Matchareads

Xena berlari cepat ke arah pintu setelah didengarnya bunyi bel yang sedari tadi sudah ia tunggu-tunggu. Kemarin Ale baru saja kembali dari Jogjakarta, dan setelah 3 minggu tidak bertemu, Ale akhirnya memutuskan untuk menghabiskan hari terakhir di tahun 2021 dengan Xena beserta teman-teman Xena—Haikal, Nara dan Zara yang akan menyusul dan datang setelah malam tiba.

Setelah pintu terbuka, Ale langsung merentangkan tangannya lebar-lebar, bersiap untuk memeluk gadisnya yang selama mereka berjauhan tak luput dari pikirannya. Xena tersenyum kegirangan melihat Ale, ia lalu meraih tubuh Ale, memeluknya erat seperti janjinya.

“I miss you so much. What a long 3 weeks.” Ujar Ale kemudian, tangannya ia letakkan di belakang kepala Xena, membelai rambutnya lembut. “I really missed this warm hug.” Lanjutnya. Seketika, aroma manis dari tubuh Xena menguar, membuat Ale makin mengeratkan pelukan mereka. “Duh kangen wangi ini.” Pelukan mereka bertahan cukup lama, sampai penghuni apartemen di sebelah Xena keluar dan berdeham pelan penuh perasaan bersalah karena merasa sedang memergoki kemesraan sepasang kekasih. Xena melepaskan pelukannya kemudian tersenyum canggung kearah tetangganya, membuat Ale terkekeh geli.

“So how was it, Le? Kamu capek gak sekarang? Kamu maksain banget gak sih kesini? Padahal kamu bisa tidur di rumah.” Tanya Xena kepada Ale yang sudah duduk di sofa coklat, tempat favoritnya di apartemen Xena. Pandangan Ale tak lepas dari Xena yang sedang menyiapkan beberapa camilan dan minuman hangat untuk Ale di dapur. Ia tersenyum setelah aroma sandalwood menyeruak kedalam hidungnya, that when he knows, he is home.

“Kinda tired. Tapi aku seneng ketemu kamu sekarang. You know what, sometimes Na, you’re the only thing that makes me want to get up in the morning. Aku semangat banget hari ini bangun pagi.”

Xena yang menghampiri Ale dengan camilan dan teh hangat di tangannya langsung berdecak, “Oh please, ini masih pagi, jangan dulu buat aku salah tingkah.” Ale tertawa pelan.

“Lagian, kita kan cuma bakalan santai-santai aja sekarang.” Lanjut Ale, yang diikuti dengan anggukan dari Xena, “Iya juga sih.”

“Zeta udah bilang belum sama kamu, kalau dia mau ikut nanti? Ibu sama Ayahku pergi malam tahun baruan sama koleganya Ayah soalnya, jadi rumah sepi.”

“Iya dia udah bilang, katanya dia tadinya mau sama Bima, tapi Bima dikurung sama Mama Papanya, harus ikut acara bakar-bakar keluarga katanya, hahaHAHAHHA lucu ya kalau masih kecil, aku jadi inget dulu aku juga kaya gitu, sering dikurung. Sekarang aku bebas, bahkan pacarku ke apartemen aku terus kaya gapunya rumah HUUUU.” Ale yang sedang minum tehnya tersedak, ia tergelak.

“Kamu ngomongnya kaya Rama lama-lama, dia sering banget bilang aku kaya gapunya rumah.” Ujar Ale masih sambil tertawa. “Jadi kamu gak seneng nih?”

“Siapa yang bilang gak seneng?” Xena mengangkat kedua bahunya, tersenyum meledek. Ia bergerak merapihkan meja kerjanya yang memang sedikit berantakkan, meletakkan kembali barang-barang yang menjadi alat tempurnya dalam menulis sekaligus upaya mencari inspirasi.

“Na, sini dulu deh, duduk. Nanti aku bantu deh beresinnya.” Ale menepuk-nepuk bagian sofa di sebelahnya, Xena tersenyum lalu menuruti, ikut duduk di sebelah Ale. Sesaat setelah Xena duduk, Ale mengambil bantal sofa yang ada di dekatnya, kemudian meletakkannya di atas paha Xena, Ale langsung merebahkan kepalanya di atas bantal tersebut, membuat Xena sedikit terkejut dengan tingkahnya yang tiba-tiba.

“Boleh ya? Mau pacaran.”

“Kamu udah tiduran disini, ngapain nanya lagi?!”

Ale tertawa keras sampai matanya terpejam, setelah puas, ia kembali menatap Xena yang juga menundukkan kepala, melihat Ale yang ada di pangkuannya. “Zeta banyak cerita sama kamu ya, Na?”

Xena yang sedang memainkan rambut Ale tertawa pelan, mengangguk-anggukkan kepalanya bersemangat. “She tells me many things. Aku seneng banget, berasa punya adik. Kamu tau gak sih, dari dulu aku selalu pengen punya adik, jadi anak satu-satunya itu kadang sepi juga.”

“I’m glad you feel that way. Karena Zeta juga sama senengnya sama kamu. Kemarin aku pulang dia langsung cerita banyak hal tentang kamu—-‘Kak Xena…..’ ‘Kak Xena…..’ entah berapa kali dia ngomong kata Xena.” Senyuman Xena makin melebar setelah mendengarnya.

“Ohya, dan kamu tau? Racun Stand Up Comedy kamu itu udah sampai ke Ibu sama Ayahku, baru aja kemarin Ibuku bilang dia sekarang suka Raditya Dika, HahahhahahhahhahaHAHAHA.”

“KAMU SERIUS? Ya ampun, kok bisa?!”

“Zeta itu sama persuasifnya sama kamu, it’s hard to say no to her, just like it’s hard to say no to you, you know that?”

“I didn’t know that.” Jawab Xena sambil tertawa, ia masih memainkan rambut Ale, memilin rambutnya agar rambutnya berdiri seperti duri buah durian.

“Kamu harus digaji sama Raditya Dika deh, strategi marketing kamu ciamik banget.” Ale menahan tawanya, disisi lain Xena sudah tertawa kencang, kepalanya tertarik ke belakang.

“Awww sakit sayang.” Ale mengaduh pelan saat Xena tak sengaja menarik rambutnya yang sebelumnya sedang dimainkan.

“ADUH, SORRY. Abis lucu banget, target pemasaran aku udah melebar sekarang.” Xena mengelus-ngelus lembut bagian kepala Ale yang rambutnya sempat tertarik. Ale meraih tangan Xena, menaruhnya diatas dadanya, jarinya mengusap punggung tangan Xena.

“I already said it, tapi aku pengen ngomong ini secara langsung, makasih ya Na, udah mau libatin keluarga aku di hidup kamu.”

“Aku seneng banget tau, udah kenal Zeta gini hidup aku jadi lebih berwarna, soalnya dia setiap hari chat aku, cerita banyak hal seruuuu!!”

“Aku seneng banget dengernya, seneng banget kamu mau coba dekat sama keluargaku juga, soalnya aku serius banget sama kamu, Na.”

“Aku juga lahhh!” Seru Xena, membuat Ale sumringah. Matanya berbinar terang, senyumannya merekah.

“Kamu mau ketemu Ayah nggak?” Tanya Xena, membuat Ale terlonjak sedikit, ia kegirangan, setelah sekian lama tidak membahasnya, akhirnya Xena melontarkan pertanyaan tersebut.

“Aku mau lahhh!” Jawab Ale bersemangat. Xena manggut-manggut, “Oke, nanti kita cari waktu baiknya.”

“Aku tuh sempat kepikiran soalnya, aku belum minta izin sama Ayah kamu, udah main pacarin anaknya aja. Terus kepikiran juga, gimana nanti kalau Ayah kamu keburu tahu dari berita? Gak menutup kemungkinan kan nanti orang tahu kita pacaran dan muncul di berita. Aku merasa itu gak sopan aja. Aku belum sempat ngomong sama Ayah kamu.” Sebelumnya, ini memang menjadi hal yang dipikirkan Ale, hanya saja, ia merasa tidak enak hati untuk membahas perkara Ayah Xena jika Xena tidak memulainya.

“Oke, nanti kita cari waktu baiknya. Aku juga kepikiran sebenarnya.” Kali ini Ale yang manggut-manggut, ia kemudian tersenyum sangat lebar.

“Makasih ya, Na.” Xena tersenyum, mengangguk. Setelahnya mereka diam beberapa saat. Xena masih memainkan rambut Ale yang sedikit ikal.

“Haha.” Xena menundukkan kepalanya, menatap Ale yang tiba-tiba terkekeh kegirangan di pangkuannya. “Kenapa Le?” Tanyanya.

“Gak apa-apa, senang aja, mikirinnya.”

“Mikirin apa?”

“Mikirin kita.”

Entah berapa kali Xena tersenyum hari ini, sejak Ale datang, rasanya bibirnya tidak bisa berhenti menyunggingkan senyuman karena hal-hal yang Ale bicarakan.

“Ohya Ale, kamu ngakuuuu! Kamu beli buku aku 30 kan buat giveaway?” Xena menepuk-nepuk pipi Ale pelan.

“Lah, pasti Zeta kasih tau ya? Ah dia cepu.”

Xena terkekeh, “You always have a way to amaze me, do you know that?” Ale menggeleng pelan, “I didn’t know that.”

“Makasih ya, Ale. Padahal kita baru pertama kali ketemu waktu itu.” Lanjutnya.

“Jangan makasih aja dong, Na.” Jawab Ale, kali ini ia mengeluarkan senyum usilnya.

