Matchareads

“Tempat spesial yang kamu maksud itu makam Bunda?” tanya Xena sembari tercengang ketika Ale membuka penutup mata yang sedari tadi menutupi pandangan Xena. Ale sengaja tidak memberi tahu Xena tujuan mereka, ia ingin memberi kejutan pada Xena.

“Yes, it is.” jawab Ale sembari mengangguk. Ia kemudian menggenggam tangan Xena, menariknya untuk ikut berjalan bersamanya. Mereka sama-sama bersimpuh di sebelah makam Bunda Xena. Makamnya bersih, dan pada nisannya juga bersandar sebuah bunga. Mungkin kemarin Ayahnya sempat datang, mungkin kemarin Ayahnya berbincang dengan Bundanya, memberitahu mendiang istrinya bahwa mimpi keluarga mereka sudah menjadi nyata—-melihat Xena menjadi penulis dan hidup dalam impiannya.

Tanpa bisa menahannya, air mata Xena kembali keluar. Ia mengucap maaf dalam hati kepada Bundanya, karena masih belum bisa menyapa dengan senyuman tiap datang ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Ale mengucap doa dalam hati, begitu juga dengan Xena. Setelah selesai dengan doanya, Ale mengubah posisinya menjadi menghadap Xena, ia kemudian menggenggam kedua tangan Xena. Senyum terlihat dari wajah Ale.

“Aku mau, tempat spesial ini juga punya kenangan manis buat kamu.” suara Ale mulai terdengar, Xena hanya diam, mendengarkan. Ale tahu betul bahwa tempat ini adalah tempat paling sedih bagi Xena. Ia tahu betul, betapa Xena merasa bersalah kepada Bundanya karena banyak menunjukkan tangis di sini. Pandangan Xena tak lepas dari mata Ale yang terasa berbicara. Matanya yang bulat dan hidup, yang seakan tak pernah lupa untuk ikut menunjukkan betapa ia sangat mencintai Xena.

“Aku mau Bunda kamu lihat senyum lebar kamu———yang mungkin, mungkin bakalan kamu keluarin di sini, kalau kamu udah tahu tujuanku.” ujarnya sembari sedikit menggoyangkan tangan Xena.

Ale kemudian melepaskan genggaman tangannya dan mengeluarkan sesuatu dari saku dalam kemejanya. Xena terkejut ketika menyadari benda yang ada di tangan Ale. Ale membuka kotak berwarna merah tersebut di hadapan Xena. Dalam hati Xena bertanya-tanya, kapan Ale sempat membeli cincin itu? Bahkan kemarin, ia pulang cukup larut dari apartemennya. Ale juga sudah datang ke apartemennya tepat pukul tujuh pagi hari ini.

“Di depan Bunda kamu, aku mau bilang. Hal yang paling aku syukuri setelah kenal kamu adalah kehadiran kamu dalam hidup aku. Itu udah cukup. Cukup buat aku bahagia.”

“Kamu dan Bunda kamu harus tahu, kalau kamu itu hadiah Tuhan yang selalu aku syukuri. Selalu aku ingin jaga, sampai selamanya, lebih dari abadi, kalau bisa.”

“Aku mau hidup sama kamu. Dalam bahagia, dalam sedih. Kita sama-sama tahu, selagi kita masih hidup di sini, sedih kayaknya nggak akan pernah habis. Sedih mungkin datang lagi, bergantian. Tapi aku harap, sedih nggak bisa misahin aku sama kamu.”

“Aku juga tahu, kita cuma manusia yang hidup dalam ketidakpastian. Hal-hal yang kita nggak pernah rencanakan bisa aja terjadi, tapi aku berdoa, aku dan kamu selamanya itu jadi pasti.”

Mata Xena mulai berkaca-kaca, bersamaan dengan mata Ale yang juga ikut berkaca-kaca.

“Aku mau hidup sama kamu. Aku terlalu sayang sama kamu, sampai rasanya aku ingin selalu jaga kamu, selalu sama-sama kamu, selalu bisa ada di samping kamu.”

“Aku terlalu sayang sama kamu, sampai aku nggak tahu lagi harus apa selain bertanggung jawab sama perasaan ini, dan hidup selamanya sama kamu, dalam ikatan yang semoga buat kita selalu bisa sama-sama.”

“Jadi, di depan Bunda kamu, aku mau minta izin sama Bunda kamu, untuk jadi suami kamu. Di depan Bunda kamu, aku mau minta izin sama kamu, untuk bisa terus sama-sama kamu. Aku sayang kamu, Alka Xena Zanitha. You’re too well tangled in my soul. You’re the only person I want to fall asleep next to. I wanna spend the rest of my life with you, So, will you marry me?”

Mereka berdua sudah sama-sama tahu jawabannya. Tapi Xena masih diam, ia ingin menikmati moment ini selama mungkin. Ale juga hanya diam, menatap Xena seakan tahu pasti Xena ingin merekam moment ini sebaik mungkin pada ingatannya. Mereka saling bertatap, hanyut dalam masing-masing pasang mata.

“Aku mau.” jawab Xena setelah lama diam, dengan senyuman paling lebar yang ia keluarkan hari ini.

Misinya berhasil, memunculkan senyuman bahagia Xena di tempat yang bagi Xena adalah tempat tersedih sedunia.

Dalam hati ia berharap, tempat ini akan memiliki makna yang berbeda bagi Xena setelahnya. Dalam hati ia berharap, tempat ini akan memiliki sedikit memori indah bagi Xena.

Ale membalas dengan senyuman yang tak kalah lebarnya. Ia lalu menarik tangan kanan Xena ke atas pahanya, memasukkan cincin ke dalam jari manis Xena.

Xena mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya, menatap cincin yang sudah terpasang manis di jarinya dengan senyuman lebar, bersamaan dengan matahari yang menyinarinya.

“Kenapa aku kayak kenal ya sama cincinnya?” tanyanya.

Ale tertawa, lalu tersenyum. Merasa puas karena Xena menyadarinya.

“Coba inget-inget.” jawabnya.

Xena terus memperhatikan cincin tersebut, sampai matanya berbinar terang setelah ingat. “Yang kita sempat lihat di mall sekitar dua tahun lalu nggak sih? Yang aku bilang, kalau aku nikah nanti, aku mau cincin yang persis kayak begini?”

Ale mengangguk, merasa senang karena Xena mengingatnya.

“Yaampun! Kamu belinya kapan?”

“Hari itu, pas kamu bilang kamu mau cincin persis kaya gitu kalau nanti nikah.”

Xena membelalakan matanya tak percaya, “Hah?! Itu kan kita baru pacaran 3 bulan deh?”

Ale tertawa melihat wajah Xena yang kaget. “Emangnya kenapa? Aku udah tahu kalau yang pengen aku nikahin itu kamu, jadi ya aku beli langsung. Kenapa harus nunggu-nunggu kalau aku udah tahu pasti cincin yang kamu mau kayak gimana?” jawab Ale.

Xena menggelengkan kepalanya. “You’re silly, but that’s actually sweet. Tapi kamu pede banget mikir akunya juga bakalan mau nikah sama kamu?”

Ale terkekeh mendengarnya. Ia mengeluarkan senyuman miring, balas menggoda Xena. “Buktinya, sekarang mau kan?”

Xena balas tertawa. “Okay I need to admit that you’re not pede for nothing.”

Xena dan Ale kemudian berdiri dan berjalan pelan meninggalkan makam Bunda Xena sembari berpegangan tangan.

“Jadi ini romantis yang kamu maksud? Di kuburan?” ujar Xena dengan nada bergurau.

Ale terkekeh.

“Dapet nggak, romantisnya?”

Xena tersenyum tipis tanpa menoleh kearah Ale. “Kamu siapin berapa lama tuh, speechnya? Emang kalau penulis lagu, speechnya bakalan sedalem itu, ya.” jawabnya, kali ini sembari tertawa kecil.

“Tadi malem aku mikir, tapi kayaknya yang tadi aku keluarin beda sama yang aku pikirin tadi malem. Ngeliat mata kamu bikin naskah di kepala aku buyar, ilang, aku ngeblank.” jawabnya, membuat Xena kembali tertawa. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya.

Xena menoleh kearah Ale yang berjalan di sebelahnya, mengayun-ayunkan tangan mereka yang saling berpegangan. “Makasih Ale, sekarang tempat ini resmi punya memori baik buat aku.” ujarnya.

Ale menjulurkan tangan kanannya ke kepala Xena, kemudian mengusapnya lembut. “Makasih kembali cantik, untuk ke sekian kalinya.” jawabnya.

Sudah ada begitu banyak moment yang mereka lalui bersama. Ada banyak sekali perasaan yang keduanya juga rasakan bersama-sama.

Ada kalanya sedih datang kepada Xena, lantas Ale datang untuk menenangkannya. Ada saatnya juga sedih datang kepada Ale, dan pada saat itu Xena yang bergantian untuk meyakinkannya kalau semua akan baik-baik saja pada akhirnya.

Banyak bahagia yang mereka bagi bersama-sama, tawa dan senyum yang juga ikut menghiasi setiap langkah mereka.

Ada begitu banyak doa yang mereka ucapkan dalam hati. Doa tiap malam yang mereka harap akan mencapai langit dan menjaga mereka berdua di dunia.

They know for sure, love is never safe for everyone, including them. They also know, there are too many uncertainty in this world. But they’re willing to take that risk. They’re two people who dare to fall in love, that deep.

Once again, she can’t thank God enough for closing those doors. It’s worth it. Because look what she gets: Ale Madheva, True Love, and Peace.

And once again, he can’t thank God enough for that one -life-changing-moment- of his life. Because look what he gets: Alka Xena Zanitha, True Love, Peace, and Happiness.

“Kita harus ucapin banyak terimakasih sama instagram deh.” ucap Ale tiba-tiba sesampainya mereka di depan mobil.

“OHYA!! Instagram bener-bener punya jasa besar. HAHAHAHAHA.” jawab Xena sembari tertawa.

“I’m glad Instagram does exist. But most of all, I’m glad you exist.”

Menakjubkan sekali cara alam raya bekerja. Berawal dari lagu yang menyentuh hati Xena, kemudian pesan-pesan instagram yang Xena kirimkan kepada penyanyinya, jari Ale yang tak sengaja membuka pesan dari Xena, balasan singkat yang Ale kirimkan pada Xena—-hal-hal sederhana yang pada akhirnya membawa keduanya pada cinta yang nyata.

