Matchareads

“Na gue udah di parkiran. Apart lo lantai berapa nomor berapa?”

Pesan teks dari Ale siang itu membuat jantung Xena berdegup sangat cepat. Ia gelisah, sedikit menyesali keputusannya untuk bertemu Ale secepat ini karena sejujurnya ia masih belum siap.

Ale langsung berjalan kedalam lobby apartement dan masuk lift untuk naik menuju lantai tempat Xena tinggal.

Ia juga gugup, sangat gugup. Bagaimanapun, ini kali pertamanya sedekat ini dengan wanita untuk tujuan benar-benar mendekatinya. Ia tidak mau membohongi dirinya sendiri, tujuannya jelas, ia tidak pernah seyakin ini sebelumnya.

Ia ingin Xena, ia mau Xena, dan bukan hanya sebagai teman. Sebenarnya selama ini ia tidak terlalu memikirkan perkara jatuh cinta dan semacamnya. Baginya, prioritas utama adalah keluarga dan karirnya. After all—he’s an ambitious person. But it’s different, dia merasa pertemuan ini bukan tanpa sebab. Ia yakin ketiadaan ragunya ini bukan untuk alasan yang tidak jelas. Ia merasa…tidak aneh baginya untuk secepat ini menyimpan rasa pada Xena.

Ia tidak mudah suka dengan orang lain, namun kali ini perasaannya begitu menggebu. Dan hal tersebut justru membuatnya yakin kalau Xena orangnya. She’s the one.

Falling in love is not in his priority, but it is if it’s with Xena. That’s what he thinks.

Ale membunyikan bel setelah sampai di depan pintu apartement Xena. Sang pemilik kemudian membuka pintu dengan cepat setelahnya, seakan sudah menanti kehadiran Ale sedari tadi.

“Masuk Le.”

Setelah masuk, Ale melihat sekeliling. Suasana apartement Xena sesuai dengan yang ia bayangkan—-it’s just soooo her.

Warna dinding coklat tenang dengan aroma candle sandalwood yang mengisi ruangan. Harum. Aromanya sangat menggambarkan Xena. Dari pintu langsung terlihat dapur Xena yang rapih dan bersih dengan nuansa kecoklatan dan beberapa tanaman hijau.

Di atas meja makan sudah tertata sushi dan beberapa makanan ringan lain yang Xena buat sendiri.

Berdekatan dengan dapur, dilihatnya sofa coklat yang terletak di depan televisi. Kemudian ada 2 pintu yang ia yakini kamar dan juga kamar mandi dari apartement Xena.

“Rumah lo rapih banget, Na.”

“Sebenernya gak gini banget. Ya gue rapihin dulu lah tadi. Tengsin banget kalau idola gue kesini terus rumahnya berantakan.”

Ale hanya tertawa. Sial, dia salah tingkah.

Setelahnya, mereka asik makan siang di meja makan sembari mengobrol. Tak disangka, segala kegugupan yang sebelumnya ada seakan sirna. Mereka berbincang seperti kawan lama.

“Lah, Haikal?” Seru Ale kaget setelah dilihatnya foto Xena dan ketiga kawannya pada bingkai yang terletak di sebelah televisi. Kali ini mereka sedang saling berbincang dan duduk di sofa coklat.

“Hah? Ale kenal Haikal?”

“Dia adek sepupu gue, Na.”

“HAH?! Haikal sahabat baik gue, Le.”

“Hahaha sumpah, gue beneran speechless sekarang. Dunia sempit banget ya, Na?”

“ALEEE. Waktu itu Haikal pernah kasih tau dia sodara lo, tapi gue gapercaya dan malah bilang dia halu. Mana dia iya-iya aja lagi.”

“Hah? Yaampun Na.” Ale tertawa keras kali ini, Xena nyaris tidak percaya tawa yang selama ini sering ia putar-putar di youtube demi meningkatkan moodnya bisa ia lihat langsung secara live——dan lagi, tawanya karena dia.

“Tapi emang gitu kan dia anaknya.” —Lanjut Ale setelah tawanya mereda.

“Berarti Na, yang waktu itu lo cerita di direct message instagram pas di RS, itu kita nyaris ketemu gak sih? Temen yang lo maksud…Haikal berarti?”

“Iya bener Le..gila berarti kalau gue ga ke kantin gue udah papasan sama lo di ruangan mamah Haikal ya.”

“Sumpah. Gue jadi makin yakin ini bukan cuma kebetulan doang kita ketemu, Na. Pasti ada maksudnya, don’t you think?”

“I—guess???”

“Haikal juga yang ngenalin gue sama lo, Le. Maksudnya, awal mula gue suka sama lagu lo dan sama lo—-as an idol. Ya itu karena Haikal.”

“Dia harus gue traktir apa ya Na? Biar jasanya dia terbayar. Aduh gabisa sih tapi, jasanya gede banget.”

Xena hanya senyum tipis, kali ini ia yang dibuat salah tingkah.

“Berarti hari itu kita sedih karena hal yang sama ya, Na.”

“Tapi Na, sekarang Haikal udah mulai buka dirinya. Dia jadi lebih terbuka buat pikirannya.”

“Sebelumnya dia bahkan gatau cara cerita kalau dia lagi sedih, Na.”

“Hidupnya jahat, tapi dia gatau harus gimana luapinnya.” Ale menatap jendela, tatapannya memperlihatkan banyaknya hal yang sedang ia pikirkan.

“2 hari setelah itu, Haikal yang gak pernah minta apa-apa ke gue juga tiba-tiba minta dibikin sushi, Le.”

“He’s trying.”

“Iya. Duh jadi sedih. Haikal tuh baik banget, Le. Dia tuh apa ya…emang sih kadang kata-katanya kasar dan blak-blakan banget.”

“Tapi dia selalu punya cara buat orang nyaman, iya kan?” Potong Ale. Xena mengangguk.

“Makasih ya Na, udah baik sama adek gue.”

“Gue seneng karena tau kalau adek gue ternyata punya sahabat baik…dan beneran peduli sama dia. He needs that. Walau dia gak nunjukkin dia butuh dan sayang kalian.”

“Iya gue tau Le.”

“Makasih anak baik…” ujar Ale lagi, kali ini sembari mengacak-acak rambut Xena pelan.

Sentuhan pertama Ale.

Might sound cliche but F butterflies. She feels the whole zoo.

“Makasih juga udah jadi Abang yang baik, Le.” Jawab Xena setelah mengumpulkan kesadarannya, jemarinya mengusap punggung tangan Ale yang masih ada di atas kepalanya.

Setelahnya, mereka hanya saling melemparkan senyum, salah tingkah dengan tindakan masing-masing.

“Na. Gue mau coba itu dong—nonton Stand Up Comedy. Lo pernah bilang punya DVD nya kan?” Ujar Ale kemudian setelah beberapa saat diam.

“Serius Le? Ah ayo!! Sumpah gue penasaran kalau lo ketawa nonton stand up gimana. Selama ini gue tonton ketawa lo tiap gue sedih Le.”

“Hahahaha gua ganyangka ketawa gue bisa ngibur orang lain.”

“Sumpah. Asli. Nular. Oke sekarang juga gue setel.”

Selama menonton, apartement Xena dipenuhi oleh suara tawa menggelegar Ale dan dirinya. Beberapa kali Ale berguling di lantai saking gelinya dengan tontonan ini. Beberapa kali juga ia tertawa sembari menepuk-nepuk pelan pundak Xena yang duduk di sebelahnya.

“Aleeeeee, gue gatau harus ketawa karena stand up nya atau karena ketawa lo.” Seru Xena kemudian sambil tertawa. Air matanya sampai keluar saking lucunya.

“Kayanya Le, kali ini, tawa beneran bikin gue sembuh.” pikirnya kemudian.

I watched you laughing on youtube videos because it was therapeutic. I never thought that laughing together with you would be this addicting—hell even I never thought that I’d be laughing with you.

”Ale, your laugh is therapeutic. And turns out, laughing with you is the best therapy.”

“Le, will you catch me if I fall way too deep into you?”

Hari ini Xena bangun lebih awal dari biasanya, meskipun sebenarnya ia nyaris tidak tidur tadi malam, mungkin ia hanya memejamkan mata selama 1 jam.

“Gemeter gak ya, hadap-hadapan sama Ale?”

“Takut banget jadi gabisa ngomong deh.”

Bayang-bayang fan meeting benar-benar menghantuinya.

“Segini baru Ale, gimana kalau Mark Lee? Eh tapi sekarang gue lebih suka Ale sih. Maaf Mark Lee. Cinta produk lokal ajadeh.” Gumamnya kepada dirinya sendiri di depan kaca. Ia kemudian tertawa, memikirkan betapa lucunya ia yang bisa setertarik itu dengan Ale dan semuanya berawal hanya dari mendengarkan lagunya.