“Oke, jadi aku harus apalagi dong?”

“Kiss me.”

Sambil meneguk kopi yang sudah dipesannya selagi menunggu Zeta datang, Xena tertawa kecil membaca komentar-komentar warga twitter terkait Ale dan instagram storynya. Kata-kata 'Ale Bucin Era' yang menjadi trending topic membuatnya terkekeh geli berkali-kali. Ditambah lagi banyak meme berseliweran menambah kelucuan dari segala komentar yang diberikan.

Surprisingly, Xena tidak merasa sedikitpun terbebani akan hal ini. In fact, she's happy. Sejauh ini, respon yang diberikan oleh orang-orang terkait Ale dan hubungannya sungguh baik. Pada akhirnya, lagi-lagi ia disadarkan, tidak semua hal yang menjadi kekhawatirannya di masa lalu jadi kenyataan. Sometimes, it's just her, and her wild mind. Sometimes, things are better than expected.

“KAK XENAA!!” Suara nyaring terdengar bersamaan dengan langkah kaki yang mendekat kearah Xena. Xena langsung berdiri dan tersenyum lebar menyadari kehadiran Zeta. “HAIIIII” Jawabnya tak kalah heboh sembari merentangkan tangannya. 5 detik pertama, mereka habiskan dengan saling berpelukan.

“Aku seneng banget bisa ketemu Kakak, serius.” Mata Zeta berbinar, badannya bergerak heboh ke kanan dan ke kiri, rambutnya yang sebahu ikut bergoyang mengikuti gerakan badannya yang bersemangat.

“Aku juga.” Senyumnya melebar. Setelahnya mereka duduk, saling bertatapan selama 5 detik kemudian tertawa.

“Aku speechless. Sumpah, aku seneng banget ketemu Kakak. Maaf aku ngomong itu terus soalnya aku bener-bener seneng.” Xena tertawa mendengarnya, Zeta ternyata sesuai dugaannya, ia anak yang ceria, she's talky, just like how she expected her to be.

“Aku banyak denger tentang kamu dari Ale. Dan aku juga bener-bener pengen banget ketemu kamu, sebenarnya. Maaf ya, aku baru nunjukkin muka aku di depan kamu sekarang.”

“Ah gak apa apa Kak! Ohya Kak, aku penasaran, Kakak kenal Bang Ale sejak kapan sih, Kak? Soalnya aduh serius ya ini pertama kali Bang Ale kayak gini, dia tuh biasanya gapernah mikirin cinta-cintaan, Kak. Mangkanya pas pertama kali aku liat Bang Ale kayak beda gitu aku kaget banget ternyata karena jatuh cinta, aduh kalau Kakak tau nih ya, dia tuh bener-bener senyam-senyum terus tau gak sih di rumah.” Ucap Zeta dalam satu napas, membuat Xena terkekeh geli.

“Hmm, aku tuh kenal Ale sejak dia fanmeet tanggal 2 Agustus itu.”

“Hah?! Gimana ceritanya Kak? eh tapi kalau Kakak gamau cerita gak apa-apa, maaf Kak kalau aku kesannya kepo. Tapi emang bener sih, sejak hari itu Bang Ale anehnya.”

“Gak apa apa kok, aku mau cerita juga. Sebenernya, aku dulu tuh fansnya Ale.”

“HAH?! IYA KAK?!”

“Iya.” Jawab Xena sembari tertawa kecil, geli melihat reaksi Zeta yang sekarang membelalak karena terkejut.   Setelahnya, Xena menceritakan secara garis besar perjalanannya dengan Ale hingga sampai di titik sekarang. Zeta mendengarkan, sesekali mengangguk, kadang ia ternganga, tak heran, cara Ale dan Xena bertemu memang agak unik.

“WOW. Yaampun, that was beautiful. Yaampun. Ternyata cara orang ketemu pasangannya itu bisa macem-macem ya. Kak, yaampun, SERU BANGET.” Seru Zeta sesaat setelah Xena menyelesaikan ceritanya. Xena nyengir.

“Berarti bener, soalnya Bang Ale aneh banget pas abis pulang fanmeet—maksudnya gak kaya biasanya gitu. Ternyata Kakak alasannya, aku jadi tau sekarang.”

“Aneh gimana, Ta?” Tanya Xena penasaran.

“Keliatan seneng banget, senyum-senyum terus, biasanya dia kalau capek suka langsung tepar.”

“Nah, tapi waktu itu senyum-senyum. Ohya, Kakak suka baca buku ‘A Love She Didn't Know She Deserves’ gak sih, yang karyanya Kak Sweet Cakes?” Zeta melanjutkan.

Xena terbatuk sedikit mendengar buku dan nama penanya disebut. “Hmm...iya, aku baca, kenapa Ta sama buku itu?” Jawabnya kemudian, sedikit merasa bersalah karena menutupi fakta bahwa dirinya adalah penulisnya.

“NAH! Berarti karena Kakak ya! Wah terbukti semua. Jadi, pas pulang fanmeet, kata Mas Rama—em managernya Abang, dia tuh langsung ke Gramedia kan, terus pulang ke rumah bawa buku itu sampai 30 biji! dikasih ke aku, soalnya aku punya account reading gitu deh—udah agak banyak followersnya hehehe—nah pas aku tanya dia bilang gini.” Zeta kemudian merendahkan suaranya, meniru nada dan cara bicara Ale. ”Ta, punya reading account twitter kan? bikin giveaway aja nih.”

“Terus aku kaget kan karena tiba-tiba banget jadi aku tanya ‘Lah Bang, ada apaan?’ terus dia jawab lagi”—Zeta kembali merendahkan suaranya, membuat Xena terkekeh geli melihatnya “Ya gak apa-apa, pasti ada aja orang yang sebenarnya mau bukunya, tapi gak ada budget buat belinya, jadi ini aja, biar orang-orang tau buku ini bagus.”

Xena tertegun. “He did that?”

“Yes!! Ternyata karena Kakak suka ya.” Xena tersenyum, matanya berkaca-kaca, terharu dengan Ale dan hal yang dilakukannya—-padahal waktu itu mereka baru pertama kali bertemu. Ale never fails her, he always has a way to amaze her.

“Awalnya Mas Rama bahkan sempat mikir jangan-jangan Bang Ale itu Sweet Cakes!! Hahahahahaaha.”

Xena tertawa kencang sampai kepalanya tertarik ke belakang.

“In fact, he’s Cool Cakes.” Pikirnya dalam hati, ia terkekeh geli.

“Aku sendiri juga fans berat Kak Sweet Cakes! Aku suka banget sama tulisannya. Semua kata-katanya yang menurutku dekat banget sama kehidupan manusia, deh. Raya yang selalu sendiri, Raya yang memilih sendiri karena trust issue, Raya yang jadiin buku sebagai media untuk lari dari dunia nyata, Raya yang pada akhirnya ketemu Dena, teman pertamanya.”

“Kedua, yang pertama Mousse.”

“Ohiya, Mousse!! Hahahaha. Mousse ini cuma kucing, tapi dia inget gak ya semua hal yang diceritain sama Raya?”

“Mungkin. Paling penting, Raya merasa lega tiap dia cerita sama Mousse, meski dia cuma kucing dan kalau Raya cerita cuma balas ‘MEOWWW’.” Xena mengangkat bahunya, kemudian tertawa, Zeta ikut tertawa.

“Aku suka chapter dimana dia bilang dia bingung sama mimpinya. Dia punya mimpi. Tapi merasa gak bisa gapai mimpi itu. That one sentences yang Raya tulis di jurnalnya it hits me. Mungkin…banyak orang yang baru beranjak dewasa ngerasainnya ya, Kak? Bingung sama hidupnya sendiri. Mimpi yang dulu semangat untuk digapai, tiba-tiba jadi terasa jauh.”

Xena mengangguk, “Jadi dewasa kadang artinya kita lagi berjalan menuju ragu, sepi, dan sendiri. Tapi setiap perjalanan pasti ada ujungnya, kan? Kaya Raya yang pada akhirnya tau apa yang dia mau sekaligus bisa dia gapai. Raya yang sadar, beberapa orang end up jadi manusia rata-rata, and that’s okay. Raya yang pada akhirnya tau caranya menerima. Menerima sedihnya, menerima gagalnya, menerima pahitnya. Bukan melupakan, tapi menerima. Sampai akhirnya dengan ajaib justru banyak hal baik datang, termasuk salah satu mimpinya yang udah dia relakan.”

Zeta mengangguk, kemudian tersenyum sembari membayangkan setiap chapter demi chapter.

“Kadang, hal baik justru datang ketika kita udah bisa menerima. Mungkin itu maksudnya, ya? Hidup itu soal penerimaan, ya Kak?”

Kali ini Xena yang mengangguk, ia setuju.

“This book inspires me a lot. Aku berharap Kak Sweet Cakes bakalan nulis buku baru lagi. Kenapa ya Kak Sweet Cakes nulis pakai pseudonym, Kak?”

“Mungkin, karena dia takut sama ekspektasi manusia?”

“Maksudnya?”

“Mungkin, dia takut, dengan dia nulis cerita yang bagi sebagian orang inspiratif, orang expect her untuk selalu jadi orang yang inspiratif. Karena dia nulis karakter Raya yang begini, orang expect dia untuk setidaknya—-jadi orang sebaik Raya.”

“Mungkin, mungkin begitu. Padahal, semua manusia berhak punya emosi, ya. Dan padahal, semua orang punya pasang surutnya sendiri, dalam hal apapun. Ekspektasi manusia emang kadang bikin beban di kepala, sih. Tapi aku beneran pengen tau siapa Sweet Cakes, just so I can hug her and say thank you for her writing. Semoga, dia nulis lagi deh, that’s the least I can hope.”

