari dirinya yang adalah sepupu dari Ale, they managed to find each other—-seems like, universe is trying to tell him that they’re not meant to be, and never meant to be together.
Pikirannya terpecah antara merasa lega karena Ale adalah orang yang akhirnya mencintai Xena, sekaligus terpukul karena hal yang sama. Ale is a good man, indeed, he knows that for sure. Dia yakin Ale akan memperlakukan Xena dengan baik dan juga tahu pasti Xena akan berada di tangan dan cinta yang tepat.
Tapi hatinya tidak bisa berbohong, rasanya sakit bukan main.
“Kenapa harus Ale? Dari banyaknya orang di dunia ini?”
“Kenapa harus orang yang selalu ada disekitar gue?” Pikirnya.
Setelah 2 jam berputar-putar tanpa arah, ia akhirnya berhenti di salah satu kafe di sudut kota Jakarta. Memesan minuman yang biasa ia pesan—americano, kemudian duduk di bangku paling sudut dengan tanaman besar di kedua sisinya, berusaha menghindar dari siapapun yang bisa memandang.
Ia merogoh tas yang dibawanya kemudian mengeluarkan sebuah jurnal kecil berwarna cokelat. Ia buka halaman pertama kemudian tersenyum masam. Nostalgia mulai merasuki dirinya, menulis jurnal adalah salah satu hal yang sebelumnya ia tidak tahu akan dia lakukan, dan semuanya berawal dari Xena and her non-stop talking about journaling.
“Kal, gue suka banget deh nge-journal. Walau yang gue tulis kadang gak jelas, tapi rasanya seneng dan puas aja.” Ucap Xena suatu hari. Haikal hanya diam, ia mendengarkan dengan saksama. Pandangannya tak lepas dari mata Xena, binar matanya saat menceritakan hal-hal yang ia sukai selalu membuat Haikal terhipnotis.
Besoknya, ia pergi ke toko buku dan membeli buku jurnal yang menurutnya paling kecil—jaga-jaga jika ia hanya akan menulis satu atau dua kata disana. Sebenarnya ia tidak yakin bisa menulis sesuatu pada jurnal tersebut mengingat menuangkan isi pikiran dalam kata-kata dan merangkainya bukanlah keahliannya. Ia hanya penasaran, ia selalu penasaran tentang hal-hal yang membuat Xena terasa dan terlihat hidup. Ia selalu ingin mengetahui bagaimana hal tersebut membuat Xena senang. Sama seperti bagaimana Stand Up Comedy selalu berhasil membuat Xena tertawa hingga akhirnya ia mencoba untuk ikut mengenal dunia Stand Up Comedy, ia juga ingin tahu mengapa Journaling bisa membuat Xena begitu semangat.
What excites Xena, always makes him curious at the end.
Malam setelah ia membeli jurnal tersebut, ia hanya memandangi kertas kosong di hadapannya. As expected—-ia bingung harus menulis apa.
“My life is a mess.” Was the first thing that came to mind.
“My head is chaos place.” Adalah kalimat kedua yang akhirnya ia tulis.
Selanjutnya, tanpa sadar, setiap ia menulis di jurnal tersebut, kata-kata yang sering muncul hanyalah gambaran singkat perasaannya tentang Xena. Tanpa sadar, jurnal tersebut menjadi luapan perasaannya untuk Xena yang tak tersampaikan, serta beberapa pikiran kacaunya yang asal ia tulis.
“I don’t know what I should do. My feeling is real, but I don’t think it’s the right time for me. You deserve the best thing in life, Na. And for now, I can’t give you that.”
“Hesitation. Hesitation. Hesitation. It’s neither bring me to a happy ending or another sad story.”
“When will my life get better, Na? Will you still be there when it finally happens?”
“I love how you tell me things you love. I love how simple things make you happy. I love how your eyes spark while telling me those. I love you, Na. I love you like crazy.”
“Mamah, please get better soon.”
“Holding grudge only make me desperate, but it’s the only thing I know, for now.”
He still can’t forget things, he still can’t forgive what happened.
Dunianya keras, dunianya kejam, hidupnya penuh kebencian. Segala amarah yang belum bisa ia hapuskan. Baginya, Xena layak mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Dan baginya juga, ia belum bisa menjamin kebahagiaan tersebut. Ia masih belum selesai dengan dirinya sendiri, dan ia tidak ingin gegabah dan egois dengan perasaannya. Baginya, ungkapan perasaan harus diikuti dengan tanggung jawab——tanggung jawab yang belum sanggup ia pikul.
“Na…..sekarang gue udah telat.”
“Hidup gue sekarang udah 70 % mencapai kata damai, tapi gue udah telat, Na.”
Haikal melepas satu persatu kertas yang berisi kalimat-kalimat hasil tulisannya dari jurnal, kemudian merobeknya menjadi potongan kecil.
Selesai.
Penantiannya untuk Xena selesai. His feelings will be left unknown.
Tapi mungkin, segala ragunya memang ada bukan tanpa alasan? It’s simply to show that they’re not meant to be together.