Sepanjang pagi Xena habiskan untuk memilih baju yang akan ia pakai, sesekali ia menanyakan pendapat Zara melalui pesan teks. Ia ingin terlihat rapih agar bisa lebih percaya diri bertemu Ale. Terlebih fan meeting ini juga diselenggarakan tepat di hari ulang tahun Ale, ia mau menghargai Ale dengan memakai baju yang layak dan pantas.

“Oke udah siap.” Ujar Xena setelah dipilihnya blazer warna hitam yang dipadukan dengan rok coklat yang menggantung diatas lututnya.

Xena menaiki taksi menuju lokasi fan meeting. Saat dia sampai, venue fan meeting sudah dipenuhi oleh sekitar 50 orang. Fan meeting ini memang eksklusif, hanya untuk beberapa fans, karena itulah Xena merasa sangat beruntung bisa jadi salah satu penggemar yang terpilih.

Fan meeting hari ini berdasarkan jadwal akan diisi oleh special show dari Ale dan juga sesi 1 on 1 talk sekaligus album signing.

“Gila gue debar-debar.” Xena merasakan darahnya mengalir lebih deras setelah ia menduduki kursi penonton yang berhadapan langsung dengan stage. Dia mendapatkan tempat di barisan ketiga dari depan. Posisi yang cukup pas untuk melihat Ale dari jarak yang lumayan dekat.

Disisi lain, Ale di backstage menatap layar ponsel untuk kesekian kalinya hari ini. Ia masih rutin memeriksa profile Instagram Xena sekadar untuk mengecek kabar dari pesan terakhirnya di dm.

“Belum diliat juga, balasan gue.” Gumamnya.

Setelah MC memanggil namanya untuk masuk ke stage. Ale berjalan pelan diikuti oleh riuhnya teriakan penggemarnya yang berjajar di bangku penonton. Ia menyipitkan matanya sedikit, berusaha untuk menembus cahaya yang diarahkan kepadanya, matanya menelusuri bangku penonton, mencoba mencari sosok wanita yang beberapa bulan ini ternyata menjadikan direct message instagramnya sebagai -so-called-sanctuary.

“Ketemu.” Ujarnya dalam hati setelah 3 detik pencarian. “Ternyata datang.”

“Cantik.” Gumamnya lagi, pikirannya benar-benar tidak bisa membohongi.

Well- urusan dan pikirannya tentang Xena perlu ia kesampingkan terlebih dahulu karena ia harus memulai penampilannya hari ini.

Ale membawakan beberapa lagu dari album Beg for Love dan Clothes. Ia tersenyum setelah mendengar tepuk tangan riuh dari penonton setelah penampilannya, dan senyumnya semakin lebar setelah melihat Xena dengan senyum bahagianya.

Tanpa sadar, seperti terhipnotis, di sesi bincang-bincang, matanya selalu berusaha melirik posisi Xena. Ia penasaran dengan reaksi dan ekspresi wajah Xena untuk setiap jawaban yang ia keluarkan dari beberapa pertanyaan yang diberikan MC.

“Cantik. Bener-bener cantik.” Ia bisa merasakan kehangatan dan kebaikan hati perempuan tersebut hanya dengan melihat senyuman dan pancaran matanya.

“Dari pesan-pesannya dan tulisan di bukunya aja, gue bisa tau kalau dia cantik. Cantik. Cantik banget.” Pikirnya. Kemarin Ale sudah membaca buku Xena dalam satu kali duduk. Bukunya berisi, namun tidak membosankan. Bukunya menceritakan perjalanan sang tokoh—-Raya dalam mencari jati diri dan menerima diri sendiri. Alur ceritanya hidup, membuatnya mengerti mengapa buku ini jadi buku favorit adiknya, Zeta.

Setelah acara 1 on 1 session dimulai, Ale berusaha kuat untuk tidak terlalu sering melirik Xena yang masih duduk di bangku antrian. Beberapa kali Ale mencubit pahanya sedikit keras, mencoba membawa kesadaran kembali pada dirinya. Pikirannya susah fokus, tapi ia harus bisa fokus, ini demi profesionalitas.

Setelah 20 penggemar selesai dengan sesi 1 on 1, akhirnya tiba giliran Xena untuk berhadapan langsung dengan Ale.

“Oke here we go.”

“Hi Ale!” Seru Xena riang. Kalau boleh jujur, sebelumnya Ale sudah membayangkan suara dari Xena, mencoba menebak-nebak seperti apa suara dari pemilik hati yang hangat ini, turns out—it’s softer than expected.

“Hi Xena!” Jawab Ale tak kalah bersemangat.

Xena mengangkat kedua alisnya, ekspresinya penuh tanya.

“Oh itu tadi, dengar namanya dari petugas.” Jawab Ale cepat setelah sadar.

Bodoh. Dia kan belum kenalin namanya.

Xena mengangguk——dengan polosnya percaya. Ia kemudian lanjut untuk duduk di kursi yang sudah disediakan di hadapan Ale.

Di detik-detik pertama, mereka hanya diam dan saling tatap, kemudian secara tiba-tiba, mereka tertawa.

“Hahahaha sebelum kesini, udah nyiapin kata-kata. Sekarang ngeblank.” Ujar Xena jujur. Melihat Ale dari jarak sedekat ini ternyata menghilangkan sebagian kewarasannya. Dia benar-benar dibuat kagum dengan segala hal yang ada pada diri Ale. His broad shoulder, sharp jawline, pretty big eyes that spark——really spark, even a little mole on his right cheek seems attractive.

“It’s a pleasure to meet you, Xena.” Ujar Ale kemudian setelah tertawa, ia tersenyum, matanya lurus menatap mata gadis itu.

“No. The pleasure is mine.” Jawab Xena kemudian.

“First of all, happy birthday ya Ale! Doanya udah aku ucapin dalam hati.” Tadinya, Xena mau menyiapkan hadiah ulang tahun untuk Ale, namun sayang, penyelenggara acara tidak mengizinkan siapapun memberi hadiah.

“Hahaha thank you Xena.”

“Ini aneh sih, but honestly, meskipun baru ketemu Ale sekarang, rasanya kayak udah ketemu Ale puluhan kali.”

“Same here. Same goes to me. Baru ketemu lo, gue ngerasa udah kenal lo dari lahir, Xen.”

“Aku mau cerita dulu aja sih, karena jujur aku agak bingung bahas apa, kayak sebenarnya banyak banget yang mau aku omongin tapi waktunya terbatas. Duh tuh kan aku malah buang-buang waktu sekarang.” Xena tertawa kecil, diikuti oleh Ale yang lagi-lagi juga ikut tertawa.

Truth be told——Ale merasakan getaran aneh di dadanya tiap melihat senyum maupun tawa dari Xena. It’s addicting. Something he can’t get enough of.

“It’s okay. Take your time Xena.”

“Yes take your time Xena, because I won’t let it be our last time.” Ale melanjutkan dalam hati.

“Oke jadi aku pertama kali tau kamu itu dari temenku, dia kasih tau lagu beg for love dan ya aku langsung suka banget sama lagunya, selain pas banget sama kondisi waktu itu, lagu Ale yang itu kayak comfort song banget deh. Pokoknya…kamu pasti kaget seberapa berdampaknya lagu itu sama hidup aku, dan semangat aku.”

Ale mendengarkan Xena dan penuturannya dengan saksama.

She’s talky in person too, pikirnya.

Matanya tak lepas dari hidupnya sinar mata Xena sepanjang ia berbicara. Ia bisa merasakan ketulusan dari setiap kata yang keluar dari mulut Xena.

“Jadi Ale, apa yang kamu pikirin pas nulis lagu itu? Aku rasa…kamu bener-bener nulisnya dari hati.”

“Makasih Xena, for liking that song. It means so much. Really. Sebenarnya—-ini rahasia, tapi gue—eh gapapa kan pake gue? Biar lebih santai aja sih.”

Xena mengangguk, mengiyakan.

“Sebenernya gue belum pernah jatuh cinta, sih.” Jawab Ale jujur. Xena membelalak tak percaya.

“For real?!”

“Iya. Bukan karena gak ngerti cinta sih, lebih tepatnya karena belum ada yang bisa buat jatuh cinta, mungkin?”

”Satu rahasia udah gue bagi. Supaya lo gak ngerasa aneh sendiri udah kasih tau gue hal-hal personal buat lo.”

“Jadi. Kalau ditanya soal apa yang gue pikirin, mikir apa ya—mikirin kalau gue ada di posisi orang yang jatuh cinta itu.”

“I see…..hebat loh. Lirik dan composingnya bener-bener hidup banget Le. Pas pertama denger gue—-eh ngomong pake gue beneran gak apa apa?”

“Gapapa.”