Menakjubkan sekali cara alam raya bekerja. Selalu ada pintu baru yang terbuka, bagi siapapun yang berhasil menerima. Selalu ada bahagia yang tersedia, bagi mereka yang mau percaya.

Bagi Xena, kepergian dan kedatangan seseorang selalu menjadi misteri kehidupan yang unik. Kita semua tidak akan pernah bisa menebaknya. Semuanya bisa terjadi di luar rencana. Terbukti, dengan kepergian Dean dalam hidupnya yang tak pernah ia sangka akan terjadi sebelumnya, juga dengan kedatangan Ale—yang bahkan dulu terasa sangat di luar jangkauannya—kedalam hidupnya. Semuanya misteri. Misteri yang ketika dipahami hikmah dibaliknya, ternyata selalu menjadi rencana yang indah.

When one door closes, another opens. Xena seringkali mengulang kalimat tersebut dalam benaknya, meyakinkan dirinya bahwa setiap hal buruk yang terjadi, bisa jadi membuka jalan baru bagi hal baik lain untuk datang. Karena baginya, kehidupan adalah perihal menerima. Menerima hal buruk, menerima hal pahit, menerima hal yang tidak direncanakan, hingga akhirnya penerimaan tersebut membawanya kepada banyak hal baik yang menanti.

Ale tersenyum lebar menatap Xena yang masuk ke dalam mobilnya dengan dress berwarna putih selutut dan rambut yang digerai. Cantik, baginya Xena selalu cantik.

“Pagi sayang, how was your sleep? I had a super good sleep last night.” sapa Ale.

“I had a good one as well. Thanks to you.” jawab Xena sembari tersenyum. Salah satu hal manis dari Ale yang Xena sukai adalah bagaimana ia selalu mengelus pipi Xena lembut sembari menyapa Xena dengan sapaan hangat sesaat setelah Xena masuk ke dalam mobilnya dan duduk di kursi sebelahnya. Hal kecil yang bagi Xena manis sekali.

“Tadi malam aku baca lagi buku kamu. Aku beneran suka banget deh. Aku nggak pernah nyangka, mimpiku buat jadi penulis nggak terwujud. Tapi aku malah dapat pacar penulis yang nulis tentang aku.” ucap Ale sembari tertawa kecil.

Xena terkekeh kemudian mengangguk. “Aku sebelumnya nggak pernah berencana untuk nulis novel romance loh Le, tapi aku pengen kamu abadi aja, abadi di tulisan aku. Aku pengen orang-orang tahu ada laki-laki sebaik kamu. Aku pengen cewek-cewek yang udah nggak percaya cinta percaya lagi, kalau masih ada cinta yang baik di dunia ini. Aku pengen kenalin kamu ke dunia.”

Ale benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. How can someone be this sweet? Ia tidak tahu harus berapa kali mengatakannya, tapi dia benar-benar merasa beruntung atas kehadiran Alka Xena Zanitha dalam hidupnya.

“Makin aku baca bukunya, makin aku jatuh cinta sama isi kepala kamu, Na.” Ale mengulurkan tangannya, mengelus kepala Xena dengan lembut. “Yang ada disini, itu indah banget, kamu tahu?” ujarnya sembari menepuk-nepuk kepala Xena pelan dengan telapak tangannya.

“Kamu keren, selalu keren, aku beneran mau dukung kamu nulis seumur hidup aku.” Ale mengulas senyum dan menatap Xena tepat di matanya, matanya yang berwarna gelap dan cantik, mata yang selalu membawa tenang tiap Ale menatapnya. Gadis itu balas menatapnya dengan pandangan yang terlihat bahagia sekaligus haru. “Tahu kalau kamu suka bukunya, bikin aku seneng banget.” jawabnya.

Ale mengikis jaraknya dengan Xena, kemudian mencium pipinya, dalam namun lembut. “You did a good job. I mean it.” ucapnya, membuat Xena tak kuasa untuk menahan senyum lebarnya.

Kali ini giliran Xena yang mendekat, membuat Ale sedikit terperangah, ia kemudian mencium pipi Ale sama lembutnya. “I’m glad you like your gift.” bisiknya.

Gelak tawa terdengar dari bibir Xena ketika melihat Ale hanya terdiam dengan mukanya yang tegang. “Kamu kenapa?” tanya Xena.

“You always know how to make me nervous, huh?”

Xena kembali tertawa. Tawa yang selalu membuat Ale ikut tertawa. Tawa yang selalu berhasil membuat jiwanya menjadi lebih ringan.

“Oke, udah siap?” tanya Ale setelah mereka selesai dengan tawa mereka. Sebenarnya, Xena mungkin tidak akan pernah siap, tapi ia manggut-manggut kemudian mulai membuka tasnya dan mengeluarkan sepucuk surat dalam amplop cokelat yang kemarin Ayahnya berikan. Surat yang ternyata pernah Bunda Xena titipkan pada Ayahnya untuk Xena. Xena sengaja membawanya karena dia sudah berencana untuk membaca surat tersebut berdua dengan Ale. Xena merasa, ia tidak akan sanggup jika harus membaca surat tersebut sendirian, maka kemarin Ale menawarkan diri untuk menemaninya.

Tangan Xena sedikit gemetar ketika hendak membuka amplop cokelat tersebut, Ale yang melihatnya langsung menggenggam tangan Xena, meyakinkannya kalau ia akan baik-baik saja, mengingatkannya kalau Ale ada bersamanya. Setelah amplop tersebut terbuka, Xena mulai membuka surat tersebut dan membacanya bersama dengan Ale yang ada di sebelahnya.

September, 2016

Halo, Nana anak Bunda.

Kalau kamu baca surat ini, berarti salah satu doa Bunda untuk kamu sudah terkabul. Doa yang Bunda pernah harapkan akan diaminkan seluruh semesta. Doa yang bunda harapkan, akan terus mengaung meski Bunda sudah tidak ada di dunia ini. Selamat ya, Nak. Kamu berhasil mewujudkan salah satu harapan kamu, dan harapan Bunda untuk kamu juga.

Banyak hal yang buat Bunda khawatir di dunia ini. Tapi untuk saat ini, ada satu hal yang sangat mengganggu pikiran Bunda. Bunda khawatir, setiap membayangkan kamu harus tumbuh tanpa Bunda. Bunda khawatir, setiap membayangkan kamu akan sedih berlarut-larut karena Bunda. Bunda khawatir, Bunda akan pergi meninggalkan luka yang dalam buat kamu. Jadi setiap hari, Bunda selalu berdoa, semoga meskipun Bunda sudah nggak ada di dunia ini, banyak kebahagiaan akan menyertai hidup kamu, banyak kebaikan yang akan mengiringi langkah kamu, dan banyak manusia baik yang akan menemani kamu tumbuh.

Bunda berdoa, semoga dalam hati Nana tumbuh banyak kebaikan. Bunda berdoa, luka yang Bunda goreskan nggak akan membuat hati Nana mati. Bunda berdoa, hidup Nana tetap dilimpahi oleh banyak harapan dan semangat.

Dan dengan kamu membaca surat ini, Bunda yakin, doa Bunda berhasil dikabulkan Tuhan dan direstui semesta. Selamat, Nak. Kamu berhasil mewujudkan mimpi kamu untuk menjadi penulis. Bunda mungkin nggak ada di sisi kamu untuk mengucapkan selamat secara langsung, tapi kamu harus tau kalau Bunda turut senang, dan Bunda sangat bangga. Bunda selalu bangga punya Nana. Bunda selalu bangga sama Nana.

Ada lagi satu harapan Bunda untuk Nana, semoga Nana dipertemukan dengan laki-laki yang baik. Laki-laki yang akan menggantikan peran Ayah untuk melindungi kamu. Laki-laki yang dikirim Tuhan untuk menjadi pasangan dalam hidup kamu. Maafin Bunda ya Nak, harus pergi duluan. Sampaikan juga maaf dari Bunda pada laki-laki itu kalau kamu sudah menemukannya, maaf karena tidak bisa menyapanya secara langsung. Dan sampaikan terimakasih juga, terimakasih sudah membersamai langkah Nana. Bunda mendoakan kalian berdua, agar tetap bahagia bersama. Dan lagi, Bunda berdoa, semoga doa Bunda tetap mengaung meskipun raga Bunda sudah tidak ada di dunia.

Nana, Bunda tidak pernah benar-benar pergi. Bunda tidak pernah benar-benar lenyap. Bunda selalu ada, selama kamu masih mengingat Bunda. Bunda selalu ada, selama Bunda masih ada di hati Nana. Semoga kita bisa bertemu lagi di tempat yang lain, di tempat yang baik, dengan tetap menjadi Ibu dan anak.

Bunda yakin Nana anak yang kuat. Nana anak spesial yang dilimpahkan beban kehilangan oleh Tuhan. Beban kehilangan yang semoga akan membuat Nana lebih memaknai kehidupan. Nana harus selalu ingat, kalau Bunda selalu ada di sekitar Nana. Meskipun Nana nggak bisa lihat Bunda. Meskipun kita nggak bisa saling bertegur sapa. Meskipun raga Bunda nggak bisa lagi memeluk Nana, tapi Bunda selalu ada sama Nana, Bunda mau Nana ingat itu, sampai nanti kita ketemu lagi, di tempat lain yang baik.

Terimakasih Nana, sudah lahir menjadi anak Bunda. Bunda sayang Nana melebihi Bunda sayang siapapun di dunia ini. Semoga doa Bunda terus mengaung di dunia, menyertai banyak langkah Nana.

16 tahun bersama Nana adalah masa paling indah Bunda di dunia ini.

Bunda sayang Nana, selamanya.

Kartika Estheria Selamanya Bunda Nana

Tubuh Xena bergetar hebat bersamaan dengan matanya yang mulai mengeluarkan air mata.

Ternyata Bundanya menyiapkan ini semua, Bundanya sungguh memiliki keyakinan yang besar kalau ia dapat mewujudkan mimpinya. Bundanya benar-benar memastikan akan hadir dalam moment-moment baik hidupnya.

Ale merengkuh Xena ke dalam dekapannya, memeluknya erat sembari mengelus punggung Xena. Ia bisa merasakan sakit yang Xena rasakan. Ia turut merasakan kerinduan Xena terhadap Bundanya yang amat besar.