Xena terenyuh. “Pasti. Pasti dia nulis lagi.”

“Aku juga suka chapter ‘You Are a Very Loving Person’, ketika Raya akhirnya ketemu Dena, orang yang merasa Raya itu manusia spesial, manusia unik, manusia yang dia harus jadikan teman.” Lanjut Zeta.

“Moment dimana Dena terus mencoba untuk mendekat sama Raya, meskipun Raya gak merespon. Dan pas Raya tanya kenapa Dena terus dekat sama dia, Dena cuma bilang ‘I don’t know, I just have a strong urge to be close to you.’ Aku cinta banget sama Dena disini. She can see beauty in everything, even the invisible one.”

Xena tersenyum, ’she can see beauty in everything, even the invisible one’. That’s what Ale said to her.

“Iya. Disini Dena nunjukkin banget kalau kadang pertemanan itu aneh. Frekuensi itu unik. Kamu percaya frekuensi gak, Ta? Sometimes you just meet a person, and you can feel the click. Kaya, pas lihat, Okay, I like this one.”

Zeta mengangguk semangat, “I believe in it. Aku juga merasa gitu pas lihat Kakak sekarang, soalnya.”

Xena tersenyum lebar, “Aku juga.”

“Makasih ya Kak, aku senang Kakak bisa sama Bang Ale. I can see the reason why he loves you that much. Kak, Kakak mau jadi Teman sekaligus Kakak aku gak?”

Adik, sosok yang dia sebelumnya impikan.

“Bukannya udah?.” Jawab Xena setelah 3 detik diam, Xena kemudian mengelus kepala Zeta lembut, membuat Zeta tersenyum dari telinga ke telinga.

“Thank you Zeta, I always wanted a sister. You’re the sweetest.”

“Kak, aku boleh main ke apartement Kakak gak? Aku penasaran, kenapa Bang Ale betah banget!!”

“Hahahahaha—-boleh, kamu Mau nonton Stand Up Comedy gak?”

“Hah? Kakak suka itu? Boleh!! Aku belum pernah.”

“Oke, kita tonton itu!! Seru banget tau! Ale sekarang jadi suka juga.”

And once again, she’s thankful for every close doors. She’s thankful for her failure in her latest relationship. She’s thankful that she and Dean couldn’t make it. She’s thankful. She’s thankful for Ale. Because since she met Ale, everything in its right place. Dia punya Ale, dia punya bahagianya, sekarang, dia punya Adik, sosok yang selama ini hanya bisa ia bayangkan. Segala perjalanan menuju dewasanya yang penuh ragu dan sepi pada akhirnya berubah jadi rasa yakin yang pasti dan keramaian yang membahagiakan. Mungkin, sekarang dia sudah akan sampai pada ujungnya? Everything is starting to make sense. She hopes it really is destiny that will bring her to somewhere good.

Hari yang Ale dan Xena tunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah melewati minggu yang berat, mereka akhirnya bisa merebahkan tubuh sejenak dan beristirahat. Mengistirahatkan badan, mengistirahatkan pikiran, mengistirahatkan diri dari dunia yang sibuk.

Ale dan Xena membaringkan tubuh mereka di sofa kasur milik Xena, mereka tidak tertidur, keduanya hanya berbincang pelan, meracau tentang banyak hal dengan mata terpejam. Jika ada yang melihat mereka berdua sekarang, pasti akan berpikir mereka sedang mabuk, padahal semuanya efek dari mengantuk.

“Ale..” Ujar Xena setelah mereka lama diam.

“Hmm.”

“Kamu kenapa suka puk-puk kepala kamu? Aku sering liat, kamu puk-puk, terus kamu elus elus gitu kaya kalau kamu ke aku. Hmm tapi aku juga suka sih, kalau kamu kaya gitu.” Ale terkekeh, ia selalu suka mendengar celotehan Xena. “Eh tapi, kenapa kamu suka kaya gitu ke kamu sendiri Le?” Lanjutnya.

Ale memiringkan tubuhnya, merubah posisi tidurnya menjadi menghadap Xena. “Kamu suka ya berarti, kalau aku kaya gini?” Tanyanya sembari mengelus puncak kepala Xena lembut.

Xena mengangguk kemudian ikut memiringkan tubuhnya, membuat mereka akhirnya saling berhadapan.

“Kenapa ya? Kayaknya karena kebiasaan. Dari aku kecil, Ibuku itu sering banget elus kepala atau puk-puk kepalaku, sambil bilang “Ale anak Ibu yang baik.” ”Ale anak pinter, makasih ya udah buat Ibu bangga.” ”Ale gak apa-apa gagal, kan masih bisa coba lagi, kamu udah lakuin yang terbaik.” Karena itu aku jadi ikut kebiasaan suka pegang kepalaku sendiri, puk puk gitu, setiap lagi capek, sedih, atau tiba-tiba ragu sama diri sendiri, sambil dalam hati bilang ’you’re doing great, Le.’

“Ale, Ibu kamu….” Mata Xena mulai berkaca-kaca. “Ibu kamu persis Bundaku.”

Ale masih mengelus kepala Xena, berusaha menunjukkan ia ada, and she can be fragile with him, anytime. Ia diam, membiarkan Xena melanjutkan apapun yang ingin diutarakan. Ia paham betul seberapa berartinya Bunda Xena baginya, ia juga tahu betul betapa Xena merindukan Bundanya.

“Bundaku selalu buat aku merasa jadi anak yang spesial banget. Bunda tahu mimpi besarku itu jadi penulis. Aku masih inget banget waktu aku masih belajar-belajar nulis, Bunda semangatin aku, Bunda selalu bilang ‘Anak Bunda pasti bisa jadi penulis hebat nih nanti, soalnya sekarang aja udah bagus tulisannya.’ Karena kata-kata Bunda juga sih, aku akhirnya berani nulis dan publish tulisanku.”

“Bunda selalu ajarin juga, kalau kata-kata itu bisa jadi doa. Jadi banyak-banyak berkata baik.”

“Bunda penyemangat personal banget, buat aku.”

“Mangkanya, kehilangan Bunda tuh kaya jiwaku ditarik sebagian.”

“Kalau aku udah jadi Ibu nanti, aku mau jadi Ibu kaya Ibu kamu, kaya Bundaku juga. Rasanya kaya selalu punya orang yang support apapun tentang kita ya, Le?” Lanjut Xena.

Ale mengangguk pelan, masih sambil mengelus kepala Xena, sesekali ikut memainkan rambutnya yang memang Xena gerai. Ia lalu tersenyum lebar, menunjukkan sederetan giginya yang rapih. “Nasib calon anak-anak aku baik banget berarti.” Ujarnya kemudian.

“Hah? Maksudnya gimana Le?”

“Kok maksudnya gimana?”

“Hahahahahaha kamu pikirannya jauh banget, sih.” Xena tertawa kecil, sebenarnya ia mengerti maksud Ale, ia hanya salah tingkah.

“Kok jauh? Do you plan on having kids sama orang yang bukan aku?”

“Nooooo……..”

“Nah, berarti anak-anak aku yang beneran jadi calon anak beruntung.” Bibir laki-laki itu mengulas senyum tipis.

Xena hanya tertawa, menutupi fakta bahwa jantungnya berdegup kencang saat ini. Membayangkannya saja cukup membuatnya merasakan banyak kupu-kupu hidup di dalam perutnya.

“Bunda kamu pasti bangga, Na. Pasti bangga lihat kamu sekarang.”

“Semoga..”

“Tapi Ale, bener ya, yang kamu lakuin itu menurutku semacam self care. You’re so gentle with yourself, I wanna do it too.”

“Puk-puk?”

“Iya. And being gentle with myself.”

“Yup, kadang aku merasa meyakinkan dan menenangkan diri sendiri itu perlu sih. Kayak, ketika lagi capek, ketika lagi ragu sama diri sendiri, ketika lagi sedih, kadang kita perlu jadi teman untuk diri sendiri. Iya gak?”

Xena mengangguk-angguk. “Iya. And that small gesture does help. Menurutku, it creates such a huge impact.”

“You know what, I love everything about you, but this one, this is my favorite.” Kali ini Ale tersenyum lebar, pandangannya menengadah ke langit-langit.

“Hmm? Apa?” Tanya Xena yang tidak mengerti, penasaran.

“How you always appreciate things, even just a simple thing. Kamu buat hal-hal kecil jadi terasa besar, in a good way. Aku gak pernah tau cara menyampaikannya dalam kata-kata but you always manage to find joy even from the small things, in life. Bahkan kamu buat hal-hal kecil yang aku lakuin jadi terasa mengagumkan. I feel special, and I feel appreciated.”

“I do?”

“You do.” Ale kembali mengarahkan tangannya ke kepala Xena, mengelusnya lembut sekali lagi.

“You could see beauty in everything, even the invisible one. And this makes me fall for you even more.” Mata Xena berbinar terang mendengarnya. This, this is what she needs.

“Thanks for telling me that, kadang aku ngerasa aku lebay karena suka bahagia sendiri sama hal-hal yang menurut orang lain biasa aja. Kadang aku merasa aku overreacting, aku merasa aku loud banget gitu, ya kamu tau sendiri kan aku bener-bener bagi isi kepala aku sama kamu bahkan dari sebelum kita kenal. Aku bahkan sempet sebel sama diriku yang kaya gitu, so thank you Ale, thank you for telling me that.”