“Gue bener-bener langsung suka banget.” Lanjut Xena.

Setelahnya, mereka hanya berbincang santai, saking menyenangkan pembicaraan mereka, Ale sampai lupa kalau mereka hanya punya waktu 5 menit.

“Mas Ale, 1 menit lagi ya.” Ujar petugas disampingnya mengingatkan.

“Ah—-oke.”

“Too bad. Masih mau ngobrol banyak sama Xena sekarang. Pikirnya. ”Tapi gapapa. Gue gabakal biarin ini jadi kali terakhir ngobrol.”

“Ohya Xena…semangat terus ya nulisnya.” Ujar Ale.

Xena membelalak. Dumbfounded. Seingatnya, ia tidak sama sekali menyebutkan soal dia dan menulis sebagai kegiatan maupun kegemarannya.

“Hah?”

“Ah…itu. Gue baca dm lo. Tapi gapapa. Serius gapapa. Jangan kaget. I’m the only one who knows dan gue gak akan kasih tau siapa-siapa.” Ale berbicara dengan cepat, mencoba memberi paham pada Xena.

“HAH? KOK BISA?” Campur aduk, Xena kaget bukan main.

“I—-don’t know. Awalnya iseng-iseng aja liat message requests.”

“Emang gak banyak yang dm lo disitu?”

“Banyak bangetttt, ratusan ribu kali ya?”

“And you managed to find…mine. Aaa malu banget.” Xena menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Pikirannya mencoba mengingat pesan-pesan apa saja yang ia tuliskan disana.

“Lo baca semua?”

“Y—-es?” jawab Ale ragu.

“AAAA MALU BANGET. Sumpah gue mau kabur dulu dari sini.” She feels like an open book now, Ale knows her better than the rest. Ale knows everything.

“No..no Xena. Sumpah. Gapapa.” ucap Ale cepat. Ia cukup panik melihat reaksi Xena.

“If it helps, and to make it fair, lo bisa nanya apapun ke gue. I’ll be an open book for you too.” lanjutnya.

Actually, the reason he told her this is that, he doesn’t want to embarrass her, he doesn’t want to make her feel ashamed for telling him all those things. And also, to be very honest, he doesn’t want it to be the last time. He unexpectedly still wants to be involved, in her life.

Ale tidak ingin Xena merasa malu karena ia tahu banyak hal tentangnya. Dia tidak mau ini jadi percakapan terakhir mereka. Ia masih ingin tahu lebih banyak mengenai Xena. And God—he wants her to still tell him everything about her even after this, hal besar maupun hal kecil dalam hidupnya, hal yang membuatnya senang dan membuatnya sedih, hal yang terjadi pada dirinya hari demi hari. Ia tidak ingin Xena berhenti menjadikannya -sanctuary—- jika ia mau. He unexpectedly feeling attached and surprisingly still wants to be involved.

Ale langsung datang ke rumah sakit setelah selesai acara. Dilihatnya Haikal yang duduk di depan ruangan. Wajahnya masih terlihat lelah, tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya.

“Kal…mama udah sadar?”

“Udah…lagi tidur lagi.”

“Barusan mama nangis, Bang.”

“Mama minta maaf sama gue.”

“Minta maaf karena udah jadi Mama yang payah.”

“Minta maaf karena Mama lemah.”

“Sakit Bang…sakit dengarnya.”

Ale langsung mendekap tubuh Haikal erat. Ditepuk-tepuknya pundak Haikal pelan, ia diam, membiarkan Haikal mengeluarkan semua isi pikiran yang ingin dia bagi.

“Capek Bang.”

“Gue harus apa Bang, kalau kaya gini?”

“Mama kaya udah gaada semangat hidup.”

Ale melepas dekapannya. Berbicara mata ke mata dengan Haikal.

“Kal….orang yang ingin mati itu sebenarnya gak benar-benar ingin mati. Mereka ingin hidup jadi lebih baik. Mereka ingin isi kepala mereka jadi lebih bersahabat. Mereka berharap untuk tenang dan gak mikirin keinginan untuk mati lagi. Mereka butuh diselamatkan, Kal. Mama bisa diselamatkan.”

“Ada gue, sama-sama kita bantu Mama ya? Kalau udah begini, kayanya kita butuh bantuan ahlinya. Kita bawa Mama ke psikiater, ya? Mama pasti sembuh. Sekarang, Mama cuma lagi lupa aja kalau Mama orang yang kuat.”

Ale kembali merengkuh tubuh Haikal lalu didekapnya. Hari itu, untuk pertama kalinya, Haikal mencurahkan isi hatinya. We’re all a little fragile sometimes, and that’s okay. We all need somebody sometimes, and that’s understandable.

Tw// self harm ‼️ Tw// divorce ‼️

Haikal langsung berlari-lari kecil sesaat setelah mereka sampai di parkiran rumah sakit. Banyak sekali yang ada di pikirannya, membuat kepalanya pusing bukan main. Xena ikut berlari mengikutinya dari belakang, dadanya berdebar, ia khawatir terjadi sesuatu pada Haikal.

Langkah Haikal terhenti sebentar di depan pintu sebuah ruangan di lantai 3 rumah sakit tersebut, ia memukul-mukul dadanya kasar sebelum akhirnya membuka pintu ruangan. Sesak, yang Haikal rasakan adalah sesak di dadanya.

Setelah Haikal masuk, Xena tetap berdiri di depan pintu. Ia benci bau rumah sakit, karena dengan hanya mencium baunya, itu bisa membawanya kepada luka terdalam dari hidupnya, kehilangan Bundanya. Ia mungkin masih terlihat ceria, masih bisa tertawa, namun sejujurnya, setengah bagian dari hidupnya ikut terbawa sepeninggal Bundanya.

Ia benci berada di rumah sakit, karena menurutnya rumah sakit itu tempatnya duka. Tempatnya pengharapan yang pupus. Tempatnya air mata. Tempatnya kecewa dan luka. Meski tak bisa dipungkiri banyak juga tawa dan suka yang ada di rumah sakit, kelahiran dan kesembuhan, contohnya.

‘Kenapa sih, bau rumah sakit itu khas?’

Sebelumnya, karena panik saat berlarian mengikuti Haikal, Xena tidak begitu sadar kalau bau rumah sakit masih membuatnya trauma. Tapi setelah dia diam, dia mulai merasa sakit kepala dan mual.

Xena memeluk tubuhnya sambil menepuk-nepuk pundaknya pelan, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.

“Gaboleh, Haikal lagi kaya gini. Gue gaboleh jadi orang yang ngerepotin.”

Xena mulai mengintip dari kaca pintu untuk melihat kondisi di dalam ruangan. Ia terkejut ketika dilihatnya sosok yang dikunjungi Haikal adalah Mama Haikal yang terbaring di atas kasur dengan mata terpejam. Entah dalam kondisi tidak sadar, atau memang sedang tertidur.

Xena berjalan gontai, mencoba untuk mencari toilet paling dekat. Ia mual, rasanya seperti ingin muntah. Sesuatu seperti ini selalu memicu traumanya. Melihat Mama dari temannya terbaring di atas kasur rumah sakit benar-benar membuatnya mengingat masa-masa 5 tahun lalu ketika ia juga harus bolak-balik rumah sakit menemani Bundanya yang terbaring lemah. Ia bisa mengerti mengapa Haikal bisa sepanik dan sekacau tadi.

Sesampainya di toilet ia langsung mengeluarkan isi perutnya di dalam salah satu bilik toilet. Samar-samar, ia dengar langkah kaki yang mendekat.

”Ibu yang tadi di ruangan itu…kasian ya, di rumahnya nyayat tangannya sendiri. Untungnya masih bisa selamat.”

“Yang tadi di ruangan 3A?”

“Iya. Barusan anaknya juga udah kesana ternyata. Pasti kaget banget anaknya.”

“3A? Haikal……” Lirih Xena pelan. Ia menepuk-nepuk dadanya dan terduduk di lantai toilet. Sakit. Dia bisa merasakan sakitnya. Jelas saja Haikal yang biasanya nyaris tidak banyak mengeluarkan emosi bisa sekalut tadi.

“Haikal..ada apa….” Rintihnya lagi tertahan.

Di ruangan 3A, Haikal duduk di kursi sebelah kasur rumah sakit, tangannya menggenggam erat jemari Mamanya.

“Mah…” rintih Haikal lemah.

“Mah…jangan gini.”

“Mah…kalau Mamah juga gak ada, Haikal gimana?” Haikal menundukkan kepalanya, menenggelamkan wajahnya diatas tangannya sendiri yang masih menggenggam jemari Mamanya.