“It’s okay, cry your heart out.” ujar Ale yang membuat Xena semakin terisak. Mendengar isakan Xena, Ale tak kuasa untuk tak ikut mengeluarkan air mata. Matanya mulai basah, namun ia tetap berusaha untuk terlihat tenang, ia harus menjadi tameng Xena saat ini.

“Aku kangen Bunda.” ucap Xena sembari terisak.

“I know.” jawab Ale, masih sambil mengusap-usap punggung Xena menenangkan. Ia mengeratkan pelukannya, kemudian mengecup kepala Xena.

“Bunda kamu Bunda yang baik. Bunda kamu pasti sekarang ada di tempat yang juga baik.” ujar Ale lagi, berusaha menenangkan.

Xena kembali menangis, kali ini makin kencang. Jika saja ia bisa mengembalikan waktu, ingin sekali rasanya ia merasakan pelukan hangat Bundanya sekali lagi. Rindunya teramat besar. Sampai rasanya, hal tersebut akan terus menjadi luka dalam hidupnya yang tidak akan pernah benar-benar sembuh.

“Doa Bunda kamu beneran mengaung di dunia ini. Doa Bunda kamu masih ada sama kamu. Aku yakin, Bunda kamu juga selalu disini sama kamu.”

“Bunda kamu bangga sama kamu, Na.”

Xena makin membenamkan kepalanya di dada Ale, tubuhnya masih bergetar, membuat Ale semakin mengeratkan pelukannya.

“Maaf—-maaf karena a——ku jadi lemah la—-gi seka—-rang.” Ujar Xena sembari terbata.

“Ssshhh, no, you don’t have to say sorry for that.” Ale melepaskan pelukannya kemudian menangkup pipi Xena dengan kedua tangannya.

“Sekarang kamu lihat aku, kamu bisa keluarin semua isi hati kamu sama aku. Kamu bisa cerita semuanya sama aku. Kamu bisa jadi lemah juga sama aku. Kamu bisa keluarin emosi kamu sama aku. Aku disini, oke?”

Xena kembali memeluk Ale, ia menangis cukup lama dalam dekapan Ale. Pagi itu, adalah pagi yang hangat sekaligus sendu bagi mereka berdua.

“I have something for you, actually.” ujar Ale setelah Xena sudah cukup tenang. Xena hanya diam, memperhatikan Ale yang mulai memasukkan sebuah cd kedalam cd player dalam mobilnya.

Alunan suara piano yang pelan dan lembut mulai terdengar, Xena memejamkan matanya ketika mulai mendengar suara Ale yang bernyanyi. Dari situ ia tahu, ini adalah lagu lain yang Ale buat untuknya.

“We’ve seen many things, but that wasn’t enough. We’ve been through many places, but I hope we could do that more. But we’re two worlds apart, we’re two worlds apart So are you up there? Please just tell me you’re doing fine So are you seeing me from up there? Please give me a sign Sometimes I can still see your shadow But time to time it came out even more blurry I’m starting to forget the way you sound Starting to forget the way you talk I miss you, I don’t know what else there is to say But I hope you’re doing fine I hope you’re seeing me from up there Until we meet again, until we meet again”

Xena masih terisak bahkan setelah lagu berhenti terdengar. Ale kembali memeluknya, membenamkan Xena dalam dekapannya.

“Kamu ingat nggak kamu pernah minta sama aku untuk buat lagu sedih?” Xena mengangguk, gerakan kepalanya terasa di dada Ale. Ale mengelus belakang kepala Xena. “Ini lagunya, aku sengaja buat untuk kamu. Buat Bunda kamu juga.”

Xena manggut-manggut lagi, ia ingat betul saat dimana ia harus pergi ke rumah sakit untuk mengantar Haikal. Ia ingat betul saat dimana ia melihat Ale tanpa sengaja. Ia ingat dengan jelas, dulu mereka tidak lebih dari sekadar penggemar dan idolanya, Ale bahkan sama sekali tidak mengenalnya.

Ia juga ingat ketika ia mengirimi Ale DM Instagram dan secara tidak langsung memintanya untuk membuat lagu sedih yang dapat menemaninya menangis. Dulu, tidak pernah sekalipun ia memikirkan Ale akan membaca pesan tersebut. Dulu, tidak pernah sedikitpun ia berpikir mereka akan menjadi seperti sekarang.

Xena tersenyum tipis, terharu dengan cara kerja alam raya. Tidak hanya membuat lagu sedih, Ale bahkan membuat lagu sedih khusus untuknya, sekaligus membagi peluknya ketika ia menangis karena lagu yang dibuatnya.

“Kamu bisa nangis pakai lagu ini. Nggak apa-apa untuk sedih kadang-kadang. Tapi aku buat lanjutan dari lagu ini.”

Ale kembali memasukan cd lain ke dalam cd playernya. Setelah suara Ale terdengar lagi, Xena memejamkan kedua matanya.

“When the world is trying to bring you down I hope you know how loved you are When the world is trying to be hard and cold I hope you remember how loved you are”

Air mata Xena keluar dari matanya yang terpejam. Ale menggenggam kedua tangan Xena, mengusapnya dengan ibu jarinya.

“I know sometimes it’s tiring I know sometimes it’s hard So put your head on my shoulder You can cry on my shoulder” I will wipe your tears away Just put your head on my shoulder That’s why I’m here for”

Ale menarik Xena untuk mendekat, Xena mengistirahatkan kepalanya di pundak Ale, melanjutkan tangisnya.

“You can be sad, it’s okay to be sad. And you can be sad with me. You can cry on my shoulder.” bisik Ale lembut. Xena kembali menangis, kali ini bersamaan dengan seulas senyum yang ia keluarkan.

Untuk ke sekian kalinya, Xena tak berhenti mengucap syukur dalam hati karena memiliki Ale di sisinya. Untuk ke sekian kalinya, ia berdoa dalam hati agar banyak hal baik datang ke kehidupan Ale, sebagaimana ia memberikan banyak hal baik pada hidupnya yang sempat sunyi. Untuk ke sekian kalinya, ia berdoa agar Tuhan mengizinkan mereka bersama untuk waktu yang lama, ia berharap Ale Madheva akan ada dalam hidupnya untuk waktu yang sangat lama. Melebihi abadi, jika bisa.

Ale berpikir, setiap orang pasti memiliki setidaknya satu titik dalam hidupnya yang mengubah banyak hal. A life changing moment. Sebuah titik yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan, yang menciptakan keadaan sebelum dan sesudah. It could be something cool, something wonderful, something beautiful, and it could also be something tragic. A moment that changed you, and changed your life. A moment that changed the way you see life.

Keputusannya untuk mengunggah videonya yang sedang bernyanyi di youtube mungkin adalah salah satu contohnya, sebuah titik kehidupan yang membuatnya melihat dunia dari sisi yang lain, membuatnya mendapatkan mimpi yang baru.

Dan bagi Ale, keputusannya untuk membalas DM Instagram dari Xena adalah salah satu life changing moment lain dalam hidupnya. Keputusan tersebut membawanya kepada Xena, pertemuan mereka yang aneh membuat mereka mendapatkan kisah romansa yang membawa ketenangan dan banyak kebahagian bagi mereka berdua. Hal-hal yang terjadi setelahnya terasa berbeda. Sejak mereka bertemu, Ale memandang cinta dengan cara yang berbeda. Sebelumnya, ia sudah bahagia dengan hidupnya. Tapi sejak bertemu Xena, hingga akhirnya mereka bersama, he feels even more content with happiness. And now that he gets to taste how life is with Xena, He can’t even imagine how life will be without Xena. He really wants her to stay around for a very long time, and by a very long time he means forever.

Membaca novel yang khusus Xena buat untuk Ale dengan Ale sebagai karakter utama membuatnya merasakan banyak perasaan. Jenis rasa yang mungkin tidak bisa ia ketahui jika tidak bertemu Xena.

Tak butuh waktu lama bagi Xena untuk membuka pintu setelah ia membalas pesan Ale. Dan sesaat setelah pintu terbuka, Ale langsung berjalan cepat menghampiri Xena dan membawa Xena ke dalam pelukannya. Ale mencium puncak kepala Xena, melepaskan pelukan mereka sesaat untuk mencium pipinya lembut, kemudian kembali memeluk Xena erat. Ale hanya memakai kaos putih polos dan celana pendek, dengan rambut yang sedikit berantakan, membuat Xena percaya kalau Ale benar-benar ingin bertemu dengannya secepat yang ia bisa setelah ia selesai membaca buku tersebut.

“Kamu hebat. Hebat banget. Aku bangga banget. Kamu hebat.” bisiknya, membuat mata Xena berkaca-kaca mendengarnya. After all, hearing those words when you feel like you wasn’t doing enough always feels nice, it feels warm. Setiap mengeluarkan novel, ia selalu khawatir terhadap pendapat orang mengenai tulisannya, meski menulis adalah hal yang ia sukai, tidak bisa ia pungkiri beberapa kali ia merasa cemas karena tulisannya.

Mereka diam dalam posisi itu cukup lama. Hingga akhirnya Xena melepaskan pelukan mereka kemudian mengelus pipi Ale lembut. “Kamu dari kapan di luar? Kenapa nggak langsung masuk aja? Kamu pasti nunggu lama di luar ya?” tanyanya penasaran.

Ale hanya menggeleng pelan. “Doesn’t really matter. And I just didn't want to wake you up.”

Ale kembali merengkuh Xena dan mendekapnya, rasanya hal yang ia inginkan saat ini adalah berada sedekat mungkin dengan Xena.

“Aku baru bangun banget, masih berantakan.” ujar Xena kemudian. Ale melepaskan pelukan mereka kemudian menangkup pipi Xena dengan kedua tangannya. “Hmm. Let me see.” ujarnya sembari menggerakan wajah Xena ke kanan dan ke kiri. “Still pretty.” ujarnya lagi. Membuat Xena tersenyum malu. From all these, she knows he is crazy in love with her, just like how she is crazy in love with him. She can understand because she also feels the same way, seeing him with that messy hair still makes her think that he is the most handsome man alive.

They’re crazy in love, and they’re madly in love, and all they want is for things to work for both of them.