Xena lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Ale, menangkup pipi Ale dengan kedua tangannya, kemudian mengecup bibirnya singkat. Mengutarakan rasa terimakasihnya. Dalam ciumannya, Ale dapat merasakan senyuman tersungging dari bibir Xena.

“Oke now, let’s take a nap, aku ngantuk. Bangunin aku jam 3 sore Le.” Ujar Xena cepat yang kemudian membalikkan tubuhnya, posisinya sekarang memunggungi Ale.

Ale terkekeh pelan melihat Xena yang seperti orang salah tingkah.“Kamu lagi malu ya abis cium?” Dari nada bicaranya, Xena dapat menerka Ale pasti sedang tersenyum lebar sekarang.

“Ssttt”

“Malu ya? Salting ya? Padahal gak apa-apa. Biar gak malu, sekarang gantian aku yang cium ya?”

Tubuh Xena memanas mendengarnya, jantungnya berdegup tak keruan. “Sssttt, aku mau tidur.”

“Hahahaha okay, rest well, sweetheart.” Ale mengacak-ngacak pelan bagian belakang rambut Xena gemas.

“I mean what I said. Kamu jangan mikir gitu lagi ya. For me, that’s what makes you even more beautiful. You can be loud with me, anytime. I’m your sanctuary, right? And you’re my sanctuary too. We’re each other’s sanctuary.

Xena yang memunggungi Ale hanya tersenyum mendengarnya, hatinya terasa hangat.

Ale, without you even realizing, you help me accepting my own self. I hope I can see me the way you see me. It’s a pleasure to meet you. It’s a pleasure to have you in my life, it really is a lucky coincidence I bravely call destiny, I hope it really is.

Sesaat setelah Xena memasuki mobil Pak Adi yang datang menjemput, handphonenya langsung berdering dengan nama Ale yang muncul pada layar.

“Na, Pak Adi udah sampe?” Tanya Ale sesaat setelah Xena mengangkat teleponnya.

“Udah, aku udah di mobil nih.”

“Oke, kamu tidur ya. Lumayan perjalanannya 1 jam bisa tidur.”

“Iya Ale, kamu pulang jam berapa?”

“Jam 10 aku pulang.”

“Oke, take care ya.”

“Na, kasih telponnya ke Pak Adi sebentar.”

“Oke.”

Xena lalu memberikan handphonenya ke Pak Adi. Ale langsung berbicara setelah didengarnya suara “Halo” dari seberang telepon.

“Pak Adi, tolong pelan-pelan aja ya nyetirnya. Hati-hati ya, Pak.”

“Iya Mas Ale, siap.”

“Jangan ajak ngobrol juga ya Pak, biar dia tidur.”

“Iya siap Mas.”

“Oke Pak, terimakasih banyak ya. Tolong balikin lagi handphonenya ke Xena Pak.

Setelah Handphone kembali ke tangan Xena, Ale langsung berbicara lembut. “Sayang, tidur ya. Kalau kamu nanti mau kerja lagi juga gak apa-apa, daripada kepikiran. Kabarin aku kalau udah sampe.”

“Iya Ale, jangan lupa minum air putih.”

“Iya. Dadah, be safe.”

“You too. Makasih ya, Ale.”

Mengetahui Xena yang sangat mengantuk sampai meracau, bahkan nyaris terjatuh di busway membuatnya khawatir membiarkan Xena pulang sendirian. Ia hanya tidak ingin terjadi sesuatu pada Xena di perjalanan pulang. The more it bothers him, the more he thinks he’s really in love. Because for him, love is different, it’s when you care about someone else’s condition as you are about your own. He’s concerned, because he cares.

“Iya. I just want you to be safe.”

Cw// kiss

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam saat Xena akhirnya membalas pesan Ale. Selagi menunggu, Ale ditemani oleh lagu dari Bruno Major, alunan nada yang tenang membuatnya sedikit mengantuk, ia bahkan sempat memejamkan matanya sebelum akhirnya terbangun setelah mendengar bunyi notifikasi pesan dari Xena.

Hari ini adalah hari yang panjang, baginya. Sebagai penyanyi yang memproduseri musiknya sendiri dan memiliki perusahaan rekaman ‘Madheva Records’ tentunya hal yang wajar jika ia sibuk dan banyak menghabiskan waktunya di studio, menggarap musiknya, maupun penyanyi lain yang ada dibawah naungan labelnya. Hari yang panjang, tapi ia tetap ingin memastikan Xena benar-benar baik-baik saja.

Dari kaca mobil, dilihatnya Xena yang berjalan menghampiri mobilnya. Wajahnya terlihat lelah, badannya seperti gontai, kekhawatiran Ale bukan tanpa alasan. Belakangan, Xena memang seringkali pulang larut, pernah sekali Xena juga tak sengaja bilang dirinya tidak betah bekerja di kantor sekarang.

“Ale tuh kan kamu keliatan capek, kenapa malah jemput aku ih?” Ucap Xena setelah masuk ke dalam mobil Ale, dilihatnya Ale yang bersandar sembari tersenyum kearahnya.

“Gapapa, aku kangen.” Tangan Ale mengelus pipi Xena lembut, menatap matanya, mencoba untuk mencari jawaban dari hal yang menganggu pikirannya.

“Capek ya, Na?”

“Lumayan.”

“Ada yang mau kamu ceritain?”

“Soal apa?”

“Soal kerjaan, mungkin?”

“Hmm aku bingung sih. Aku sekarang jadi merasa kerjaan ini bener-bener bukan aku. Tapi aku takutnya aku aja yang lemah, aku aja yang gak bersyukur. Ah bingung rasanya, Le. Tapi beneran kadang aku ngerasa kecekik, kerja disini.” Xena menghela napasnya kasar.

“Hey, inget, your feelings are valid. Aku ngerasa sekarang kayanya kamu emang lagi bener-bener capek.”

“Iya. Capek banget sebenernya sih. Aku kadang kepikiran resign aja. Tapi aku belum ada 6 bulan juga disini.”

“Kamu kuat gak, kalau harus nunggu sampai 6 bulan?”

“I guess? Ya aku kuat-kuatin deh. Karena kayanya lebih baik aku stay dulu deh.”

“Bener?”

“Iya, kayanya lebih baik gitu. Lagian sekarang aku ada kamu, obat banget deh kamu! Hahahaha”

“Sini bentar deh…” ujar Ale sembari merentangkan tangannya, Xena tertawa kecil sebelum akhirnya menuruti, ia mengikis jaraknya dengan Ale yang langsung mengeratkan pelukannya.

“You deserve a tight hug after a tiring day. Tapi kalau kamu bener-bener gakuat, tolong berhenti ya, sayang? Kita sama-sama cari apa yang kamu mau lakuin, what suits you the best, oke?” Ale meletakan dagunya di atas kepala Xena, tangan kanannya ia pakai untuk mengelus bagian belakang kepala Xena.

“Iya Ale.” Xena membenamkan wajahnya di dada Ale. Ia selalu suka wangi Ale. Wangi yang khas. Setiap saat tidak berubah. “Ale…kamu wangi banget, sih.” Ale hanya terkekeh menyadari Xena yang semakin menekan wajahnya pada dadanya, mempererat pelukan mereka.

Lagu Tapestry Bruno Major terdengar sayup-sayup mengiringi pelukan mereka.

More than all the things that I have seen You will always be part of my tapestry More than all the places I've been You will always be part of my tapestry

Ale mengecup pelan puncak kepala Xena, “This, buat otak kamu yang udah bantu kamu kerja keras dan mikir keras. Thank you otaknya Xena, please stay sane.”

Ale melepaskan pelukan mereka perlahan, kedua tangannya menangkup wajah Xena. Mata mereka bertatap singkat sebelum akhirnya Ale mengikis jarak mereka dan mengecup lembut kelopak mata Xena yang terpejam. “Ini buat mata kamu, yang meski ngantuk tetep mau diajak kerjasama untuk kerja keras. Makasih mata Xena, tolong bantu Xena ya?” Ujarnya setelah melepas kecupan singkatnya, seolah benar-benar berbicara kepada mata Xena.

Ale kembali menatap Xena, kemudian mengecup pipinya pelan. “Kalau ini cuma balasan dari yang waktu itu.” Ujarnya yang kemudian terkekeh geli. Xena tertawa kecil, perutnya mulai merasa penuh karena kecupan-kecupan yang Ale berikan.

Ale kembali mengikis jarak mereka sebelum akhirnya mengecup singkat bagian pinggir bibir Xena. “Ini karena bibir kamu tetep mau senyum, walaupun lagi capek.”

Setelahnya, mereka hanya saling bertatap, tangan Ale masih berada di pipi Xena, matanya menatap Xena lekat seakan meminta izin, setelah dirasa ada sinyal izin dari Xena, Ale langsung menghapus jaraknya dengan Xena dan mencium bibir Xena lembut, Xena tak menolak, mereka saling menautkan bibir, tangan Xena ia kalungkan di leher Ale, menariknya untuk mendekat. Mereka ingin mengekspresikan perasaan mereka dalam bentuk sentuhan fisik. No tongue involved, it’s just them, expressing their feelings through a kiss.

Setelah tautan bibir mereka terlepas, Ale menempelkan dahinya dengan dahi Xena, mereka tersenyum. Saling larut dengan perasaan bahagia yang sama-sama mereka rasakan.

“Na, count me in. Aku sayang banget sama kamu.”