Haikal mengelus pelan pergelangan tangan Mama yang sudah dibalut perban. Dadanya sesak memikirkan parahnya perasaan sedih dari Mamanya sampai beliau menyakiti dan membahayakan dirinya sendiri. Ini kali pertama. Apa selama ini Mama menahan semua perasaannya hingga jadi menumpuk dan kacau, sampai akhirnya berniat untuk menyakiti dirinya sendiri?

Sebelumnya, di kafe tadi, asisten rumah tangganya menelepon.

“Mas Ikal….Mama Mas…” Suara Bi Nina yang terdengar panik membuat tubuh Haikal melemas seketika, firasatnya buruk.

“Mama nyayat…..”

hiks

“Nyayat tangannya Mas.”

hiks

Bi Nina berusaha untuk menjelaskan situasi yang terjadi dengan suara yang bergetar hebat, diselingi oleh tangisan yang juga tidak bisa ia tahan saking terkejutnya.

Di perjalanan menuju kesini, pikiran Haikal dipenuhi sumpah serapah dan kecemasan. Dalam hati ia menyumpahi Ayahnya yang mengkhianati Mama. Ayah yang dengan mudahnya mengingkari tanggung jawabnya pada keluarga, juga mengingkari janji dan ikrar sucinya dengan Mama. Masih dia ingat betul satu tahun lalu dimana semua kebenaran terungkap, fakta bahwa Ayahnya selingkuh, betapa hancurnya perasaan dari Mama dan Haikal saat itu. Ayah yang selama ini menjadi panutannya karena kelembutan hatinya, ternyata bisa mengkhianati Mama-nya.

“Kenapa Yah? Kenapa?”

“Maaf……”

“Kenapa?”

“Maaf……saya khilaf.”

“Kok segampang itu?”

Perceraian antara kedua orang tuanya benar-benar terjadi. Mama jadi orang yang sangat berbeda setelahnya. Kadang marah, kadang tiba-tiba menangis, kadang kembali seperti biasa. Mama sering kehilangan dirinya sendiri, bahkan setelah satu tahun kejadian tersebut berlalu. Haikal sendiri juga benar-benar terluka, ia terluka karena harus merasa marah pada Ayahnya, padahal sebelum ini, baginya, Ayahnya adalah sosok Bapak paling hebat. Haikal tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun, hanya keluarganya yang tau, termasuk Ale.

“Bajingan. Orang yang mengingkari janji-janjinya itu bajingan.”

“Bajingan. Orang yang gak mau kasih penjelasan yang baik itu bajingan.”

“Mah….Haikal masih mau lihat Mamah jadi kaya dulu lagi, Mamah yang banyak senangnya. Mamah yang selalu senyum. Mamah yang….” Air mata mengalir deras membanjiri pipi Haikal. Ia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Hancur. Hatinya hancur. Bermenit-menit lamanya, ia hanya bisa menangis.

Setelah mengumpulkan kewarasannya, Xena langsung kembali ke depan pintu, dilihatnya Haikal yang masih terduduk menangis.

“Haikal belum sempet makan…beliin makan dulu deh.” Pikirnya.

Dalam perjalanan menuju kantin Rumah Sakit. Ia melihat kerumunan yang berbisik dan sedikit heboh.

“Eh itu Ale kan ya?”

”Eh Iya bener Ale. Ngapain ya? Kaya buru-buru banget.”

Xena kemudian melirik kearah pandangan mata semua orang tertuju.

“ALEEE!” Jeritnya dalam hati. Sebuah kebetulan untuk melihat dan bertemu Ale disini. Ale jauh lebih tampan dari yang ia lihat di layar handphonenya. Sayang, ini bukan saat yang tepat. Kalau saja kondisinya bukan seperti ini, dan lokasinya bukan di rumah sakit, Xena mungkin sangat senang bisa bertemu idolanya yang akhir-akhir ini menjadi salah satu sumber senyum dalam hidupnya.

“What a shame, kita harus ketemu dalam kondisi kaya gini.” Pikirnya, matanya masih menatap Ale yang berjalan cepat kearah eskalator rumah sakit.

“Kasian Ale. Bahkan mau ke rumah sakit untuk tujuan pribadi aja harus diliatin banyak orang kaya gini.” Pikirnya lagi.

“Yaudah…beli makan buat Haikal dulu. Ale pasti butuh privacy juga. Ale, semoga apapun itu, semuanya baik-baik aja, ya.” Doa Xena dalam hati.

———

Ale berlari cepat kearah ruangan setelah menanyakan nomor ruangan pada bagian informasi.

Sesampainya di depan pintu ruangan, tanpa ragu ia langsung membukanya, kemudian berjalan menghampiri Haikal yang masih terduduk di samping Mama-nya.

“Mama gimana?” —Ale memang memanggil Mama Haikal dengan sebutan Mama. Baginya, Mama Haikal sudah seperti Mamanya sendiri.

Bukan jawaban, tapi justru pertanyaan yang keluar dari mulut Haikal. “Lo tau dari mana?” Tanyanya tanpa melihat kearah Ale.

“Kenapa kalau kaya gini lo gapernah hubungin gue sih?” Tanyanya, ia mengontrol suaranya sebisa mungkin agar tidak terlalu kencang. Kepalanya pening, dia juga panik. Sebelumnya, ia memang meminta Bi Nina untuk selalu mengabarinya perihal kondisi rumah Haikal. Ia tahu pasti Haikal tidak akan memberitahunya hal-hal seperti ini.

“Tante Reni sama Om Tedi tau?” Haikal kembali bertanya. Tante Reni dan Om Tedi adalah kedua orangtua Ale.

Ale menggeleng pelan.

“Untuk sekarang gue gak kasih tau. Takut Ibu kaget.”

Haikal hanya diam. Tatapannya kosong.

“Kal….gue Abang lo. Gue keluarga lo. Lo harus inget itu.” Ale memeluk Haikal yang masih duduk. Mengguncang-guncang pelan tubuhnya.

“Bang. Gue mau sendiri dulu.”

“Kal…jangan gini. Lo udah makan?”

“Bang. Please. Gue pusing.”

“Kal…lo bisa gak nerima orang yang peduli dan sayang sama lo? Gue juga keluarga lo, Kal.”

“Bang…gue capek.” Haikal memohon. Yang ia inginkan saat ini hanya berdua dengan Mamanya. Berpikir hal-hal apa yang harus ia lakukan untuk membuat Mamanya sembuh dan kembali seperti dulu.

“Oke….tapi kalau ada apa-apa lo harus hubungin gue. Ya?”

“Kal. Jangan takut buat bergantung sama orang lain. Apalagi orang itu gue. Gue Abang lo. Gue bukan orang asing di kehidupan lo, kan?”

“Ini. Lo makan dulu. Isi perut lo. Kalau Mama udah sadar kasih tau gue.”

“Jangan takut ngerepotin orang lain, jangan takut dipayungi orang lain, karena lo pasti bisa ngerasain orang yang benar-benar rela apapun buat lo, Kal.”

“Mama lo, mama gue juga. Jadi gue gak mau tau, lo harus kabarin gue.”

Dengan pasrah, Ale berjalan keluar ruangan. Dadanya sesak bukan main melihat kondisi sekarang. Ia bahkan tidak bisa membujuk Haikal untuk membuka dirinya, membuka hatinya untuk menerima rangkulannya. Demi Tuhan, ia sayang dan peduli pada Haikal dan Mamanya.

There’s something about skripsi that makes it hard——something about it that forces us to procrastinate.

Berbagai alasan sudah Xena pakai demi menghindar dari mengerjakan skripsinya.

“Gue lagi mumet, kayanya harus baca AU deh.”

“Ih lagi gak mood, mending nonton film gak sih?”

“Kalau lagi jenuh gini, dipaksain ngerjain skripsi juga gak akan jadi bener. Yaudahlah, nanti aja, healing dulu sama rebahan dan scroll twitter kali ya?”

Hingga akhirnya, resmi 3 bulan skripsi menjadi proyek mangkraknya.

Lucu, dia bahkan bisa menulis 1 novel dalam waktu 3 bulan, tapi tidak untuk skripsi.

Sebenarnya, Xena ingin sekali segera menyelesaikan skripsi ini. Bagaimanapun, beban itu akan hilang kalau yang membuat beban diselesaikan, kan? Tapi entah kenapa rasanya berat sekali.

Tulisan yang ingin ia garap untuk menjadi anak keduanya pun masih menjadi angan-angan di kepala. Ia tidak bisa berkonsentrasi mengerjakan hal lain karena terpikirkan skripsi, namun enggan juga untuk segera menyelesaikannya.

Setelah selesai shift, Haikal langsung menghampiri Xena yang sibuk dengan handphonenya di kursi dekat jendela.

“Tuh kan. Sini hapenya.” Haikal langsung merebut handphone Xena dari tangannya, menguncinya, kemudian menyimpannya di atas meja dalam posisi menelungkup.