Setelahnya, mereka saling bertatap. Ale mengelus lembut kepala dan rambut Xena, merapihkan rambut Xena yang masih berantakan karena belum sempat menyisir. Xena tersenyum. “Happy birthday.” ucapnya. Saking bahagianya Ale semalam, saking bahagianya Ale pagi ini, ia sampai lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ale kembali memeluk Xena. Menyandarkan dagunya di bahu Xena. “God, I love you so much.” ucapnya. Xena bisa merasakan rahang Ale yang bergerak di bahunya seiring dengan kata-kata yang terlontar dari mulutnya.

“Happy birthday, aku udah berdoa tadi malam, dan tadinya aku mau berdoa banyak pagi ini, tapi kamu keburu dateng. Tapi, selamat ulang tahun sayang.”

Ale mencium lembut kening Xena kemudian kembali menariknya untuk mendekat, enggan melepas dekapan mereka. “Makasih sayang, for everything. You know what, selain terharu karena kamu nulis tentangku. Aku juga terharu karena kamu mau kasih tahu identitas Sweet Cakes ke keluargaku.”

“Keluargaku juga.”

Ale tersenyum, matanya mulai memanas dan berkaca-kaca. Ia kemudian memeluk Xena makin erat, menciumi puncak kepalanya beberapa kali.

“Thank you.” ujarnya lembut.

Mereka yang berpelukan dalam waktu yang lama akhirnya membuat Xena cukup pegal. “Aku udah mulai pegel, ayo kita duduk aja.”

“Duduk sambil pelukan.” Xena hanya tersenyum mengetahui sisi clingy Ale mulai keluar.

“Okay, tapi sambil duduk.” jawabnya.

“Iya.”

Mereka kemudian berjalan menghampiri sofa coklat, dengan Ale yang enggan melepas genggaman tangannya dengan Xena, seakan jauh dari Xena 1 cm saja akan melukai hatinya.

Sesaat setelah mereka duduk, Ale kembali memeluk Xena. Lama. Sampai Ale berdeham, mengumpulkan keberaniannya untuk mulai bertanya hal yang jadi pertanyaannya setelah membaca buku Xena. Ia kemudian membuka suara. “Anyway, halaman terakhirnya, is that a sign for me?” ia menoleh kearah Xena, menatapnya penuh tanya sekaligus penuh harap.

Xena diam sebentar sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk. Membuat Ale membelalakan matanya. “Are you sure?” tanyanya lagi.

Xena mengangguk. “You said to me that If I already decide that I want to marry you, I can give you a sign because you always want to marry me and you want to wait for me, and yes that’s my sign.”

Ale kembali membelalakan matanya, membuat Xena tertawa kecil. “Just so you know, I always want to marry you too, sorry for making you wait a little longer.” ujar Xena, membuat Ale tersenyum dengan sangat lebar.

“No. It’s really worth the wait. Jadi Na, aduh, bentar.” senyum enggan lepas dari wajah Ale, Ale sadar betul ia pasti terlihat bodoh sekarang karena salah tingkah. Xena tertawa melihat Ale yang seperti kehilangan kontrol atas dirinya.

“Jadi, kamu bakalan jadi istri aku?” Xena mengangguk kemudian tersenyum, membuat senyuman di wajah Ale semakin melebar. At this moment, she feels even more loved, never in her life she imagined that the idea of marrying her would bring this much joy to someone else’s face.

Ale kembali menenggelamkan Xena kedalam dekapannya. “Ayo kita nikah. But no, I’m not proposing right now.”

Xena melepaskan pelukan mereka kemudian mengangkat sebelah alisnya penuh tanya. “What do you mean?”

“Not now, not here, not me in this short not me in this messy hair. I have better plan. Tapi, ayo kita menikah. I’m not proposing, but I’m proposing, but I’m not proposing, just want to make sure you know damn well that I’m so ready to get enganged, I’m so ready to marry you. But I’m not proposing, not now, not here.” ujarnya tanpa jeda.

“You’re silly.” jawab Xena sembari menggelengkan kepalanya. Ia lalu tertawa, membuat Ale ikut tertawa bersamanya. Ale kemudian mengusap pipi Xena dengan tangan kanannya. “Thank you. I’m so in love with you, I hope you know how much.”

“I know.”

“I will make it more romantic, I swear.”

“You don’t have to.”

“I insist. So please, don’t think of it as me proposing you, okay? I can do better than this.”

Xena tertawa kemudian mengacak-acak rambut Ale, membuat rambutnya yang sudah berantakan semakin terlihat berantakan. “Okay.”

Setelahnya, mereka hanya duduk, menikmati moment pagi sembari saling berpegangan tangan seakan tidak mau jauh barang satu sentipun dari satu sama lain. They are at peace by simply being next to each other. Xena merasa seperti dirinya dengan Ale, begitu juga dengan Ale yang merasa seperti dirinya bersama Xena.

Xena tersenyum kepada dirinya sendiri. Dia adalah wanita yang berani percaya lagi, dia adalah wanita yang berani jatuh cinta lagi. And she loves that fact. She loves the fact that she gave herself a try. She loves the fact that she tried to be brave. She loves the fact that she bravely put herself in a position to fall in love with Ale. Being in love with Ale is like reading the first paragraph of a book and know it right away that book will be her favorite. She doesn’t regret a single thing. In fact, she’d regret a thing if she chose not to fall for him. He made it easy for her to open her heart again, and she can’t be even more thankful.

Dan bagi Ale, jatuh cinta dengan Xena adalah one of the best things ever happened to him. Perasaan cinta yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan akan ia rasakan. Perasaan cinta yang tidak pernah ia sangka akan membuat hatinya sehangat dan sebahagia ini. Cinta yang tidak menuntut, tapi menenangkan. Cinta yang membuat mereka sama-sama bertumbuh, kearah yang lebih baik. Cinta yang menyemangati setiap perjalanan hidupnya.

Mereka berharap, mereka benar-benar diciptakan untuk bersama. Mereka sama-sama berdoa, things won’t make them separated.

“Let’s stay together forever, shall we?” ujar Ale, membuat Xena mengangguk. Ia kemudian kembali menghapus jaraknya dengan Ale, memeluk tubuhnya erat. “Forever, me and you.”

“3 bulan yang lalu, gue cerita ke istri gue. Gue udah makin tua, temen gue makin sedikit, tapi gue punya banyak cerita yang pengen gue obrolin ke orang-orang, gimana ya caranya? Terus dia bilang, kamu kan comedian, dikenal, followersnya banyak, kamu jual tiket aja, biar orang bayar buat dengerin kamu curhat. Terus gue bilang, mana ada orang segoblok itu?”

Raditya Dika yang berdiri di atas panggung memberhentikan sejenak pembicaraannya, memberi waktu untuk penonton yang sudah memenuhi Gedung Istora Senayan untuk tertawa. Xena, Ale, dan rombongannya ikut tertawa terbahak-bahak. Ale menengok kearah Xena, menikmati tawa Xena yang berada di sebelahnya. Xena ikut menoleh, membuat mereka yang saling bertatapan tertawa makin kencang.

“Dan sudah ada di ruangan ini orang-orang goblok ya. Cuman sekali insta story loh, langsung sold out, betapa bodoh dan tidak punya waktu ya kalian, ya?”

Suara tawa penonton kembali memenuhi seisi Gedung, kali ini diiringi dengan tepuk tangan yang tak kalah riuhnya.

“Dan kemarin-kemarin, ada yang lucu. Ternyata ada satu pasangan yang menambah populasi orang goblok itu.”

Ale dan Xena yang menyadari bahwa yang dimaksud oleh Raditya Dika sang Stand Up Comedy-an adalah mereka berdua langsung nyengir saling tatap. Zeta, Haikal, Zara, Nara, dan kedua orang tua mereka ikut tertawa. Nara yang duduk di sebelah Ale menepuk-nepuk pundak Ale, begitu juga Zeta yang berada di sebelah Xena yang langsung memberi reaksi dengan meremas tangan kiri Xena.

“Buat Ale dan Xena, kalian duduk dimana ya? Coba kalian berdiri.” ujar Raditya Dika sembari sedikit meyipitkan matanya, berusaha menembus cahaya lampu sorot yang diarahkan padanya, menelusuri bangku penonton untuk mencari keberadaan Ale dan Xena yang membuat sebulan belakangan ini Stand Up Comedy kembali ramai dibicarakan. Rombongan Ale dan Xena ikut heboh menyertai mereka yang beranjak dari duduknya. Lampu sorot yang sebelumnya mengarah ke panggung langsung berpindah ke tempat mereka sekarang berdiri. Penonton yang sebelumnya memusatkan perhatiannya ke panggung langsung menoleh, kemudian bertepuk tangan.

Detak jantung Xena menjadi lebih cepat memikirkan semua perhatian yang tertuju padanya. She’s excited and feeling kinda awkward at the same time. Ale yang menyadari bahwa Xena merasa sedikit resah atas semua perhatian ini langsung menjulurkan tangannya, menggenggam tangan Xena yang berada di sebelahnya dengan erat. Ibu jarinya mengusap-usap punggung tangan Xena, berusaha mengingatkan bahwa ia tidak sendiri di tengah keramaian ini. Xena ikut mengeratkan genggaman tangan mereka, kemudian tersenyum lega karena detak jantungnya perlahan kembali beranjak normal.

“Nah ini, keren kalian. Makasih ya, udah mendatangkan lebih banyak orang goblok lainnya.”

Xena dan Ale yang masih berdiri tertawa. “Tapi jangan merasa spesial, ini gue mau Stand Up Comedy lagi bukan karena kalian, kebetulan aja lagi pengen cerita.” Ale dan Xena mengacungkan jempol mereka, kemudian tertawa. Panitia acara memberikan microphone kepada keduanya, mereka kemudian berbincang dengan Raditya Dika dari posisi mereka. Setelahnya, Ale dan Xena kembali duduk di bangku mereka.

“Thank you.” bisik Xena.

“For what?”

“For holding my hand, it helped me. Jadi pusat perhatian kaya gitu gak begitu menakutkan juga, kalau ada kamu.”

Ale tersenyum, tangannya masih menggenggam tangan Xena. “I love holding these hands.” jawabnya, kali ini ia menggenggam tangan Xena dengan kedua tangannya.

“Let’s enjoy the show, it’s your day.” bisik Ale lagi. Xena tersenyum, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Raditya Dika yang mengeluarkan materi demi materi.