Xena tidak pernah menyangka, dalam hidupnya, hal-hal yang selama ini ia khayalkan terkait kehidupan romansa benar-benar bisa ia dapatkan. Bisa bersama dengan laki-laki yang ia cintai, laki-laki yang memperlakukannya bak seseorang yang sangat istimewa, laki-laki yang menunjukkan cintanya tanpa ragu. Ale is too good to be true and meeting him was something really really unexpected. He makes everything easy, he makes it easy for her to catch feelings, he makes it easy for her to love him, they say what easy is right, she hopes it’s true.

She feels safe. She feels really really safe. Now that she knows how it feels like, she believes that love supposed to bring peace.

Sepertinya, sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “You won’t believe in soulmate until you meet yours.” ada benarnya. She never felt so sure about soulmate thingy before.

“Le, keren juga kita ya, pakai kacamata hitam, topi, masker, aku berasa lagi dalam misi penyamaran.” Ujar Xena setelah mereka keluar dari mobil dan memasuki parkiran pemakaman.

Ale yang berjalan disebelahnya tertawa kecil, dilihatnya Xena yang tampak nyaman dengan ‘penyamaran’ mereka saat ini, Xena selalu berhasil membuat hal apapun terasa menyenangkan. Ale lalu menyibakkan rambut Xena yang menutupi wajahnya sebagian. “Anggap aja kita lagi di film-film.” Jawabnya sembari mengelus pelan puncak kepala Xena yang tertutup topi.

Setelah sampai di pusara Bunda Xena, mereka berdua langsung bertumpu di atas tanah.

“Bun, Nana pulang lagi.” Ucap Xena pelan.

“Kalau sekarang, Nana sama Ale….mmmm pa—-pacar Nana.” Xena sedikit tersipu ketika mengatakannya, membuat Ale yang berada disebelahnya tersenyum simpul. Setelahnya, mereka hanya diam, saling mengobrol dengan Bunda Xena dalam hati.

“Bunda, sebenarnya Nana sedih banget karena Bunda gabisa ketemu langsung sama Ale. Tapi semoga Bunda bisa lihat dari sana, Nana bahagia banget sama Ale, Bun. Pasti Bunda seneng banget deh kalau Bunda tau Ale. Ale baik banget. Bener-bener definisi laki-laki yang selalu Bunda harapkan buat sama Nana. Semoga akan terus gitu ya, Bun.“

“Bun…hidup Nana membaik, walau setiap hari Nana rasanya kangen bunda terus. Nana bener-bener kangen Bunda. Nana pengen Bunda juga lihat Nana yang udah gede, udah kerja, udah jatuh cinta, udah tau rasanya dicintai juga.” Setelahnya, air mata Xena mengalir. Meski hidup tanpa Bundanya sudah berlangsung selama bertahun-tahun, setiap hari ia masih merindukan Bundanya, dan kerinduan tersebut selalu membuat dadanya sesak.

Setelah puas menuangkan segala hal yang ada di pikirannya pada Bunda, ia lalu mengucapkan banyak doa dengan khusyu.

Disebelahnya, Ale berbicara dalam hati sembari membersihkan rumput yang mulai tumbuh diatas tanah makam Bunda Xena.

“Ibu, semoga Ibu gak masalah saya panggil Ibu, sama seperti saya panggil Ibu saya.”

”Ibu…semoga Ibu tenang dan bahagia disana. Saya mau minta izin, minta izin untuk jaga Xena, minta izin untuk menghabiskan banyak waktu saya dengan Xena.”

“Xena itu, anak yang kuat. Ibu pasti bangga kalau lihat Xena sekarang. Xena berhasil melakukan banyak hal yang dia inginkan, Bu. Xena sekarang nulis buku, hal yang udah jadi mimpinya dari lama, Xena juga udah kerja sekarang. Ibu pasti bangga lihat bagaimana Xena tumbuh. Dia indah ya, Bu?”

“Ketemu Xena itu salah satu hal yang benar-benar saya syukuri. Ajaib. Cara kita ketemu ajaib, Bu. Saya selalu berdoa, semoga bisa selalu sama-sama. Dan sekarang, saya mau minta izin…saya mau minta izin dari Ibu untuk bisa selalu sama-sama Xena.”

“Saya sayang anak Ibu, anak Ibu yang cantik, anak Ibu yang ajaib, saya sayang dia, Bu, sayang sekali.”

“Kalau memang saya dan Xena berjodoh, semoga Ibu izinkan saya untuk bersama Xena, semoga saya juga bisa jadi laki-laki yang sesuai dengan harapan Ibu untuk Xena. Semoga kami bisa melewati banyak hal sama-sama, manis dan pahitnya.”

“Ibu…terimakasih atas Xena. Terimakasih sudah melahirkan Xena, Xena sayang sekali sama Ibu, Ibu pasti bisa merasakannya.”

Saya akan jaga Xena, itu janji saya pada diri sendiri, dan sekarang saya janji sama Ibu juga.”

“I will take care of her, now I’ll look after her.”

Setelahnya, Ale mengangkat tangannya dan mulai berdoa.

“Kamu ngobrol apa aja sama Bunda? Kok lama?” Tanya Xena setelah dilihatnya Ale yang sudah selesai memanjatkan doa.

“Rahasia.”

“Ihhh, penasaran.”

“Pokoknya banyak.” Jawab Ale lagi, jarinya mengusap pipi kanan dan kiri Xena, menghapus jejak air mata dari wajahnya. “Yaudah yuk, taburin bunga dulu.”

Setelahnya, mereka berpamitan kepada Bunda Xena dan melanjutkan perjalanan menuju tujuan utama mereka, piknik di Pine Hill Cibodas. Di perjalanan, Ale kembali memutar lagu dari playlist “Reminds Me of You” yang ia putar saat mengungkapkan perasaannya pada Xena.

Ale ikut bernyanyi ketika lagu Emerald dari Rini terputar.

“Just like your mother Your beautiful soul Always cared for another's Even on your own low This time I'll be the one looking after you”

Ale menoleh kearah Xena kemudian tersenyum penuh arti.

“'Cause I found a treasure Inside my lover She knows I'll keep it forever She knows I'll keep it forever”

Kali ini, satu tangannya ia pakai untuk menggenggam erat tangan Xena. Ia masih bernyanyi, baginya, lirik lagu ini sangat menggambarkan perasaannya pada Xena.

“Sekarang aku paling suka lagu ini deh, Le.” Ujar Xena setelah beberapa saat diam karena salah tingkah.

“Lah, lagu aku gimana?”

“Ya itu mah pasti, maksudnya selain itu.”

“Ohya Le, aku mau dengar lagi dong lagu kamu yang kemarin.”

“Nanti kamu bisa dengerin lagu itu sepuas kamu. Nanti juga bakal ada lagu-lagu baru lagi buat kamu, tunggu aja.” Jawab Ale sembari mengelus pelan puncak kepala Xena. Xena mulai merasa candu dengan kebiasaan Ale memegang kepalanya.

“Kamu mau buatin lagu berapa deh?”

“Banyak pokoknya, kan kita mau sama-sama sampai waktu yang lama, sampai kakek nenek kan?” Xena tersenyum mendengarnya. Dengan keberanian yang ia kumpulkan, Xena kemudian mengecup cepat pipi kiri Ale yang masih mengemudi, membuatnya terlonjak kaget.

“Na….”

“Hehehe gantian aku mau buat kamu salting, abis kamu daritadi bikin salting sih!!”

“Kamu nantangin, ya? Aku berhentiin dulu nih mobil, ya.” Tantang Ale yang langsung memelankan laju mobilnya.

“Ih udah, ayo jalan terus Ale!!” Seru Xena panik, yang kemudian diikuti oleh tawa dari Ale. “Lain kali, aku bales loh.” Ujar Ale meledek.

Setelahnya, perjalanan mereka diisi oleh suara lagu yang mungkin beberapa tahun kedepan akan mereka ingat sebagai lagu dengan memori manis. Perasaan mereka sama-sama penuh. Pengharapan mereka sama, bisa menghabiskan banyak waktu bersama seperti ini, dalam waktu yang lama.

Ale sampai di parkiran lebih cepat dari waktu janjian mereka. Sebenarnya, Xena pulang pukul 5 sore tapi Ale sudah bergegas keluar studio musik miliknya sedari pukul setengah 4 meskipun jarak dari studio musiknya dan kantor Xena hanya terpaut sekitar 40 menit.

Pikirannya melayang memikirkan kemungkinan demi kemungkinan. Ia yakin, ia yakin dengan keputusannya untuk mengungkapkan perasaannya hari ini, tapi tak bisa dipungkiri, ia khawatir dan gelisah.

Ale merapihkan mobilnya sekali lagi, memastikan semuanya dalam kondisi baik agar Xena nyaman. Sesekali ia membuka social medianya, sekadar untuk mengurangi debaran jantungnya yang semakin tidak menentu.

Setelah hampir 3 bulan dekat dengan Xena, ia merasa semakin yakin untuk menjadikan Xena kekasihnya secara resmi. Ia ingin membuat jelas hubungan mereka— because honestly, as they get closer, his desire to spend his life with her gets stronger and stronger. He wants to take responsibility for his feeling. And now that his feeling includes her, he’ll be responsible for her.

Setelah menunggu hampir 30 menit, kaca mobilnya diketuk beberapa kali pada bagian samping disebelah kursi penumpang. Ale menoleh kemudian dilihatnya Xena dengan senyum lebarnya.

“Gue udah sering liat Xena, tapi kenapa gue masih kaget karena dia cantik banget, ya?”

Ale ikut tersenyum lebar kemudian dengan sigap membuka pintu mobilnya, mempersilahkan Xena untuk masuk.