“Scroll tiktok terus. Gak cape apa liat pargoy? Inget tujuan lo kesini. Lo udah terlalu lama anggurin skripsi.” Haikal menunjuk laptop Xena di hadapannya dengan file Word skripsi yang hanya terbuka namun tidak ia sentuh.

“HAAA kenapa semales ini ya Kal?”

“Ya karena lo males.” Jawab Haikal acuh tak acuh. Pandangannya tak lepas dari laptop di hadapannya.

“Jahaat.”

“Ya emang iya. Udah, kerjain.” Haikal menyentil dahi Xena pelan. Kebiasaan yang sering ia lakukan sejak lama jika gemas dengan kelakuan Xena.

——————

Haikal adalah teman pertama Xena di SMA, selain Zara—yang memang sudah menjadi temannya sejak SD, dan SMP. Masih Xena ingat betul pertemuan pertamanya dengan Haikal saat mos.

Waktu mos, 2 panitia tiba-tiba berkelahi, memaki dengan kata-kata kasar dan saling memukul di depan barisan anak-anak yang sedang di mos. Xena yang kebetulan berdiri paling depan dari barisan mundur perlahan karena ketakutan, kemudian tak sengaja menginjak kaki teman seangkatan di belakangnya. Xena membalikkan tubuhnya kemudian dilihatnya lelaki dengan postur tubuh tinggi dan kulit yang sedikit gelap, lelaki tersebut hanya memasang muka datar.

Eh, maaf.” Suara Xena bergetar. Dia memang benar-benar ketakutan. Belum pernah ia lihat baku hantam secara langsung sebelumnya.

BRAKKK

Belum sempat Xena membalikan badannya, tiba-tiba terdengar bunyi kencang dari arah depan. Gitar yang sebelumnya dipegang oleh salah satu panitia hancur tak berbentuk, ia memukulnya keras ke lantai tepat sebelah lawannya berdiri.

Xena terperanjat, kemudian tanpa sadar meremas lengan lelaki tersebut.

“Santai. Mereka cuma acting.” Ujar -yang punya tangan- santai, setengah berbisik.

“Serius?”

“Iya. Setiap tahun kaya gini.”

“Kok lo tau?”

“Yaaaa, adalah pokoknya.”

“Terus ngapain mereka acting kaya gini?”

“Ya biar seru kali?”

“Tapi ga seru.” Xena merengut. Mengangkat kedua alisnya sebal.

Lelaki dengan -tahi lalat di sekitar wajah dan lehernya yang membentuk Ursa Minor- hanya tertawa pelan, menyeringai.

“Gue Xena.”

“Gue Haikal.”

“Lo temen pertama gue disini——eh enggak sih, ada Zara, yang itu tuh.” Xena menunjuk Zara yang berdiri cukup jauh darinya.

Setelahnya, Xena selalu ada disekitar Haikal. Xena suka berada didekat Haikal. Entah bagaimana, meski kadang dingin, meski cuek dan blak-blakan. Haikal punya cara untuk membuat orang disekitarnya nyaman.

—————-

Haikal menghentikan gerakan jarinya di atas keyboard laptop setelah dilihatnya ada panggilan telepon masuk.

“Bentar ya, Xen.”

Xena mengangguk tanpa melihat kearah Haikal.

3 menit kemudian, Haikal kembali ke meja mereka dengan muka pucat dan panik.

“Eh, kenapa Kal?”

“Gue duluan ya, Xen. Ada urusan.” Haikal merapihkan barang-barangnya dengan tergesa. Xena tetap tak melepas pandangannya dari Haikal, ia khawatir.

Dilihatnya tangan Haikal yang gemetar saat mencoba mememasukkan laptop kedalam tasnya.

Truth be told—-kaki Haikal lemas. Ia hampir tidak bisa merasakan tubuhnya.

“Kal. Kenapa? Ada apa?” Tanya Xena panik.

Haikal hanya menggeleng pelan, tidak sanggup berbicara.

“Kal, jangan nyetir, gue aja yang nyetir, gue anter, lo mau kemana?”

“Gak usah, Xen. Gue duluan.” Haikal langsung berjalan cepat kearah pintu keluar.

“Kal. You’re not on your mind. Please biarin gue anterin lo. Gue janji gak akan nanya apapun.” Xena menarik lengan Haikal sesaat sebelum ia masuk ke mobilnya. Dengan lemas dan pasrah, Haikal memberikan kunci mobilnya kepada Xena.

Diperjalanan, Xena benar-benar tidak menanyakan apapun. Mereka berdua hanya terdiam dalam pikiran masing-masing. Sesekali diliriknya Haikal yang memainkan jarinya gelisah. Tangannya gemetar hebat.

“Breath Kal, breath.” Xena melepas satu tangannya dari setir kemudi kemudian menggenggam tangan Haikal erat. Jemari hangat Xena lumayan menenangkan Haikal, gemetar di tangannya jadi sedikit berkurang, namun sebagai gantinya, Haikal mulai meneteskan air mata yang sedari tadi ia tahan untuk tidak keluar. Pikirannya kacau.

Xena belum pernah melihat Haikal seperti ini sebelumnya. Haikal yang rapuh, Haikal yang nyaris tidak berdaya. Jantung Xena berdebar-debar saat mencoba menerka hal yang membuat Haikal seterkejut dan sepanik ini.

‘Kal…apapun itu, semoga semuanya baik-baik aja.’

Xena menarik napas panjang sesampainya dia di lift. Jantungnya berdegup sangat kencang sejak Dean memberikan pesan teks yang mengabari bahwa dia sudah ada di cafe lobby bawah. Truth be told, ia takut. Ia takut bertemu dengan Dean. Banyak sekali yang ada di pikirannya saat ini.

Bagaimana kalau ini benar-benar akhir dari segalanya?

Bagaimana caranya dia bisa menerima apapun yang nantinya akan Dean sampaikan?

She doesn’t really know if she’s ready.

Sesampainya di lantai bawah. Kaki Xena melemas, debaran jantungnya semakin tak karuan.

Oke chill Xena, take a deep breath.” Gumamnya pelan.

Xena berjalan pelan kearah kafe tempat mereka janjian untuk bertemu. Dari jauh, Xena dapat melihat Dean yang sudah menunggu di kafe tersebut, duduk dengan pandangan kosong dan dua gelas kopi di hadapannya. Dean memang sudah tahu kopi apa yang selalu Xena pesan di cafe itu.

Yang Xena tidak tahu, Dean juga gugup setengah mati, tapi dia harus segera bicara apa yang seharusnya ia sampaikan. Menyelesaikan apa yang seharusnya ia selesaikan.

Xena berjalan menghampiri Dean, kemudian menarik kursi yang ada di hadapan Dean dan duduk disana perlahan. Menaruh tas yang ia bawa di atas pahanya.

“Hai Xen.” Dean menyapa sembari tersenyum kikuk. Tidak ada yang berubah dari Dean dan intonasi bicaranya. Ia masih Dean yang sama. Namun entah bagaimana hari ini Dean terasa jauh, tidak tergapai. Rasanya seperti, ia tidak pernah mengenal Dean sebelumnya.

“Hai.” Jawab Xena pelan. Matanya mencoba untuk mencari distraksi, menghindari tatapan Dean di hadapannya.

Satu bulan yang lalu, Xena dan Dean duduk disini dalam keadaan yang jauh berbeda dari sekarang. Hari itu, mereka banyak tertawa, Dean juga dalam suasana hati yang baik karena baru saja diterima bekerja di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Kebahagiaan itu juga menular pada Xena, bagaimana tidak? Karena sekarang Dean bekerja di Jakarta, mereka dapat sering bertemu ——- setidaknya itu yang dulu Xena pikir.

Nyatanya, setelah Dean bekerja, mereka justru semakin jarang menghabiskan waktu bersama, bahkan untuk sekadar mengobrol melalui pesan teks ataupun telepon. Waktu itu, Xena menganggap itu semua murni karena Dean sibuk. Xena bisa mengerti. Tapi yang sebenarnya terjadi, Dean punya alasan lain.

Ada keheningan yang cukup panjang setelah mereka saling mengucapkan kata sapa. Keduanya berusaha memikirkan topik pembicaraan yang pas sebelum akhirnya membahas topik paling inti.

“Xena…how are you?” Dean akhirnya memecah keheningan.

“Lo serius mau tanya itu ke gue? After all this?” Lo berharap apa dari pertanyaan itu? Berharap gue pura-pura baik-baik aja?” Emosi yang sedari tadi Xena tahan tiba-tiba meledak. Xena mengutuki dirinya dan self controlnya yang payah. Namun ia hanya tak habis pikir, basa-basi atau apapun itu, bagaimana bisa dia menanyakan kabarnya padahal dia tahu pasti Xena tidak baik-baik saja dan itu karenanya?