Pada sela-sela tawa yang mereka bagi bersama di acara Stand Up Comedy ini, Xena menyempatkan diri untuk menoleh kearah semua orang-orang penting dalam hidupnya yang ikut menonton bersamanya. Ia perhatikan lekat-lekat Zeta yang tertawa terbahak-bahak di sebelah kirinya sembari sesekali memukul pelan paha Xena, sinar mata Zeta sungguh hidup, tanpa perlu Zeta berkata apapun, Xena bisa melihat bahwa Zeta sungguh menikmati pertunjukan komedi ini.

Pandangannya bergeser kearah Ayah dan Ibu Ale yang berada di sebelah Zeta, dari raut wajah mereka juga terlihat bahwa mereka ikut menikmati. Ayah dan Mamahnya juga kelihatan senang, sesekali Ayah Juna dan Ayah Tedi saling mengobrol membahas lelucon yang dibawakan, kemudian tertawa bersama, membuat hati Xena yang melihatnya semakin menghangat. Memiliki keluarga pasangan yang menerima dia dan juga keluarganya dengan baik adalah mimpinya selama ini jika ia ditakdirkan untuk memiliki pasangan—yang benar-benar terkabul pada akhirnya. Ayah Juna sempat menengok kearah Xena yang memandangi mereka, kemudian tersenyum penuh arti, membuat Xena tak kuasa untuk tidak ikut tersenyum.

Xena benar-benar senang, melihat semua orang yang dia sayangi berada disini bersamanya. Berbagi tawa bersama, berbagi kebahagiaan bersama. Xena menoleh kearah Haikal, Zara, dan Nara yang berada di sebelah kanan Ale, ia memang tidak mempunyai banyak teman, namun mereka bertiga sudah lebih dari cukup. Mungkin ada benarnya yang seringkali dibilang oleh kebanyakan orang, it’s quality over quantity. Semakin bertambah dewasa, kita akan semakin menyadari siapa yang berhak tinggal, dan siapa yang seharusnya pergi mengikuti seleksi alam.

Pandangannya bergeser kearah Ale yang berada di sebelahnya, dilihatnya Ale yang tertawa sampai matanya terpejam dan kepalanya tertarik ke belakang. Yang terlintas di pikiran Xena sekarang adalah bagaimana ia bisa membuat moment itu bertahan selama mungkin. His laugh is always therapeutic, and laughing together with him is always fun.

Ia sadar, hal yang dulu membuatnya merasa buruk ternyata bisa mengarahkannya pada kehidupan yang jauh lebih baik dari yang pernah terbayangkan. Dulu, ketika Dean menyatakan perasaannya, ia berpikir bahwa mereka akan bersama selamanya. Tragic truth—the relationship ended, membuat angan-angan menjadi sekadar angan-angan. Termasuk menonton Stand Up Comedy bersama, hal tersebut hanya menjadi rencana yang gagal dan tidak terealisasikan. Setelah hubungannya kandas, ia sempat berpikir bahwa ia tidak akan merasakan rasanya jatuh cinta lagi. Tanpa disangka-sangka, cinta yang datang selanjutnya justru membuat kehidupannya menjadi lebih baik. There’s always the bad in the good, and the good in the bad, meski kadang untuk melihat dan menyadarinya membutuhkan waktu, she has just realized it. Something happens for a reason, and we don’t have to rush the journey of knowing the reason. But after we know the reason, we might feel super thankful for every closed doors that lead us to a new open door. Just like how Xena feels super grateful for her closed doors.

Jika ia jadi menonton Stand Up Comedy dengan Dean, jika hubungan mereka tidak pernah kandas, jika pintu yang tertutup itu tidak pernah ada, ia mungkin tidak akan pernah menemukan kebahagiaan seperti ini.

Melihat Ale yang tertawa di sebelahnya membuatnya semakin sadar bahwa Ale adalah hadiah dari penerimaannya akan pintu yang tertutup, dan kesempatan yang hilang. Ia juga sadar, hal yang ia inginkan adalah bersama dengan Ale untuk waktu yang lama, sangat lama.

She knows it for sure, problems in life might not end, because life is simply a thing with an endless problems. Dia juga sadar, banyak hal yang bisa terjadi di masa depan. Hal yang mungkin tidak sesuai harapan mereka, hal yang mungkin tidak mengikuti rencana mereka. Mereka berdua mungkin berpisah, contohnya. Walau dia tidak pernah bisa membayangkannya. But right now, she wants nothing but to enjoy this moment. Right now, she wants to believe in this love. Right now, she wants nothing but to wish that she and Ale get to grow old together.

Ale menoleh kearah Xena yang menatapnya. “Super happy?” tanyanya sembari tersenyum senang. Xena mengangguk, kemudian kembali menggenggam sebelah tangan Ale. Ale juga merasakan rasa hangat di dadanya, melihat Xena sebahagia ini membuatnya turut merasakan bahagia yang berkali-kali lipat. Ia kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Xena lalu berbisik pelan. “You know what, I hope you stay around for a very long time because I think I want you in my life forever.”

Setelah acara Stand Up Comedy berakhir, Xena dan Ale mengeluarkan beberapa tote bag dari mobil Ale. Xena membagikannya kepada Ayah Juna, Mamah, Ayah Tedi, Ibu, Zeta, Zara, Haikal, dan Nara. “Hadiah dari aku, tapi bukanya nanti aja kalau udah sampai rumah masing-masing.” ujarnya setelah semuanya sudah memegang satu tote bag.

Nara mengintip kedalam tote bag tersebut hanya untuk menemukan bungkusan lainnya. “Yah, double protection. Gue paling nggak bisa nih gini gini, penasaran gue.” ujarnya yang kecewa karena belum bisa mengetahui isi dari tote bag tersebut.

“Udah, nanti juga tahu sih.” jawab Xena yang kemudian diikuti oleh dengusan pasrah dari Nara.

“Pulang yuk Yah, Bu? Aku pengen tahu isi hadiahnya.” ajak Zeta yang ikut penasaran, kedua orang tuanya hanya tertawa. Membuat Zeta ikut mendengus karena tahu bahwa dia juga masih harus menahan rasa penasarannya.

Setelah berbincang-bincang, semua beranjak ke mobil masing-masing untuk pulang. Setelah Xena dan Ale masuk ke mobil, Ale yang sebenarnya juga penasaran ikut bertanya. “Hadiahnya apa sih sayang?”

Xena mengangkat kedua bahunya sembari tersenyum meledek. “Well, kamu bisa lihat nanti kalau udah di rumah.”

“Aduh, aku penasaran banget. Tapi aku masih mau sama-sama kamu.”

“Yaudah tahan rasa penasarannya. Nanti juga kamu tahu.”

“Hadiahnya sama semuanya?”

“Berhenti nebak-nebak.”

Ale mendengus kemudian tertawa. “Okay then. Aku pasrah menahan rasa penasaran.”

Setelahnya, mereka saling tatap. Xena tersenyum lebar, yang dibalas dengan senyuman yang sama lebarnya oleh Ale. Ale lalu mengusap kepala Xena lembut. “Super happy, sayang?”

Xena mengangguk penuh semangat. “Super happy. Kamu happy?”

“Of course I am happy, you can see it in my eyes right?”

Xena kembali mengangguk. “Tadi, saking senangnya, aku sempat kepikiran Bunda. I miss her a lot. Sempat mau menyalahkan takdir, andaikan Bunda juga masih ada disini dan bisa nonton bareng aku. Tapi gak apa, aku yakin Bunda sekarang ada di tempat yang baik.”

Kali ini Ale yang mengangguk, tangannya masih berada di kepala Xena, memainkan rambutnya. “She is.” jawabnya lembut.

“Aku seneng banget, Le.” ujarnya lagi. Xena benar-benar merasa senang sampai ia ingin sekali membicarakannya lagi dan lagi. Memastikan Ale benar-benar mengetahui bahwa hari ini, di saat ini, ia bahagia.

“Aku juga.”

“I couldn’t even explain to you how good it feels like to laugh together with you. I’d like to share many laughter with you, I’d like to laugh with you for the rest of my life.” lanjutnya sembari menatap Xena tepat di matanya.

Xena mendekatkan tubuhnya dengan Ale kemudian memeluknya erat, ia menempatkan dagunya di bahu Ale. “Me too.”

Dulu, Xena menyukai Stand Up Comedy karena dengan menontonnya ia bisa melupakan banyak hal sedih dalam hidupnya. Sekarang, ia menyukai Stand Up Comedy sesederhana karena dia suka tertawa. Setelah melalui banyak penerimaan, banyak kedamaian yang datang pada hidupnya. Satu hal yang baru ia sadari, untuk sembuh, accepting things is what we have to do. And it takes time, but that’s okay, everything will come to its closure sooner or later.

//Cw: Kiss

Xena yang sedari tadi pagi hanya merebahkan tubuhnya di kasur menengadah, memandang langit-langit, pikirannya mengudara, kepalanya rasanya penuh sekali. Ia masih bisa mendengar percakapannya dan Juna kemarin lusa, percakapan yang rasanya tidak bisa berhenti ia pikirkan. Percakapan yang membuat keyakinan dalam dirinya runtuh, digantikan oleh rasa ragu yang menenggelamkannya dalam perasaan bersalah.

“Anak Ayah ternyata udah gede ya, Ayah juga udah tua, udah 58 tahun. Ternyata Ayah sebentar lagi 60 tahun, cepat banget waktu ya, Na?” Xena menatap Ayahnya yang bersandar setengah tidur di kasurnya. Xena hanya diam, menunggu Juna melanjutkan.

“Setelah Bunda kamu meninggal, Ayah bingung, kok bisa Bunda urus semuanya? Kok bisa Bunda melakukan keduanya—-jadi istri yang baik, dan jadi Ibu yang baik. Sekarang kamu sudah hampir jadi istri, mungkin hampir juga jadi Ibu, wanita memang luar biasa. Ayah harap kamu bisa belajar dari Bunda kamu yang hebat. Kamu sudah benar-benar yakin kan, Na?”

Xena berpikir sejenak, kemudian mengangguk, mengiyakan, membuat senyuman tipis tersungging di bibir Juna. “Anak Ayah benar-benar sudah besar.” gumamnya pelan.