“Aleee, lama ya?” Xena langsung memposisikan diri di kursi penumpang sebelah Ale, menarik napas pelan untuk menenangkan diri karena sebenarnya dia gugup, meski sudah kenal Ale selama beberapa bulan ini, ini kali pertama mereka berada diluar bersama, selain acara fanmeeting sebelumnya.

Ale menggeleng pelan, “Gak kok Na. Na kita drive thru makan dulu, ya? Laper nggak Xena?”

“Laper hehehe.” Jawab Xena jujur.

“Oke kita drive thru dulu. Mcd?”

“Iyaa! Mcd aja.” Xena berseru riang.

“Oke.” Ale tersenyum, ia selalu senang melihat Xena yang bersemangat bahkan untuk hal sesederhana apapun. She appreciates every little things, that’s what he learns from her.

Setelah memesan makanan, mereka berhenti sejenak untuk memakan makanan mereka di dalam mobil. Ale merubah posisi duduknya menjadi menghadap Xena, setelahnya, Xena mengikuti, kini mereka saling berhadapan.

“Ada cerita apa aja hari ini, Na?” Tanya Ale setelah menyeruput minumannya.

Pertanyaan itu resmi jadi pertanyaan favorit Xena.

“Ada cerita apa aja hari ini?”

It sounds sincere, it’s like things that happen in her life are interesting enough for him to hear.

Xena langsung menceritakan hal demi hal yang terjadi hari ini, dari kerjaan yang datang dadakan, rekan kerjanya yang tiba-tiba jadi menyebalkan, makanan enak yang ia makan pada jam makan siang, dan bosnya yang memuji hasil kerjanya. Ale mengangguk-angguk dan sesekali merespon—ia lebih banyak mendengarkan setiap Xena bercerita.

“Kalau Ale, ada cerita apa aja hari ini?”

Setelahnya, mereka banyak tertawa karena Ale menceritakan semua hal konyol yang ia dan crew sekaligus temannya lakukan di studio hari ini.

Mereka sering melakukan ini, saling bertukar cerita. Cara mereka berkomunikasi dan mengobrol jugalah yang membuat Ale semakin yakin kalau Xena orangnya.

“Oke, sekarang kita mulai night drive nya, pokoknya kita keliling-keliling aja tanpa arah dan tujuan ya, sambil ngobrol?”

Xena mengangguk setuju, she’s excited.

“Sambil setel lagu, ya?” Ale bertanya lagi.

“Iya Le. Playlist Ale aja dong, pengen denger.”

Lagu pertama yang terputar adalah Lover dari Taylor Swift. Xena langsung ikut bernyanyi disusul oleh Ale.

‘Can I go, where you go? Can we always be this close forever and ever? take me out, and take me home. You're my, my, my, my lover.’

“Yaampun gue nyanyi bareng penyanyi beneran.” Gurau Xena. Mereka berdua tertawa.

“Suara lo bagus Na.”

“Ya ini karena ada suara lo dan Taylor nya Le. Kalau enggak mah…amsyong.”

“Ih enggak. Gue serius, bagus beneran.”

“Jangan gitu, nanti gue tiba-tiba kepengen jadi penyanyi.”

“Ya gak apa apa, nanti masuk label gue. Sini, gue duluan pokoknya yang udah ngetag lo ya kalau lo tiba-tiba pengen jadi penyanyi.”

Mereka kembali tertawa.

Setelahnya, lagu-lagu lainnya dari playlist ‘Reminds Me of You’ Ale yang memang sengaja ia buat untuk Xena terputar, mengiringi obrolan, tawa, dan perjalanan mereka malam ini. Sesekali mereka ikut bernyanyi, sambil saling menoleh kemudian tersenyum setelah bertukar pandang.

“Ale, lagunya bagus-bagus banget. You really got taste!! Tapi ini lagunya setipe ya, tipe-tipe lagu jatuh cinta semua. Ini playlist apa Le?”

Ale memegang setir dengan satu tangannya, tangan kirinya merogoh handphone disebelahnya, kemudian memberikannya pada Xena. “Liat aja.”

Xena langsung melihat playlist yang sedang diputar.

Reminds Me of You, dengan fotonya yang terpasang pada cover playlist.

“and suddenly, every love songs reminds me of you.”

Xena tertegun. Demi apapun rasanya ia ingin keluar dari mobil sekarang juga dan berteriak kesenangan.

Menyadari Xena yang mungkin bingung harus bicara dan merespon apa, Ale langsung mengambil alih.

“Mau dengar lagu jatuh cinta lain gak?” Ale menoleh.

Seperti terhipnotis, Xena mengangguk. Ale tersenyum, rasanya ia ingin mencubit pipi Xena sekarang juga karena Xena dengan muka bingung dan kikuknya terlihat sangat menggemaskan.

“Sebentar…oke kita parkir di depan dulu.”

Setelah mobil berhenti, Ale langsung mengeluarkan CD tempat ia menyimpan demo lagu yang ia buat.

“Ini, lagu baru gue.” Ujar Ale sembari memperlihatkan CD tersebut kepada Xena.

“SERIUS?”

“Yes, one of the projects I’ve been working on lately. And I want you to be the first to hear—other than my crew, of course.”

“Such an honor.” Xena tersenyum riang.

Dada Xena terasa sangat penuh dengan butterflies setelah yang pertama terdengar adalah suara Ale diiringi oleh instrumentasi lembut. Nada lagu ini jauh lebih pelan dari lagu lain yang sudah Ale buat. Lagunya lembut, typical lagu manis yang akan membuat siapapun yang mendengarkan merasa terbuai dengan tenang. Xena selalu suka suara Ale. Rasanya, hanya mendengar suranya saja sudah cukup untuk membuatnya senang dan jatuh cinta. Ia kemudian memejamkan matanya, menikmati lagu baru Ale yang secara eksklusif ia dengarkan hari ini.

“Hey……you there Have I told you i’m glad I met you? It might be fate, or just lucky coincidence, but I’m glad I met you….I’m glad I found you.”

“Never knew that loving could be this easy Now I know, cos you make it easy..”

“Such a rush, I know But I never feel this sure Now that I get to taste how life is with you, I can’t imagine how my life will be without you.”

“So would you please be mine? Cherish every moments, go to places we’ve been dreaming Would you please…..be mine? No need to count the days Cos I wanna stay forever with you anyway.”

“Pretty…you’re pretty And when I say pretty it means you as a whole Pretty….you’re pretty You say sorry way too much, sometimes you just forget you’re enough.”

“So I’m here….I’m here. Want you to know that I’m completely and perfectly happy with you. I’m here, always here, now that my feeling includes you, I’ll be responsible for you.”

“You’re home To me you’re home I’ll make it obvious…so you won’t be confused You’re home You’re home Falling in love is not in my priority But it is if its falling for you.”

“So would you please be mine? Cherish every moments, go to places we’ve been dreaming Would you please…..be mine? No need to count the days Cos I wanna stay forever with you anyway.”

Xena masih tersenyum bahkan setelah lagunya selesai berputar. Lagu ini pasti membuat wanita manapun yang mendengarnya merasa sangat dicintai. Liriknya manis, nadanya menenangkan, seperti biasa, Ale selalu menghasilkan karya yang terdengar tulus.

“Alee! This one is, great!!! As always, lo selalu pinter mainan kata. This is sweet. Lagu ini manis bangetttt Aleeee!!!” Xena bersemangat, ia jujur, lagu ini benar-benar membuat siapapun yang sedang jatuh cinta pasti merasa seperti terbang—termasuk dirinya.

Ale tersenyum lebar melihat reaksi Xena, kali ini mereka kembali duduk berhadapan. Mata mereka saling menatap. Ale berdeham sebentar sebelum akhirnya kembali membuka suaranya.

“You like this song?” Tanyanya, masih sambil tersenyum.

“No, I totally in love with this song. You did great. Really really great.” Xena tersenyum lebar, kemudian menepuk-nepuk pundak Ale, berusaha menunjukkan kalau ia bangga, sangat bangga.

Ale kemudian menyentuh tangan Xena yang berada dipundaknya, membawanya keatas pangkuannya lalu menggenggamnya.

“Thanks to you.” Ale mengusap pelan punggung tangan Xena.

“Honestly, this song is for you, Na. This song is about you.”

“Hah?”

“I want to write you a song and this lyrics is what came to mind.” Ale menatap Xena tepat di manik matanya, yang ditatap masih terkejut—nyaris menangis, ia kaget sekaligus bahagia bukan main.

“Le….”

“Na, I like you—no, I love you. Mungkin ini agak kecepatan? Tapi gue gapernah seyakin ini, Na. I really want to spend my life, with you. Gue benar-benar bersyukur sama segala hal yang terjadi belakangan ini, termasuk pertemuan kita yang—-lucu?“ Ale tersenyum, mengingat cara mereka bertemu yang unik.

“You bring out the best in me, versi diri gue yang bahkan Ale sebelumnya gak pernah kepikiran bakalan ada.” Saking terbawanya ia oleh arus ombak perasaan, mata Ale sedikit berkaca-kaca ketika mengucapkannya, ia benar-benar sebahagia itu bersama Xena.

“Keinginan gue untuk looking after you is big enough for me to say that gue bener-bener truly—deeply—and madly in love with you, Na.”

“Jadi Na, would you please, be mine?“

Bukan jawaban, justru air mata yang keluar dari mata Xena.

“Hey hey…kenapa?” Ale panik, ia mengusap pipi Xena yang basah dengan lembut.

“Aah, maaf Ale. Gue bener-bener…………terharu dan senang banget.”