“Xen…I’m so sorry.”

“For all of this, I’m so sorry.”

“Maaf kalau gue gak jelas. Maaf kalau gue gak tau diri.”

“Emang gak jelas.” Xena menimpali, matanya masih enggan menatap Dean. “Kemarin lo bilang mau serius sama gue. Kemarin lo bilang gak akan pernah ninggalin gue. Kemarin lo bilang lo gak akan kemana-mana, dan sekarang, kenapa gini, Dean?”

“I know…”

“Okay now, tell me the truth, I guess I deserve an explanation, don’t you think?” Akhirnya Xena memberanikan diri untuk menatap Dean. Mencoba untuk membaca ekspresinya. Menerka ketulusan dari ucapan apapun yang nantinya keluar dari bibirnya.

“I was so messed up.”

”Gue nggak seharusnya janjiin lo sesuatu yang gue belum tahu pasti bisa gue tepatin atau enggak.”

“I know it’ll hurt you but I’ll tell you the truth. Because I don’t want you to feel bad about yourself because it’s all in me, it’s me. I’m the one to blame.

“Lo gak kekurangan satu hal apapun. Gak Xen. Lo adalah cewek paling kuat, paling menarik, paling menenangkan, paling menyenangkan, yang gue tahu.”

“Terus masalahnya ada dimana, Dean?” Xena berusaha untuk menahan air matanya agar tidak terjatuh. Akan sangat memalukan kalau dia sampai menangis saat semuanya belum sampai pada puncaknya.

“Masalahnya ada di gue, Xen.”

“I was so fucked up.”

“Gue rasa gue gegabah. Padahal gue merasa udah memikirkan banyak hal sebelum confess ke lo, tapi ternyata gue kelewatan satu hal. Masa lalu. Gue kelewatan untuk mikirin apa gue udah benar-benar bisa lupa sama masa lalu gue atau belum.”

“Iya. Gue sempat ada di hubungan yang gak jelas sama Axel pas kuliah. I liked her. It’s sort of unfinished business relationship, I guess.”

“Gue gak begitu sadar kalau gue masih terjebak di masa lalu sampai akhirnya gue satu kantor sama dia. I spend lot of times with her and I realized something that….……”

“Okay, I get it.” Xena memotong. Sesak. Xena bisa merasakan sesak di dadanya. Bahkan sebelum Dean menjelaskan semuanya, Xena sudah bisa menerka yang sebenarnya terjadi.

“I enjoy your company, like a lot. Saking nyamannya, mungkin gue sampe gabisa membedakan rasanya falling in love with the person, atau falling in love with the moment.” Dean kembali melanjutkan.

”Maybe I fell in love with the moment we spent, and mistaken it as love itself.”

“I was so messed up. But really……..Gue gapernah mencoba untuk nyakitin lo, Xen. I’m sorry.”

“Gue inget lo yang pernah bilang, apapun itu yang salah, kita harus komunikasikan. Apapun itu yang gue rasain, gue harus bilang ke lo. Makanya, gue jelasin ini semua. Not to make you feel even more miserable by the fact that I never really love you but to make sure you know….bukan salah lo. It’s all me. I’m the one to blame.”

“Jadi yang mau gue bilang, makasih ya Xen? Makasih buat semuanya. Gue harap setelah ini lo gak akan trauma sama cinta. Karena Xen, you deserve to be loved. Gue yang brengsek disini. Gue bahkan nggak tau apa emang gue sebenarnya sayang sama lo juga, atau gimana. Gue benar-benar bingung.”

“Gue yang brengsek. Seharusnya gue gak gegabah buat janji, yang akhirnya malah bikin lo sakit hati kaya gini.”

“The thought of me hurting you, is hurting me too. Dan gue layak dapat perasaan bersalah dan sakit itu karena gue emang brengsek.”

“Gue brengsek bodoh yang merusak persahabatan dengan janji gegabah gue.”

Suara Dean bergetar, matanya mulai berkaca-kaca, Dean mengalihkan pandangannya dari Xena. Mengusap matanya dengan tangan kanannya. Dia menangis. Hal yang tidak Xena sangka akan terjadi.

“Gue harap kita masih bisa jadi teman, tapi gue ngerti kalau lo butuh waktu, bahkan kalau waktu yang lo butuhin itu selamanya, gue ngerti.”

Dean tahu masih banyak ketidakpastian yang menanti mereka di masa depan. Ia juga mencoba benar-benar mengerti bahwa ada kemungkinan Xena tidak akan ada di hidupnya lagi.

“Gue butuh waktu, bener. Dan nggak tau sampai kapan.” Xena meneguk kopinya cepat. Berusaha menghabiskan kopi tersebut sekilat mungkin agar ia bisa segera pergi dari sini.

“Gue menghargai lo yang jelasin ini semua ke gue. Makasih ya, udah jujur.”

“Maaf ya, kalau gue gak bisa nutupin fakta kalau gue kecewa. Tapi gue benar-benar lega karena lo mau jujur sama gue tentang semuanya, I appreciate your honesty. Oke, I hope life will treat you well. Gue pamit, ya?”

“Makasih Xen, udah mau dengerin semua penjelasan gue. Maaf, maaf karena yang bisa gue bilang cuma kata maaf.”

Xena mengangguk. Lalu beranjak dari duduknya, pergi meninggalkan Dean yang pada akhirnya tak kuasa menahan tangisnya.

Bodoh.

Dean merasa bodoh karena merusak persahabatan mereka dengan perasaan yang dengan cerobohnya ia anggap sebagai cinta.

Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi ketika mereka berempat sampai di tujuan. Tempat ini tidak terlalu banyak berubah, hanya lebih rimbun karena ditanami oleh beberapa pepohonan, mungkin supaya yang berkunjung lebih nyaman dan tidak merasa kepanasan ketika mengunjungi yang terkasih. Sudah 1 tahun setelah terakhir Xena berkunjung. Xena merasa bersalah karena selama ini selalu menghindar untuk datang.

Xena berjalan pelan, diikuti oleh ketiga temannya di belakang. Mereka yang sebelumnya riuh di perjalanan langsung diam setelah sampai ke tujuan. Memberikan Xena ruang sendiri.

Xena menghentikan langkahnya, menoleh kearah tiga temannya yang kemudian ikut berhenti. “Kalian nggak usah ikut juga nggak apa apa kok, tunggu di mobil aja, nggak akan lama.”

“Nggak apa apa Xen. Tapi, kalau lo lebih nyaman sendiri juga kita gapapa kok di mobil.” Jawab Haikal yang disetujui oleh anggukan Zara dan Nara.

“Santai, yaudah ayo. Bunda lebih seneng kalau banyak yang ngunjungin pasti.” Xena kemudian melanjutkan langkahnya. Dia diam, tapi pikirannya penuh. Banyak memori yang selalu terlintas tiap dia mengunjungi tempat ini. Yang indah dan yang buruk, semuanya berlalu lalang.

Bun, Xena pulang.” Ucap Xena dalam hati. Xena mengusap nisan bergores tinta hitam di hadapannya, kemudian bertumpu di atas tanah. Ketiga temannya berdiri di belakangnya, berdoa dalam hati.

Meski sudah mencoba untuk menahan, tetes demi tetes air mata mulai jatuh perlahan, mengaliri pipi Xena yang sedari tadi sudah merah.

Maaf Bun, maaf karena masih lemah.” Xena bergumam dalam hati, sambil terus mengusap pelan nisan dengan goresan nama Ibundanya. Berharap yang diajak bicara bisa mendengar dan merasakan.

Maaf Bun, maaf karena belum bisa jadi Xena yang kuat.”

Maaf juga karena Nana masih belum bisa maafin Ayah, Nana buat Bunda kecewa ya? Padahal Bunda selalu bilang untuk meluaskan hati dan membuat hati Nana penuh maaf.”

Maaf Bunda…semuanya masih berat buat Nana.”

Zara maju sebentar untuk memberikan tissue kemudian kembali ke posisi semula. Mereka bertiga hanya diam di belakang Xena, saling mengucap doa dalam hati masing-masing.

Dulu, waktu Bunda divonis kanker oleh Dokter, dunia Xena serasa runtuh. Xena kemudian menjadi saksi perubahan fisik Ibundanya, tubuh yang semula sehat dalam sekejap terlihat mengkhawatirkan. Setiap malam Xena selalu ketakutan, sekolah pun jadi tidak tenang, mungkin itu juga alasannya dia hanya mempunyai 4 teman di SMA. Dia tidak sempat bahkan untuk mencoba berteman dengan yang lainnya.