“Ayah belum sempat minta maaf sama kamu secara langsung ya, Na? Maafin Ayah ya, kalau keputusan Ayah untuk nikah lagi itu egois. Maafin Ayah, waktu itu nasehatin kamu dengan cara yang kasar. Maafin Ayah, belum bisa jadi Ayah yang baik. Harusnya Ayah ngerti kamu butuh waktu untuk menerima Mamah. Harusnya Ayah lebih ngertiin kamu. Maafin Ayah Na, ternyata hidup tanpa Bunda kamu berat untuk Ayah, ternyata susah jadi orang tua tanpa Bunda kamu, Na.”

Seperti dua manusia yang hilang dan berusaha untuk menemukan jiwanya lagi, mereka berdua saling tatap. Xena tidak dapat menutupi fakta bahwa dirinya sedih, sangat sedih. Matanya mulai berkaca-kaca, memikirkan betapa banyak waktu yang ia habiskan tanpa saling mengabari, betapa banyak waktu yang ia sia-siakan. Ia lihat lagi wajah Ayahnya, kulit wajahnya yang mulai mengendur, keriput di area sekitar mata yang juga sudah terlihat jelas. Ia sempat lupa, selagi ia bertumbuh menjadi dewasa, Ayahnya juga ikut menua.

“Nggak Ayah. Nana juga bukan anak yang baik, belum bisa jadi anak yang baik, maafin Nana juga ya?”

Juna menggeleng. Menegakkan posisi duduknya. “Ayah banyak buang waktu Ayah ya Na. Harusnya di masa-masa kamu tumbuh jadi dewasa Ayah banyak disana. Harusnya Ayah lihat bagaimana kamu jadi mahasiswi, tahu banyak hal yang kamu lalui di kampus, gimana proses kamu cari kerja, gimana hari-hari kamu di tempat kerja. Harusnya Ayah berperan jadi Ayah yang baik, di masa-masa kamu tumbuh dewasa.”

Membicarakan hal-hal ini sama sekali tidak ada dalam rencananya. Sebelumnya, semua ini hanya beputar-putar di pikiran Juna. Penyesalan, kesedihan, perasaan bersalah, dan perasaan sedih karena waktu yang banyak terlewatkan begitu saja. Namun baginya, saat ini adalah waktu yang cukup tepat untuk membicarakan semuanya. Untuk berbicara mata ke mata dengan anak semata wayangnya. Mengungkapkan penyesalan sekaligus meminta maaf. “Sekarang kamu sudah mau nikah, nggak kerasa ya? Kamu sudah gede ternyata. Ayah menyesal beberapa tahun belakangan ini kita benar-benar jauh. Rasanya, kalau Ayah bisa mengembalikan waktu, Ayah pengen habiskan banyak waktu Ayah sama kamu.”

Juna tersenyum tipis, kemudian melanjutkan pembicaraannya. “Sebenarnya Ayah sempat berencana ajak kamu untuk tinggal di Bandung lagi. Ayah kangen. Kangen satu rumah sama Nana, kangen liat Nana setiap hari, kangen diceritain sama kamu soal banyak hal. Tapi nggak apa, Ayah senang banget kamu sudah menemukan laki-laki baik yang kamu cintai. Nanti kalau kamu sudah menikah pun, jangan bosen kunjungin Ayah sama Mamah disini ya?” ujarnya tulus, ia memandang Xena lekat, seolah itu adalah pertemuan terakhir. Mungkin ini yang dirasakan setiap Ayah ketika akan melepaskan anak perempuannya kepada laki-laki yang mau meminangnya, perasaan kosong dan sepi—sekaligus senang. Perasaan yang rasanya menyatu jadi satu, sampai sulit sekali dideskripsikan. Setelah itu, Xena hanya diam, mencoba untuk memproses semua hal yang berputar di kepalanya.

Xena memegang kepalanya yang serasa akan meledak, rasanya penuh sekali. Ia kemudian bangkit dari kasurnya, berjalan kearah kaca di sudut kamarnya. Ia menatap refleksi dirinya, memandangi wajahnya yang kusut karena 2 hari ini tidak bisa berhenti menangis dan berpikir. Banyak keraguan yang ia rasakan sekarang. Setengah dari dirinya berpikir untuk menunda waktu pernikahannya—-6 bulan entah bagaimana jadi terasa begitu cepat sekarang. Ia mulai berpikir untuk kembali tinggal bersama Ayahnya, memperbaiki hubungan mereka yang sempat renggang, menebus banyak waktu yang sempat terbuang. Meskipun Ayahnya tidak memintanya, ia menyadari bahwa dalam lubuk hatinya yang terdalam ia juga merasakan banyak penyesalan karena hubungan mereka yang jauh selama ini. Setengah dari dirinya lagi memikirkan kekecewaan Ale jika ia memilih untuk melakukan hal tersebut. She’s the one who brought that conversation—how can she let him down with that decision?

Ia merasa sedikit pathetic—sekaligus bodoh. Bagaimana bisa dia merasa yakin dalam waktu singkat, dan ragu dalam waktu yang sama singkatnya. Semua angan-angan dan rencana tentang pernikahan 6 bulan lagi seakan menguap. Jika ia jujur tentang keraguannya menikah cepat kepada Ale, apa yang akan terjadi? Memikirkan worst scenarios yang mungkin terjadi membuatnya takut untuk bertemu dengan Ale, she’s not ready to face him—not even ready to talk about it with him through text. Ia tahu ada kemungkinan Ale akan sangat kecewa padanya yang gegabah, ia sadar bahkan ada kemungkinan Ale akan marah karena kekecewaannya. Maka dari itu, dua hari ini ia memilih untuk mengurung dirinya sendiri—which is kinda stupid, karena ia tetap tidak menemukan titik terang apapun. Keraguannya masih disana, ketakutannya juga tidak berkurang sedikitpun. She’s stuck with her ownself and her wild mind.

“I shouldn’t have brought that conversation.”

“I don’t want to let him down, but what should I do now?”

Xena masih menatap refleksi dirinya di kaca, sampai ia mendengar bunyi bel apartemennya. Ia melihat jam dinding, sudah pukul 6 sore, kemungkinan tetangganya yang baru pulang dari kantor datang berkunjung untuk membawakan makanan—hal yang rutin sekali dilakukan setiap 2 hari sekali. Xena menghapus air matanya, kemudian mencoba untuk mengontrol ekspresinya agar tidak terlihat sendu. Ia kemudian berjalan kearah pintu. Setelah membuka pintu, Xena mematung di tempat ketika tahu yang berada di depan pintu adalah Ale. Ale menatap Xena, dilihatnya wajah Xena yang sembab, ia kemudian berjalan mendekat. “Hey, what happened?” tanyanya.

Dengan hanya mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Ale, pertahanan Xena runtuh, tangisannya mulai pecah, ia terduduk di lantai. Ale yang khawatir langsung menghampiri Xena, dia duduk dengan lutut yang menyentuh lantai, kemudian tanpa bertanya apapun, Ale merengkuh Xena, membiarkan Xena menangis dalam dekapannya. “I’m here….I’m here….” bisiknya pelan.

Xena terus menangis, dan Ale tetap memutuskan untuk diam, membiarkan Xena menumpahkan semuanya dalam dekapannya. Lama, sampai akhirnya Xena mulai bersuara—-suara yang terdengar lirih. “I think I’ll make you disappointed. No. I’m gonna make you super disappointed.” ujarnya sembari terisak. Ale melepaskan dekapannya, kemudian menangkup pipi Xena dengan kedua tangannya. Xena masih menunduk, enggan untuk menatap Ale yang ada di hadapannya.

“Hey….hey…..sweetheart, look at me.” ujarnya. Xena akhirnya memberanikan diri untuk menatap Ale, air mata masih mengalir membanjiri kedua pipinya. Ale kemudian mengikis jaraknya dengan Xena, mengecup kelopak mata Xena yang basah oleh air mata, kemudian mencium pipinya selama beberapa detik. “You know what that means, right? You can tell me your worries.” ucapnya sembari mengusap-usap pipi Xena dengan kedua ibu jarinya.

“Aku….” kata Xena pelan. Ia kembali menunduk. Takut untuk melihat ekspresi yang akan keluar dari wajah Ale setelah ia mengatakan apa yang membuatnya sedih. “Aku……sekarang ragu untuk nikah secepat itu, Le.” ujarnya lirih. Ale memutuskan untuk diam, menatap Xena dan mendengarkan semua yang ingin Xena utarakan. Jemarinya masih mengelus pipi Xena, mencoba untuk memberi paham bahwa ia menyimak. Xena melanjutkan penjelasannya, ia ceritakan percakapannya dengan Juna kemarin lusa. Ia ungkapkan seluruh perasaannya, dari keraguannya hingga keinginannya yang tiba-tiba muncul untuk kembali merasakan tinggal serumah dengan Juna. Ale mulai mengerti kenapa dua hari ini Xena terasa berbeda, pasti banyak sekali yang ada di dalam pikirannya.

“I’m so sorry. Harusnya aku nggak merasa ragu kaya gini, padahal kemarin aku yakin betul kalau aku siap. Aku payah, aku gegabah, aku nggak jelas, aku main-main sama janji, aku pasti buat kamu sedih banget, aku udah buat kamu kecewa banget, aku bener-bener………….” ujarnya tertahan, tangisnya kembali pecah.

“Sweetheart, pretty, look at me.” Ale mengangkat dagu Xena. Xena kemudian memberanikan diri untuk menatap wajah laki-laki itu. Air muka Ale melembut setelah Xena mulai menatapnya. Matanya yang besar dan hidup sekarang terlihat berkaca-kaca.

“You know, it’s hard for me seeing you this pressured. Ngeliat kamu sedih dan tertekan kaya gini buat aku sakit banget.” Ale mengelap air mata di pipi Xena dengan telapak tangannya. “From the very first time, aku ngomong kan sama kamu, I don’t want you to feel pressured about this marriage thingy. I can never see you this pressured. Your peace is all that matters to me, I want you to be happy in everything you choose.” Ale kembali menatap Xena tepat di matanya.