“No no, it’s okay. Sorry, sorry for making you cry.”

“Nooo, it’s a happy tear, see?” Ujar Xena lagi, kali ini sambil tersenyum lebar, berusaha menunjukkan kalau ia benar-benar bahagia sekaligus terharu, itu yang membuatnya menangis.

“Ale, ternyata gini rasanya dicintai sama orang yang gue cintai juga, ya?” Pertanyaan Xena membuat Ale tersenyum dari telinga ke telinga. Ale kembali mengusap pipi Xena lembut, mengelap air matanya.

“Iya mau, Le.” Jawab Xena setelahnya. Pupil mata Ale membesar, ia bahagia bukan main mendengar jawaban Xena.

Ale adalah laki-laki yang tidak Xena sangka dapat membuatnya sebahagia ini. Ia selalu ada, dan selalu berusaha ada. Ia memberikan ketenangan, dan juga kehangatan— She doesn’t know why falling in love with him makes her feel kinda fearless, she doesn’t really think about bad possibilities, all she thinks is she feels safe to the point that she doesn’t really care about what’s gonna happen in the future as long as she’s with him. Maka dari itu, menurutnya, ia tidak perlu mengulur waktu lagi dan langsung menjawab tanpa ragu.

Maka ditemani terangnya bulan pada malam hari ini, juga riuhnya suara mobil yang berlalu lalang, Ale memberanikan diri untuk membuka suara.

“Na, can I hug you?”

Xena mengangguk. Ale kemudian memeluk Xena erat. Rasa hangat menjalar disekujur tubuhnya, ia juga merasakan dadanya penuh oleh segala perasaan yang serasa meluap-luap. Ia Mengusap-usap bagian belakang punggung Xena sembari berkali-kali mengucapkan terimakasih.

“Na…makasih.”

“Makasih, Na.”

Xena membenamkan wajahnya di pundak Ale, kedua tangannya ia lingkarkan di punggung Ale. “Ale, makasih juga. Makasih udah hadir.”

Jalanan kota Jakarta yang seakan tak pernah mati menjadi saksi dua insan yang saling jatuh cinta, beserta harapan penuh bahwa takdir juga akan berpihak pada mereka.

“Jadi…lo mau minta saran apa?” Tanya Jeffry setelah melemparkan bola basket tepat kearah Ale yang menangkapnya dengan sigap.

“Lo tau kan gue artis…” Ale memutar-mutar bola basket di tangannya, kemudian melemparkannya kembali kepada Jeffry. Nada bicaranya serius. Hal ini memang mengganggunya beberapa hari ini.

“Ya tau lah oon.” Jawab Jeffry cepat. Jeffry lalu menggiring bola basket kemudian memasukannya ke dalam ring—pas, tepat sasaran.

“Maksudnya, ya walau gue ga terkenal-terkenal banget. Tapi beberapa orang kenal gue.” Ale berjalan menuju bangku di pinggir lapangan, badannya mulai lelah, ia kemudian duduk dan mengelap keringatnya yang sudah menumpuk setelah 1 jam permainan.

“Banyak yang kenal elo.” Jeffry ikut duduk disebelahnya, mengambil botol air mineral kemudian menenggaknya.

“Ya…and she’s…she’s a private person, that’s the problem.”

Jeffry diam, membiarkan Ale untuk melanjutkan bicaranya.

“Gue takut banget dengan pacaran sama gue, dia jadi kehilangan hal itu. Takut banget juga dia jadi keganggu sama itu. Gue tadinya gak kepikiran soal ini sih, but now that it’s getting closer to my confession gue jadi mikir aja.”

“Oke, menurut gue ya Le, dia gak bakal kehilangan hal-hal itu sepenuhnya kalau sama lo. Lo itu private person juga don’t you think?”

“Emang selama ini lo pernah liat gossip aneh-aneh soal lo?” Lanjutnya.

Ale menggeleng. Benar, selama ini memang tidak ada gossip aneh tentang kehidupannya.“Gue cuma..khawatir.” Jawabnya kemudian. Ia hanya memikirkan Xena, Kehidupannya setelah ini mungkin akan sedikit berbeda dengan yang sebelumnya.

“Kekhawatiran lo berdasar…tapi belum tentu kejadian kan? I mean, selama ini dia respon lo gimana?”

“Baik sih…we get closer., sekarang rasanya udah deket banget.”

“Nah…mungkin ya mungkin, she’s into you too, dan dia juga udah berpikir soal ini dan memilih untuk take the risk.”

“Love make people do crazy things, ya know?” Sambung Jeffry.

“Will it work out?” Ale bertanya, matanya penuh pengharapan.

“It will, trust me. Fans lo pinter-pinter kok. Cewek lo ini—-eh gebetan lo ini”

“Gapapa sebut cewek gue aja, seneng dengernya.” Setelah serius berbicara, satu senyuman akhirnya keluar dari wajah Ale.

“Yailaaaah bucin maksimal.” Seru Jeffry yang terkekeh geli. Ini fenomena baru baginya, dan tentunya bagi Ale juga—melihat Ale yang seperti ini.

“Cewek lo ini—-ah gak ah gue gamau buat lo seneng.”

“Ahelah ribet banget..udah mau ngomong apa?”

“Dia juga pasti udah mikirin ini. Gamungkin dia gak kepikiran selama deket sama lo.” Lanjut Jeffry kemudian.

“Selama ini dia gimana? Keliatan gimana sama lo?” Jeffry menatap Ale, yang ditatap memandang lurus kedepan, senyuman tersungging di bibirnya, matanya berbinar membayangkan semua hal yang sudah ia dan Xena lalui beberapa bulan belakangan.

“Kita berdua semakin deket, sih. Gue juga merasa kita bisa ngobrolin apa aja. Dia juga terbuka sama gue soal banyak hal. Dia kelihatan nyaman, gue juga nyaman banget. Benar-benar nyaman.“ Ale menepuk-nepuk pahanya pelan, sedikit salah tingkah.

“Apalagi itu, nyaman itu kuncinya. Kalau kalian nyaman satu sama lain, faktor eksternal nantinya bisa lebih mudah dikendalikan, Le.”

“Jatuh cinta itu pasti ada masa-masa sulitnya, kalau menurut gue. Mungkin sekarang lo berdua belum rasain. Tapi kalau kalian berdua saling yakin, pasti bisa dilalui bareng-bareng.”

“Iya ya?”

“Iya. Dan lagi, kalau dia nunjukkin lampu hijau itu tandanya selama ini dia juga udah siap, Le. Dia udah siap jalanin semuanya sama lo. Manis dan pahitnya.”

Ale tersenyum lega. “Semoga.”

“Lo sayang banget ya, Le?”

Ale mengangguk, masih tersenyum tipis.

“Keliatan, muka lo ituloh, bucin banget, baru gue lihat yang kaya gini dari lo, ternyata bisa juga ya. Gue belum pernah liat Ale yang kaya Alenya dia.”

“Xena, namanya Xena.”

“Nah, gue belum pernah liat Ale yang kaya Alenya Xena.”

“She’s….she’s something else.” Lagi, rasa hangat menjalar disekujur tubuh Ale. Ale ingin menjelaskan lebih banyak, tapi hanya itu yang mampu dia keluarkan saat ini. Pernyataan Jeffry membawanya kepada pikiran mengenai Xena. Xena dan kehangatannya, Xena dan keindahannya, Xena dan kecantikannya, Xena dan kedamaian yang ia bawa pada dirinya.

“I know…..I can see it. We can’t love just anyone, semoga jatuh cinta lo berdua ini emang garis takdir yang bakal nganterin lo berdua sama kebersamaan, ya.”

“Aamiin…..itu doa gue setiap hari.”

“Oh udah masuk dalam doa juga nih, doi?”

“Selalu.” Ale menundukan kepalanya, dan lagi-lagi tersenyum. Matanya menyiratkan ketulusan.

“Go for it, Le. Gue dukung. Kalau ada yang jahat sama hubungan kalian berdua. Gue bakal jadi orang yang maju duluan.” Jeffry menepuk-nepuk pundak Ale kemudian beranjak dari duduknya.

Na, it will work out kan? It will be okay as long as we have each other, kan? I guess—-I’ll be okay as long as I’m with you.

Now that I get to taste how life is with you—-I don’t really know what I will do if you’re not with me. I don’t really know and I can’t even imagine how life will be without you, Na.

Since we met and since we get closer, it’s loud and clear, you are home.

Sepulang kerja, Haikal mengendari mobilnya tanpa tujuan. Dia nyaris mengitari satu kota Jakarta demi menenangkan pikirannya. Permintaan izin dari Ale untuk mendekati Xena kemarin malam membuatnya tertawa miris. Dari sekian banyak lelaki di dunia ini, universe managed to allow them to cross paths. Bahkan tanpa ada keterlibatan dari dirinya yang adalah sepupu dari Ale, they managed to find each other—-seems like, universe is trying to tell him that they’re not meant to be, and never meant to be together.

Pikirannya terpecah antara merasa lega karena Ale adalah orang yang akhirnya mencintai Xena, sekaligus terpukul karena hal yang sama. Ale is a good man, indeed, he knows that for sure. Dia yakin Ale akan memperlakukan Xena dengan baik dan juga tahu pasti Xena akan berada di tangan dan cinta yang tepat.

Tapi hatinya tidak bisa berbohong, rasanya sakit bukan main.

“Kenapa harus Ale? Dari banyaknya orang di dunia ini?”

“Kenapa harus orang yang selalu ada disekitar gue?” Pikirnya.