Xena masih ingat betul permintaan egoisnya pada Tuhan waktu itu, Xena ingin Ibundanya sembuh, Xena ingin Ibundanya hidup lebih lama daripada dirinya, kalau perlu ia saja yang mati saat itu. Xena tidak ingin ditinggalkan. Baginya, lebih baik meninggalkan daripada ditinggalkan, ia tidak ingin merasakan sakitnya. Namun pada akhirnya permintaan itu tidak dikabulkan, Tuhan lebih sayang Bunda.

Bunda gimana disana? Semoga Bunda baik. Nana kangen, Bun. Nana mau ketemu Bunda, main ke mimpi Nana, ya?

Bunda jangan sedih ya, tapi Nana mau jujur, Nana bingung sama hidup Nana, kok gini ya Bun? Nana masih hidup, tapi nggak merasa hidup.

Xena pernah baca dalam sebuah buku, katanya, banyak manusia yang dikubur saat tua namun sebenarnya sudah mati di umur 20-an. Dulu Xena tak begitu mengerti maksudnya, namun sekarang dia bisa memahami.

Hidupnya diambang. Dia masih hidup, tapi tak merasa hidup. Halfway dead, partially alive. Apa mungkin karena dia tidak bersyukur? Atau karena hidupnya memang berat dan dia belum bisa sepenuhnya kuat? Yang pasti, jiwanya bagai hilang sebagian sepeninggal Ibundanya.

Tapi Bunda selalu ingetin Nana buat jadi anak yang kuat kan Bun? Nana bakal berusaha lagi, supaya Bunda tenang dan senang disana.…pelan-pelan nggak apa-apa ya Bun? Ohya, Nana juga punya 3 sahabat baik, sekarang mereka ikut kesini…ikut doain Bunda.” Xena mengusap air matanya, kemudian mengangkat kedua tangannya lalu berdoa dengan khusyu, mengharapkan tempat terbaik untuk Bunda disisiNya.

Xena berdiri setelah selesai berdoa, Zara langsung merengkuhnya kemudian mendekapnya. Hatinya ikut sakit melihat Xena, dia turut menyaksikan jatuh bangun hidup Xena, segala kesulitan dan kesedihan yang ia lalui, dia tahu. Dia pun tahu pasti, kehilangan Bunda adalah patah hati terbesar bagi Xena.

Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi ketika mereka berempat sampai di tujuan. Tempat ini tidak terlalu banyak berubah, hanya lebih rimbun karena ditanami oleh beberapa pepohonan, mungkin supaya yang berkunjung lebih nyaman dan tidak merasa kepanasan ketika mengunjungi yang terkasih. Sudah 1 tahun setelah terakhir Xena berkunjung. Xena merasa bersalah karena selama ini selalu menghindar untuk datang.

Xena berjalan pelan, diikuti oleh ketiga temannya di belakang. Mereka yang sebelumnya riuh di perjalanan langsung diam setelah sampai ke tujuan. Memberikan Xena ruang sendiri.

Xena menghentikan langkahnya, menoleh kearah tiga temannya yang kemudian ikut berhenti. “Kalian nggak usah ikut juga nggak apa apa kok, tunggu di mobil aja, nggak akan lama.”

“Nggak apa apa Xen. Tapi, kalau lo lebih nyaman sendiri juga kita gapapa kok di mobil.” Jawab Haikal yang disetujui oleh anggukan Zara dan Nara.

“Santai, yaudah ayo. Bunda lebih seneng kalau banyak yang ngunjungin pasti.” Xena kemudian melanjutkan langkahnya. Dia diam, tapi pikirannya penuh. Banyak memori yang selalu terlintas tiap dia mengunjungi tempat ini. Yang indah dan yang buruk, semuanya berlalu lalang.

Bun, Xena pulang.” Ucap Xena dalam hati. Xena mengusap nisan bergores tinta hitam di hadapannya, kemudian bertumpu di atas tanah. Ketiga temannya berdiri di belakangnya, berdoa dalam hati.

Meski sudah mencoba untuk menahan, tetes demi tetes air mata mulai jatuh perlahan, mengaliri pipi Xena yang sedari tadi sudah merah.

Maaf Bun, maaf karena masih lemah.” Xena bergumam dalam hati, sambil terus mengusap pelan nisan dengan goresan nama Ibundanya. Berharap yang diajak bicara bisa mendengar dan merasakan.

Maaf Bun, maaf karena belum bisa jadi Xena yang kuat.”

Maaf juga karena Nana masih belum bisa maafin Ayah, Nana buat Bunda kecewa ya? Padahal Bunda selalu bilang untuk meluaskan hati dan membuat hati Nana penuh maaf.”

Maaf Bunda…semuanya masih berat buat Nana.”

Zara maju sebentar untuk memberikan tissue kemudian kembali ke posisi semula. Mereka bertiga hanya diam di belakang Xena, saling mengucap doa dalam hati masing-masing.

Dulu, waktu Bunda divonis kanker oleh Dokter, dunia Xena serasa runtuh. Xena kemudian menjadi saksi perubahan fisik Ibundanya, tubuh yang semula sehat dalam sekejap terlihat mengkhawatirkan. Setiap malam Xena selalu ketakutan, sekolah pun jadi tidak tenang, mungkin itu juga alasannya dia hanya mempunyai 4 teman di SMA. Dia tidak sempat bahkan untuk mencoba berteman dengan yang lainnya.

Xena masih ingat betul permintaan egoisnya pada Tuhan waktu itu, Xena ingin Ibundanya sembuh, Xena ingin Ibundanya hidup lebih lama daripada dirinya, kalau perlu ia saja yang mati saat itu. Xena tidak ingin ditinggalkan. Baginya, lebih baik meninggalkan daripada ditinggalkan, ia tidak ingin merasakan sakitnya. Namun pada akhirnya permintaan itu tidak dikabulkan, Tuhan lebih sayang Bunda.

Bunda gimana disana? Semoga Bunda baik. Nana kangen, Bun. Nana mau ketemu Bunda, main ke mimpi Nana, ya?

Bunda jangan sedih ya, tapi Nana mau jujur, Nana bingung sama hidup Nana, kok gini ya Bun? Nana masih hidup, tapi nggak merasa hidup.

Xena pernah baca dalam sebuah buku, katanya, banyak manusia yang dikubur saat tua namun sebenarnya sudah mati di umur 20-an. Dulu Xena tak begitu mengerti maksudnya, namun sekarang dia bisa memahami.

Hidupnya diambang. Dia masih hidup, tapi tak merasa hidup. Halfway dead, partially alive. Apa mungkin karena dia tidak bersyukur? Atau karena hidupnya memang berat dan dia belum bisa sepenuhnya kuat? Yang pasti, jiwanya bagai hilang sebagian sepeninggal Ibundanya.

Tapi Bunda selalu ingetin Nana buat jadi anak yang kuat kan Bun? Nana bakal berusaha lagi, supaya Bunda tenang dan senang disana.…pelan-pelan nggak apa-apa ya Bun? Ohya, Nana juga punya 3 sahabat baik, sekarang mereka ikut kesini…ikut doain Bunda.” Xena mengusap air matanya, kemudian mengangkat kedua tangannya lalu berdoa dengan khusyu, mengharapkan tempat terbaik untuk Bunda disisiNya.

Xena berdiri setelah selesai berdoa, Zara langsung merengkuhnya kemudian mendekapnya. Hatinya ikut sakit melihat Xena, dia turut menyaksikan jatuh bangun hidup Xena, segala kesulitan dan kesedihan yang ia lalui, dia tahu. Dia pun tahu pasti, kehilangan Bunda adalah patah hati terbesar bagi Xena.

Hari ini sesuai rencana mereka berkumpul di apartement Xena, Xena tahu niat baik teman-temannya—tidak ingin membiarkan Xena sendiri dalam lingkaran kesedihan. Xena sangat menghargai itu, terlepas dari dia yang tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan orang lain, ia merasa butuh ditemani sekarang.

“Dia balikin uang tiketnya gak Xen?” Tanya Zara setelah mereka selesai menonton Stand Up Comedy yang sebenarnya sudah ditonton berkali-kali, sampai rasanya Zara bisa dengan mudah menuturkan kembali setiap punch line-nya.

“Balikin, nih baru transfer.” Jawab Xena.

“Hah tai banget deh dia. Tetep aja tuh duit kebuang. Mangkanya lu sama gue harusnya, enak banget setan dapet lapak nyaman buat nonton Raditya Dika, nempatin tempat duduk lu berdua.” Nara menimpali, membuat Xena bergidik ngeri. “Jangan bawa-bawa setan!”

Mereka tertawa. Hangat. Xena selalu suka moment dia bersama teman-temannya. Cuma mereka yang Xena punya. Cuma mereka.

Di sela-sela keheningan, Xena tiba-tiba mengeluarkan suara, sembari menatap kosong kearah lantai. “Gue udahan…..gajelas banget hubungannya. Kayanya dari awal gue terlalu percaya dan terbuai. Kayanya dia juga gak bener-bener suka, mungkin kebawa suasana? Fallin’ love with the moments?