“Can you bring me your diary?” pinta Ale kemudian. Xena bingung, namun tetap mengangguk, mengiyakan, ia kemudian beranjak dari posisinya dan menghampiri laci meja kerjanya, mengambil buku diarynya lalu memberikannya kepada Ale. Ale mengeluarkan pulpen dari saku kemejanya, kemudian membuka halaman tempat dimana Xena menuliskan wishlist yang sempat ia perlihatkan kepada Ale. Xena menatap Ale sembari bertanya-tanya dalam hati. God knows what he’s about to do.

Ale mulai menulis. Setelah selesai dengan tulisannya, Ale langsung menunjukannya kepada Xena. Ale menuliskan satu kalimat tambahan dalam daftar keinginan Xena. Diatas tulisan Spend the rest of my life with Ale kini tertulis Do everything I want to do before I get married. Xena yang sebelumnya sudah berhenti menangis kembali tersedu-sedu. Membuat Ale meletakkan buku diary tersebut di lantai kemudian kembali merengkuh Xena. “Hey, kenapa nangis? Aku serius. Aku pernah bilang sama kamu kan, aku nggak pernah mempermasalahkan perihal waktu. It’s not like you’re leaving me or something. Kita masih sama-sama and that’s what matters for me.” Ale mencoba menenangkan.

“Ale, maafin aku. Aku tahu kamu sedih, aku tahu kamu kecewa, maafin aku.”

Ale mengusap-usap punggung Xena, menyandarkan kepalanya di atas bahu Xena. “Bohong kalau aku nggak sedih sayang, tapi aku jauh lebih sedih lihat kamu kaya gini. I don’t want you to feel pressured. I can never see you this pressured.” Ale melepaskan pelukan mereka, kembali menatap Xena tepat di matanya. Tatapan yang dalam, dalam sekali. “I want you, to have no regrets in life.” tegasnya.

Xena yang terisak kembali memeluk Ale. “Ale maafin aku.” Ale kemudian mengecup puncak kepala Xena, mencoba untuk memberikan ketenangan, mencoba menunjukkan kalau ia baik-baik saja dengan semua ini. “It’s okay, I’ll help you, I’ll help you fulfilling that wishlist. You know you can always count me in, kan?” gumamnya sembari memegang bagian belakang kepala Xena, menariknya untuk lebih mendekat kedalam dekapannya.

“Ale maafin aku, harusnya aku nggak ngasih kamu harapan kaya gitu, harusnya aku lebih berpikir lagi sebelum itu.” ujarnya lagi—masih sambil terisak. She can’t help it but says sorry a lot—-because she really is feeling sorry for him.

“It’s okay, it’s okay. Kamu inget kan kata-kata di buku The Alchemist yang kita baca bareng waktu itu? Making decision is only the beginning of everything. Dan rencana kita waktu itu benar-benar awal dari segalanya, anything can happen in between. Aku percaya keraguan kamu ini juga ada maksudnya, mungkin waktu baik kita untuk menikah bukan sekarang, bukan 6 bulan lagi, Na. Toh, kita juga belum siapin apapun kan? We don’t need to rush it, you don’t have to rush it. Aku nggak akan kemana-mana.”

Xena mengeratkan pelukannya dengan Ale, menyandarkan kepalanya di dada Ale. Ale meletakkan dagunya di atas kepala Xena, sembari terus mengusap punggung Xena, berusaha menenangkan. Mereka bertahan dalam pelukan itu cukup lama, sampai Ale perlahan melepaskannya. Ia menatap Xena lekat, mengusap pipinya dengan jemari kanannya.

“Sekarang jangan khawatir lagi, ya? Aku benar-benar nggak apa-apa. Selama aku nggak kehilangan kamu aku nggak apa-apa, Na. Kamu bisa tinggal di Bandung lagi, aku dukung kamu untuk mendekatkan diri sama keluarga kamu lagi, aku nggak akan kemana-mana. Dan tentang pernikahan, just give me a sign—with anything, whenever you’re ready, okay?”

Perkataan Ale membuatnya benar-benar terharu. Banyak hal yang membuatnya merasa nyaman dengan Ale, salah satunya adalah bagaimana Ale selalu punya cara untuk membuat segala kekhawatirannya sirna. He is love, he is comfort, he is security, he is need, all in one. Ale dan kalimat-kalimat penenangnya, Ale dan sikapnya yang tidak pernah menuntut, Ale dan rasa cintanya yang tulus, membuat Xena merasa aman. Benar-benar aman. He is warm and solid. He is definitely not lying when he says he’ll turn her fear into faith—she begins to think that he can even do it without the kiss on her lips—eventhough it’s better with the kiss.

Xena memandangi wajah Ale, kemudian tersenyum. Ia benar-benar merasa sangat beruntung bisa memiliki pasangan seperti Ale. “Aku sayang banget sama kamu, kamu tahu kan?” ujarnya, membuat Ale tersenyum dari telinga ke telinga kemudian mengangguk. “Kamu hutang banyak kalimat itu, dua hari kemarin tiap aku bilang sayang kamu nggak balas.” jawabnya dengan nada bergurau.

“Aku sayang kamu, aku sayang kamu, aku sayang kamu, aku sayang kamu, aku sayang kamu. Aku balas dengan lebih banyak.” ujar Xena. Ale tertawa, kemudian kembali diam dan menatap mata Xena lekat. Tangan kanannya masih berada di pipi Xena. Pandangannya perlahan mulai turun ke bibir Xena, Ia kemudian mendekatkan wajahnya dengan wajah Xena, menutup matanya sesaat sebelum bibir mereka berdua bertemu. Ciuman itu pelan, tidak menuntut, tidak tergesa. Mereka sama-sama berusaha menuangkan perasaan mereka dalam ciuman tersebut. Xena mengalungkan kedua tangannya di leher Ale, menariknya untuk mendekat—deepening the kiss.

Ale tersenyum setelah tautan bibir mereka terlepas. Ia mengusap kepala Xena dengan tangan kanannya, merapihkan rambutnya yang sedikit menutupi wajahnya. “I love you, and I want you to have no regrets in life.” ujarnya lagi. And just like that——her worries fade away. She knows, they’ll be okay. She knows for sure, everything will be alright.

Ale mengelus puncak kepala Xena dengan satu tangannya, tangannya yang satu lagi sibuk mengendalikan setir kemudi. “Ngantuk sayang? Tidur aja kalau ngantuk.” ujarnya lembut.

Xena menggeleng. “Nggak deh, aku lagi mau ngobrol sama kamu, tapi maaf ya kalau aku agak nggak jelas ngomongnya nanti.” jawabnya dengan suara cukup parau—jelas terlihat kalau Xena memang sudah mengantuk, Ale terkekeh kemudian menyibak rambut Xena, merapihkannya kebelakang telinga, sebelum akhirnya kembali memegang setir dengan kedua tangannya.

Mereka pulang dari rumah Xena pukul 9 malam. Sebenarnya, mereka sempat berniat dan ditawarkan untuk menginap. Namun Xena tiba-tiba dikabari ada meeting penting besok pagi, membuat mereka terpaksa harus kembali ke Jakarta malam-malam.

“Tadi aku akhirnya ngobrol sama Mamah. Akhirnya aku tahu sedikit hal tentang Mamah, termasuk makanan kesukaan Mamah. Mamah paling suka ikan gurame ternyata. Ya meskipun kita masih canggung sih. Aku masih belum bisa leluasa.” Xena mulai bercerita.

Ale menoleh sebentar, mencoba melihat ekspresi Xena, kemudian kembali memfokuskan pandangannya ke hamparan jalan di depannya. “Kamu udah hebat banget karena udah coba sayang. Nanti, kita coba lagi oke? It’s okay, let’s do it slowly. Kan kita ada rencana rutin ke Bandung. Nanti kita lebih banyak ngobrol sama Mamah ya, sama Ayah juga.” Xena tersenyum, kemudian mengangguk.

“Kamu ngobrol apa aja sama Ayah? Lama banget tadi berduanya?” Xena membuka kotak camilan yang dibawanya kemudian memasukan biskuit tersebut ke mulutnya, tak lupa ia juga menyuapi Ale di sebelahnya.

“Hmm. Rahasia.” jawab Ale sembari mengunyah.

“Lah kok gitu, tapi….lancar kan?”

“Lancar kok. Ayah kamu benar-benar baik, Na. Kaya yang kamu bilang, he’s a sweet sweet guy.” lanjutnya lagi. Ia tidak bilang tentang tatapan sendu Juna, atau tentang perasaan janggal yang ia rasakan akan hal itu. Xena tersenyum, merasa lega.

“Ohya, aku udah bilang ke Ayah kamu, soal niatku, soal niat kita. Aku udah minta izin ke Ayah kamu.” ujar Ale, membuat Xena menoleh, matanya berbinar—meski dengan sedikit tatapan cemas.

“Ohya? Terus Ayah jawab apa?”

“Selama kamu senang, katanya. Dan selama kita yakin.” jawab Ale, membuat mata Xena semakin berbinar.

“Lampu hijau dong?” Ale mengangguk, kemudian menoleh kearah Xena sambil tersenyum. Xena kembali memasukan biskuit cokelat ke dalam mulutnya, kemudian mengambil biskuit lagi dan menyuapi Ale. “Aku tadinya mau ngomong, tapi jujur aku bingung ngomongnya gimana. Ternyata kamu yang duluan ngomong.”

“Kan aku yang memang seharusnya minta izin, sayang.” Xena manggut-manggut, tersenyum makin lebar, kemudian terkekeh. Membuat Ale menoleh lalu ikut tertawa kecil. “Kamu kenapa? Tiba-tiba ketawa?”

“Aku seneng mikirinnya.” jawab Xena yang ikut menoleh kearah Ale.

“Mikirin apa?”

“Mikirin kita.”

Lagi, Xena mengembalikan kata-kata Ale. Ale melirik kearah Xena, dilihatnya Xena yang menatapnya dengan senyuman lebar—setengah menggoda. Xena tersenyum ketika Ale nyengir salah tingkah. “Salting, ya?”

Ale tertawa, dan menggeleng pelan, mencoba terlihat normal, pura-pura tidak salah tingkah.

“Bohong banget.” goda Xena lagi, kali ini sembari menusuk-nusuk pipi Ale dengan jari telunjuknya. Membuat Ale tertawa kencang. “Oh God, Xena. I’m driving now. Kamu bener-bener jago banget sekarang bikin aku salting sumpah.” ujar Ale yang kemudian mengacak-ngacak rambut Xena gemas. Xena tertawa sampai kepalanya tertarik ke belakang.