Setelah 2 jam berputar-putar tanpa arah, ia akhirnya berhenti di salah satu kafe di sudut kota Jakarta. Memesan minuman yang biasa ia pesan—americano, kemudian duduk di bangku paling sudut dengan tanaman besar di kedua sisinya, berusaha menghindar dari siapapun yang bisa memandang.

Ia merogoh tas yang dibawanya kemudian mengeluarkan sebuah jurnal kecil berwarna cokelat. Ia buka halaman pertama kemudian tersenyum masam. Nostalgia mulai merasuki dirinya, menulis jurnal adalah salah satu hal yang sebelumnya ia tidak tahu akan dia lakukan, dan semuanya berawal dari Xena and her non-stop talking about journaling.

“Kal, gue suka banget deh nge-journal. Walau yang gue tulis kadang gak jelas, tapi rasanya seneng dan puas aja.” Ucap Xena suatu hari. Haikal hanya diam, ia mendengarkan dengan saksama. Pandangannya tak lepas dari mata Xena, binar matanya saat menceritakan hal-hal yang ia sukai selalu membuat Haikal terhipnotis.

Besoknya, ia pergi ke toko buku dan membeli buku jurnal yang menurutnya paling kecil—jaga-jaga jika ia hanya akan menulis satu atau dua kata disana. Sebenarnya ia tidak yakin bisa menulis sesuatu pada jurnal tersebut mengingat menuangkan isi pikiran dalam kata-kata dan merangkainya bukanlah keahliannya. Ia hanya penasaran, ia selalu penasaran tentang hal-hal yang membuat Xena terasa dan terlihat hidup. Ia selalu ingin mengetahui bagaimana hal tersebut membuat Xena senang. Sama seperti bagaimana Stand Up Comedy selalu berhasil membuat Xena tertawa hingga akhirnya ia mencoba untuk ikut mengenal dunia Stand Up Comedy, ia juga ingin tahu mengapa Journaling bisa membuat Xena begitu semangat.

What excites Xena, always makes him curious at the end.

Malam setelah ia membeli jurnal tersebut, ia hanya memandangi kertas kosong di hadapannya. As expected—-ia bingung harus menulis apa.

“My life is a mess.” Was the first thing that came to mind.

“My head is chaos place.” Adalah kalimat kedua yang akhirnya ia tulis.

Selanjutnya, tanpa sadar, setiap ia menulis di jurnal tersebut, kata-kata yang sering muncul hanyalah gambaran singkat perasaannya tentang Xena. Tanpa sadar, jurnal tersebut menjadi luapan perasaannya untuk Xena yang tak tersampaikan, serta beberapa pikiran kacaunya yang asal ia tulis.

“I don’t know what I should do. My feeling is real, but I don’t think it’s the right time for me. You deserve the best thing in life, Na. And for now, I can’t give you that.”

“Hesitation. Hesitation. Hesitation. It’s neither bring me to a happy ending or another sad story.”

“When will my life get better, Na? Will you still be there when it finally happens?”

“I love how you tell me things you love. I love how simple things make you happy. I love how your eyes spark while telling me those. I love you, Na. I love you like crazy.”

“Mamah, please get better soon.”

“Holding grudge only makes me desperate, but it’s the only thing I know, for now.”

He still can’t forget things, he still can’t forgive what happened.

Dunianya keras, dunianya kejam, hidupnya penuh kebencian. Segala amarah yang belum bisa ia hapuskan. Baginya, Xena layak mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Dan baginya juga, ia belum bisa menjamin kebahagiaan tersebut. Ia masih belum selesai dengan dirinya sendiri, dan ia tidak ingin gegabah dan egois dengan perasaannya. Baginya, ungkapan perasaan harus diikuti dengan tanggung jawab——tanggung jawab yang belum sanggup ia pikul.

“Na…..sekarang gue udah telat.”

“Hidup gue sekarang udah 70 % mencapai kata damai, tapi gue udah telat, Na.”

Haikal melepas satu persatu kertas yang berisi kalimat-kalimat hasil tulisannya dari jurnal, kemudian merobeknya menjadi potongan kecil.

Selesai.

Penantiannya untuk Xena selesai. His feelings will be left unknown.

Tapi mungkin, segala ragunya memang ada bukan tanpa alasan? It’s simply to show that they’re not meant to be together.

Sedari tadi, Haikal mengendari mobilnya tanpa tujuan. Dia nyaris mengitari satu kota Jakarta demi menenangkan pikirannya. Permintaan izin dari Ale untuk mendekati Xena tadi membuatnya tertawa miris. Dari sekian banyak lelaki di dunia ini, universe managed to allow them to cross paths. Bahkan tanpa ada keterlibatan dari dirinya yang adalah sepupu dari Ale, they managed to find each other—-seems like, universe is trying to tell him that they’re not meant to be, and never meant to be together.

Pikirannya terpecah antara merasa lega karena Ale adalah orang yang akhirnya mencintai Xena, sekaligus terpukul karena hal yang sama. Ale is a good man, indeed, he knows that for sure. Dia yakin Ale akan memperlakukan Xena dengan baik dan juga tahu pasti Xena akan berada di tangan dan cinta yang tepat.

Tapi hatinya tidak bisa berbohong, rasanya sakit bukan main.

“Kenapa harus Ale? Dari banyaknya orang di dunia ini?”

“Kenapa harus orang yang selalu ada disekitar gue?” Pikirnya.

Setelah 2 jam berputar-putar tanpa arah, ia akhirnya berhenti di salah satu kafe di sudut kota Jakarta. Memesan minuman yang biasa ia pesan—americano, kemudian duduk di bangku paling sudut dengan tanaman besar di kedua sisinya, berusaha menghindar dari siapapun yang bisa memandang.

Ia merogoh tas yang dibawanya kemudian mengeluarkan sebuah jurnal kecil berwarna cokelat. Ia buka halaman pertama kemudian tersenyum masam. Nostalgia mulai merasuki dirinya, menulis jurnal adalah salah satu hal yang sebelumnya ia tidak tahu akan dia lakukan, dan semuanya berawal dari Xena and her non-stop talking about journaling.

“Kal, gue suka banget deh nge-journal. Walau yang gue tulis kadang gak jelas, tapi rasanya seneng dan puas aja.” Ucap Xena suatu hari. Haikal hanya diam, ia mendengarkan dengan saksama. Pandangannya tak lepas dari mata Xena, binar matanya saat menceritakan hal-hal yang ia sukai selalu membuat Haikal terhipnotis.

Besoknya, ia pergi ke toko buku dan membeli buku jurnal yang menurutnya paling kecil—jaga-jaga jika ia hanya akan menulis satu atau dua kata disana. Sebenarnya ia tidak yakin bisa menulis sesuatu pada jurnal tersebut mengingat menuangkan isi pikiran dalam kata-kata dan merangkainya bukanlah keahliannya. Ia hanya penasaran, ia selalu penasaran tentang hal-hal yang membuat Xena terasa dan terlihat hidup. Ia selalu ingin mengetahui bagaimana hal tersebut membuat Xena senang. Sama seperti bagaimana Stand Up Comedy selalu berhasil membuat Xena tertawa hingga akhirnya ia mencoba untuk ikut mengenal dunia Stand Up Comedy, ia juga ingin tahu mengapa Journaling bisa membuat Xena begitu semangat.

What excites Xena, always makes him curious at the end.

Malam setelah ia membeli jurnal tersebut, ia hanya memandangi kertas kosong di hadapannya. As expected—-ia bingung harus menulis apa.

“My life is a mess.” Was the first thing that came to mind.

“My head is chaos place.” Adalah kalimat kedua yang akhirnya ia tulis.

Selanjutnya, tanpa sadar, setiap ia menulis di jurnal tersebut, kata-kata yang sering muncul hanyalah gambaran singkat perasaannya tentang Xena. Tanpa sadar, jurnal tersebut menjadi luapan perasaannya untuk Xena yang tak tersampaikan, serta beberapa pikiran kacaunya yang asal ia tulis.

“I don’t know what I should do. My feeling is real, but I don’t think it’s the right time for me. You deserve the best thing in life, Na. And for now, I can’t give you that.”

“Hesitation. Hesitation. Hesitation. It’s neither bring me to a happy ending or another sad story.”

“When will my life get better, Na? Will you still be there when it finally happens?”

“I love how you tell me things you love. I love how simple things make you happy. I love how your eyes spark while telling me those. I love you, Na. I love you like crazy.”

“Mamah, please get better soon.”

“Holding grudge only make me desperate, but it’s the only thing I know, for now.”

He still can’t forget things, he still can’t forgive what happened.

Dunianya keras, dunianya kejam, hidupnya penuh kebencian. Segala amarah yang belum bisa ia hapuskan. Baginya, Xena layak mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Dan baginya juga, ia belum bisa menjamin kebahagiaan tersebut. Ia masih belum selesai dengan dirinya sendiri, dan ia tidak ingin gegabah dan egois dengan perasaannya. Baginya, ungkapan perasaan harus diikuti dengan tanggung jawab——tanggung jawab yang belum sanggup ia pikul.

“Na…..sekarang gue udah telat.”

“Hidup gue sekarang udah 70 % mencapai kata damai, tapi gue udah telat, Na.”

Haikal melepas satu persatu kertas yang berisi kalimat-kalimat hasil tulisannya dari jurnal, kemudian merobeknya menjadi potongan kecil.

Selesai.

Penantiannya untuk Xena selesai. His feelings will be left unknown.

Tapi mungkin, segala ragunya memang ada bukan tanpa alasan? It’s simply to show that they’re not meant to be together.