“Persahabatan gue yang dari SMP, jadi kaya gini cuma karena perasaan gak jelas. Harusnya gue gapernah setuju.” Lanjutnya, suaranya sedikit bergetar.

Bagaimanapun, kehilangan adalah hal yang paling ia benci di dunia—-tapi entah bagaimana ia selalu merasakannya, lagi dan lagi. Dan dari banyaknya kehilangan yang terjadi, rasa sakitnya masih terasa, ia tidak pernah benar-benar terlatih kehilangan.

Xena menceritakan semua yang ia dan Dean bahas melalui pesan teks pagi ini. Termasuk tentang Axel. Axel sendiri adalah sahabat baik Dean di kampus.

Setelah semua yang ada di kepala Xena tersampaikan, ketiga temannya diam. Zara mengelus punggung tangan Xena, Nara dan Haikal menepuk pelan pundaknya. Berusaha meyakinkannya kalau mereka ada, dan akan selalu ada. Mereka tahu pasti yang dibutuhkan oleh Xena saat ini bukanlah nasihat, bukan juga kata-kata penghibur, ia hanya ingin didengarkan.

“Besok mau ke Bunda?” Tanya Haikal kemudian.

“Iya kayaknya. Kalau kaya gini, emang bawaannya pengen cerita sama Bunda.” Xena menatap potret wajah Bundanya di dinding. Wanita yang tidak pernah luput dari pikirannya.

Rindu, Xena sangat merindukan Bundanya.

“Ayo, gue anter.” Ajak Haikal. Haikal memang tahu pasti yang dibutuhkan Xena saat ini adalah berjumpa dengan Bundanya, menumpahkan segala emosi dan keresahan.

“Gapapa? Jakarta-Bandung kan lumayan Kal?”

“Gapapa, nanti sekalian main. Kita refreshing. Penat juga gue dari kemaren berkutat sama rumus.”

“Gue ikut.” Seru Nara bersemangat.

“Gue juga.” Zara menimpali.

Xena tersenyum lebar. “Oke.”

Zara, Haikal, dan Nara adalah satu dari sekian anugerah yang diberikan pada Xena. Mereka berteman sejak SMA, masa dimana semuanya masih begitu menyenangkan. Dari banyak hal menyakitkan yang ada di hidupnya, Tuhan tak lupa menghadirkan hal baik yang seringkali membuatnya lupa kalau hidupnya tidak baik-baik saja.

Zara memiliki kepribadian yang sangat bertolak belakang dengan Xena, tapi entah bagaimana justru menjadi yang paling dekat, sedekat nadi, lebih dekat dari siapapun yang ada di dunia. Zara adalah orang yang straightforward, tidak suka berbasa-basi dan tidak segan menunjukan ketidaksukaannya akan suatu hal. Sedangkan Xena cenderung tidak enakkan—hal ini juga yang menjadi masalah bagi dirinya sendiri.

Haikal dengan segala misteri dalam kehidupannya jadi yang paling tertutup, tapi secara bersamaan paling hangat. Haikal adalah laki-laki yang seringkali mengejutkan orang disekitarnya, auranya mengintimidasi, tapi paling peduli. Ia akan menjadi orang pertama yang sadar dengan perubahan emosi seseorang—-ia akan jadi orang pertama yang berusaha mengalihkan topik pembicaraan dalam obrolan kelompok ketika melihat ketidaknyamanan dari orang yang bersangkutan. Dia adalah manusia paling peka dan hangat yang pernah Xena kenal. Pribadi yang seringkali membuatnya kagum.

Dilain sisi, Nara adalah yang paling unik. Ia bisa menjadi manusia paling bawel sekaligus paling pendiam. Suasana hatinya berubah secepat kilat. Ketika energinya penuh—-akan sulit untuk membuatnya diam. Yang mengejutkan, dibalik riuh pikuk seorang Naraja, ia adalah pendengar yang baik. Sangat baik. Tatapan matanya seakan berbicara, memberi ruang tersendiri bagi si pencerita untuk merasa nyaman dan diperhatikan.

Xena tahu pasti orang datang untuk kemudian pergi, semuanya perihal waktu. Tapi dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia berharap mereka akan jadi pengecualian dan bertahan untuk waktu yang sangat lama.

Tak ada kata yang bisa menggambarkan betapa gugupnya Xena saat itu. Sahabatnya—-sahabat yang sebenarnya juga ia sukai sejak lama tiba-tiba menyatakan perasaannya.

“Gue mau lu jadi masa depan gue Xen. Not as bestfriends, but as lovers.” Ucap Dean sesaat setelah Xena mengangkat teleponnya.

‘Is he being serious right now? But how? Kenapa tiba-tiba dia mikir gini?’ Pikirnya.

“But why?” Xena berusaha terdengar biasa saja, menutupi fakta dia yang gugup setengah mati sampai rasanya sulit mengeluarkan suara.

“Because I like you? Because I’m in love with you? Because I feel attached and attracted to you? Because I think you’re the right one for me? For my future?

Ini pertama kalinya. Pertama kali dalam hidup Xena yang sudah 22 tahun ia mendengar kata-kata seperti ini ditujukan padanya.

“Since when? Sorry I still don’t get it.”

“I don’t really know the exact time. All I know is I want you, Xen. Stop talking about me because my answer is clear already, right? So how about you? Your feeling?”

Faktanya, selama ini Xena memendam perasaan yang sama. Perasaan yang mungkin ia coba tahan sekuat tenaga mengingat Dean adalah sahabatnya. Sahabat yang mungkin hilang jika hubungan ini melibatkan perasaan.

Tapi Dean mengungkapkannya begitu mudah, membuatnya berpikir, ‘Apa dia sudah tau ya?’ ‘Apa persahabatan ini tidak sepenting itu ya? Sampai dia berani melawan batas dan mencoba peruntungan?’

“I don’t wanna lose my chance, I don’t wanna regret anything, that’s all, if that’s what bothering you. Dan ini bukan tiba-tiba, I’ve been thinking about it for months.” Ujar Dean seakan bisa membaca pikiran Xena.

Xena menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kikuk setengah mati. Bagaimanapun, ini kali pertamanya.

“Tapi Dean….”

“Kenapa? Jangan takut kehilangan gue Xen. Gue gak akan kemana-mana.” Dean memotong, nada bicaranya begitu meyakinkan, terlebih Xena merasa tahu betul kalau Dean tidak pernah asal bicara.

“I—actually like you too, I mean, like you as a man. I just, don’t wanna lose you so yeah.”

“So….can we take it to a new step of relationship now that we know we have the same feelings?” Dean made it so easy, membuat Xena sedikit ragu, tapi entah bagaimana, ada bagian dari dirinya yang mencoba percaya. Atau mungkin karena Xena juga memiliki perasaan yang sama dan tidak punya alasan untuk menolak ajakan dari Dean? Entahlah. Ia tidak memikirkan banyak kemungkinan, yang dia pikirkan hanya satu.

‘Mungkin setelah banyak membaca buku romance, ini saatnya gue ngerasain sendiri juga, waktunya gue untuk bareng sama soulmate gue. Mungkin setelah banyaknya pengharapan, gue akhirnya dapat gilirannya juga.’

“O-okay maybe we can try it?” jawab Xena kemudian dengan nada bicara yang lebih seperti pertanyaan.

Dari seberang telepon, Dean tersenyum lega. Ungkapan perasaannya diterima dengan baik.

Pada saat itu, pertama kali dalam hidupnya Xena merasakan rasa bahagia yang biasanya hanya bisa ia bayangkan. Rasanya dicintai dan diinginkan. Dia tidak percaya hari seperti itu akan datang, terlebih dengan orang yang selama ini juga dia inginkan. Hari itu, ia bahagia sampai menangis.

She’s that kind of girl who spends her free time reading romance books or watching romance movies. Smiling for things she hasn’t tasted herself. So would you blame a girl who never tasted the-feeling-of-being-loved before for believing? Would you blame her for believing the man who told her he loved her convincingly? Things that she’s been craving for years?

Pada saat itu juga, Dean merasa sudah menaklukan dunia. Orang yang dia inginkan untuk bersamanya juga menginginkannya. Terlepas dari apapun yang dia rasakan saat itu, yang ia tahu, ia bahagia.

Dan sejak hari itu, dua sahabat yang akhirnya tau perasaan masing-masing mencoba untuk mengenal satu sama lain lebih dekat, membentuk hubungan baru yang melibatkan cinta dan perasaan, mempersiapkan masa depan yang mereka pikir akan berpihak pada mereka.

Satu yang Dean sebelumnya tidak sadari, janji yang ia buat ketika sedang berbahagia bisa saja membawa orang lain ke luka hati paling dalam.