“Makasih ya, Ale.” gumam Xena setelah puas dengan tawanya.

“Buat?”

“Buat semuanya.”

Ale tersenyum. Rasanya, malam ini, seperti banyak malam lainnya bersama Xena, senyum enggan untuk pergi. He doesn’t want this kind of feeling leave his body, he clearly wants to stuck with her forever—for the rest of his life.

“Aku juga makasih kalau gitu.” kata Ale.

“Buat apa?”

“Buat semuanya.” balas Ale, ia tersenyum, senyuman paling lebar yang ia keluarkan malam ini. Ia kemudian menoleh, menatap Xena yang juga memandangnya dan secara tiba-tiba mereka tertawa—tawa dengan arti yang mungkin hanya bisa diketahui oleh mereka sendiri. Sometimes, they look at each other like they have their own language. Without saying anything, without saying any word, they understand the language.

Xena melihat keluar jendela. Memperhatikan hamparan pohon di samping jalan. “Ale, aku tiba-tiba mikir, what if things go wrong between us? Gimana kalau nanti aku jadi menyebalkan, atau kamu jadi menyebalkan setelah menikah, atau kita jadi sama-sama menyebalkan. Terus kita jadi orang tua menyebalkan.” Ale tersenyum tipis mendengar penuturan Xena. Xena and her endless what ifs—dia mulai terbiasa dengan hal itu.

“Kita bisa aja jadi menyebalkan. Tapi for some reasons I’m pretty sure kita nggak bakal lama-lama jadi sama-sama menyebalkan.”

“Kamu seyakin itu?”

Ale mengangguk. “Kalaupun nanti aku jadi menyebalkan, aku bakalan coba inget lagi hari ini, malam ini, hari dimana aku minta izin sama Ayah kamu untuk nikahin kamu. Hari dimana aku mulai melangkah untuk pegang tanggung jawab yang baru.”

Xena tersenyum. “Kalau gitu, aku juga bakal inget malam ini kalau aku jadi menyebalkan. Malam dimana kamu bilang kamu bakalan coba ingat malam ini. Means—you’ll try. So I’ll try my best for you too. Kamu paham nggak? Aku agak ngaco. Tapi aku masih mau ngomong.”

Ale tertawa. “Aku paham kok.”

“Kita bakal baik-baik aja nggak ya, Le? Nanti? Dan selamanya? Ending kita bakalan kaya gimana, ya?” tanyanya lagi. Loving someone is indeed a sweet sweet thing for her and maybe for everybody. But it also brings much much worry. It creates fear in you that you never knew before you met them. The fear of losing them, the fear of getting hurt, the fear of hurting them.

“Love is definitely never safe for everyone, but it’s absolutely worth it—for us. And back at it again, I’ll try my very best for you. I’ll try my very very best to keep you safe, to keep us safe.”

Xena mengangguk, lalu tersenyum lega. Kekhawatiran tak beralasan yang tiba-tiba datang dalam dirinya menghilang, digantikan oleh perasaan hangat yang menjalar kesekujur tubuhnya.

Ale kemudian menjulurkan tangannya dan menggenggam tangan Xena, membawanya ke atas pahanya. “And about the ending. Actually, I hope we won’t have an end.”

Dari pertama Ale dan Xena masuk ke dalam rumah, kedua orang tua Xena menyambutnya dengan ramah. Terlihat jelas kerinduan Juna—Ayah Xena kepada Xena, dipeluknya anak gadisnya erat. Dina—Mamah Xena juga ikut memeluknya. Ale memperhatikan ekspresi Xena, gadisnya nampak senang bisa kembali ke rumah, meski ia masih melihat rasa kikuk dari sinar matanya.

Dina sempat melongo tak percaya ketika sadar yang dibawa mampir ke rumahnya dan diperkenalkan sebagai kekasih dari anaknya adalah Ale Madheva—penyanyi terkenal yang biasa ia liat di televisi. Juna juga nyaris tidak percaya, tapi tetap mengontrol ekspresinya seolah itu adalah hal yang mungkin terjadi.

Setelah berbincang berempat sembari makan bersama, Juna mengajak Ale untuk duduk di halaman belakang, sedangkan Xena dan Dina duduk dan mengobrol bersama di sofa depan TV. Meskipun suasana canggung masih mengiringi percakapan Ale dan Juna. Ale lega karena pertemuan ini tidak semenyeramkan yang ada di bayangannya.

“Xena makan teratur dan hidup dengan baik kan Le di Jakarta?” pria paruh baya itu bertanya setelah mereka menduduki kursi yang bersebelahan di depan kolam ikan, taman belakang rumah Xena penuh dengan tanaman hias, kicauan burung yang saling bersautan menambah kesan asri dari rumah Xena yang berada di tengah kota Bandung.

“Iya Om. Xena hidup dengan baik.” jawab Ale, Juna kemudian manggut-manggut. Ale masih diam, menunggu Juna untuk kembali memulai percakapan karena demi Tuhan, dia gugup bukan main.

“Nggak usah grogi.” ujar Juna yang menyadari kegugupan Ale, ia menepuk punggung Ale pelan. “Muka kamu ituloh, keliatan grogi banget.” lanjutnya dengan nada bergurau, membuat Ale menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian tertawa. Juna ikut tertawa. Membuat kecangungan mereka mulai terkikis seiringan dengan suara tawa mereka yang saling beradu di udara. Mulai dari kerjaan Juna, kerjaan Ale, sampai obrolan tentang musik mereka bicarakan dengan lebih santai setelahnya. Ale juga bisa terlihat lebih relax dan mengimbangi pembicaraan mereka. Setelah lama membahas banyak hal secara acak, Juna akhirnya menceritakan banyak hal tentang Xena. Topik pembicaraan favorit Ale.

“Xena itu, selalu ingin jadi penulis. Tapi sekarang dia jadi pegawai kantoran. Jujur saya nggak tahu, apa dia masih mau coba untuk menulis, atau tidak. Tapi saya dan Bundanya selalu mendukung dan ikut mendoakan mimpinya.” Ale mengangguk-anggukkan kepalanya, ingin sekali rasanya ia memberitahu Juna kalau mimpi baik putrinya sudah tercapai, mungkin Juna akan senang sekali mendengarnya.

“Kamu tau kan, Xena suka menulis?” tanyanya. Ale mengangguk. “Iya Om. Xena cerita.” Juna kemudian membakar ujung rokoknya, mendekatkannya ke mulut dan menghisapnya. “Maaf saya sambil ngerokok, ya? Kamu ngerokok nggak?”

“Ah iya nggak apa-apa Om. Tapi nggak, saya nggak ngerokok Om.” Juna manggut-manggut. Kemudian kembali menghisap rokoknya, menghembuskan asapnya sampai menjulang tinggi ke udara. “Xena itu punya hati yang lembut, lembut sekali. Sama persis seperti Bundanya.”

Ale mengangguk, menyetujuinya. “Bener, Om. Saya setuju.” jawabnya menanggapi. Juna tersenyum simpul. “Waktu dia SMP, pernah sekali saya dan Xena jalan-jalan berdua naik mobil. Dia lihat ada pedagang tua yang menawarkan dagangannya dari satu mobil ke mobil lain di lampu merah. Setelah kita beli dagangannya, dia tiba-tiba angkat tangannya, saya tanya dia sedang apa, dia jawab sedang berdoa.”

“Sehabis saya tanya berdoa apa, dia jawab berdoa supaya dagangan Bapak itu laris dan bisa makan enak hari ini sama keluarganya. Nggak sampai disitu, dia bilang hal yang sampai sekarang rasanya ninggal di kepala saya. Katanya, kita nggak pernah tahu doa mana yang akan sampai lebih dulu ke langit, atau doa dari siapa yang akhirnya akan dikabulkan, jadi dia mau bantu Bapak itu dengan doa—-meski mungkin Bapak itu juga sudah berdoa hal yang sama.”

Ale mendengarkan dengan saksama, sembari tak henti memuji kekasihnya dalam hati. Xena dan kelembutannya memang sudah menjadi hal yang tidak asing bagi dirinya. Tapi rasanya, setiap hari, Xena selalu punya cara untuk membuatnya tambah kagum. Perasaan hangat mulai menjalar disekujur tubuhnya, ia semakin merasa beruntung karena bisa memiliki Xena. Dari banyaknya kebaikan yang Tuhan berikan padanya—-Tuhan dengan baiknya juga menambah kebahagiaannya dengan kehadiran Xena. Juna kembali bercerita banyak hal tentang Xena dan masa kecilnya, Ale banyak menganggukan kepalanya, sesekali menanggapi, sesekali tersenyum lebar karena lagi-lagi dibuat kagum, dan sesekali juga tertawa karena beberapa tingkah unik yang Xena lakukan di masa lalunya. Ia merasa senang bisa mengetahui banyak hal tentang Xena—studying her is one of the best things in life, for him.

“Xena banyak cerita sama kamu, Le?”

“Cukup banyak Om.” jawabnya. Juna menganggukan kepalanya beberapa kali, kemudian menghisap lagi rokok yang terselip diantara dua jemarinya. Sinar matanya sulit sekali untuk diartikan oleh Ale. Sedih? Senang? Kedua perasaan tersebut terlihat menyatu.

“Kalau tentang hal sedih, Xena cerita juga?”

“Sejauh ini, iya Om.” jawab Ale lagi. Membuat Juna kembali manggut-manggut, lalu tersenyum. Senyum yang bagi Ale terlihat cukup—sendu. “Saya senang, dia punya tempat bercerita. Dia itu anak yang suka banget bercerita. Dari dulu. Tapi kalau sedih, dia banyak pendam sendiri. Syukurlah kalau dia punya tempat aman untuk bercerita tentang hal-hal yang buat dia sedih sekarang. Xena masih sering main dengan Haikal, Zara dan Nara?”

Ale mengangguk, membuat senyuman Juna semakin melebar, senyuman yang terlihat lega, namun entah bagaimana secara bersamaan juga terlihat sendu. Sinar matanya seakan menyiratkan banyak kesedihan. “Saya jujur, nggak begitu tahu banyak tentang Xena setelah Bunda Xena meninggal. Xena langsung tinggal di Jakarta juga sehabis memutuskan untuk kuliah di Jakarta. Hubungan kita bisa dibilang cukup merenggang, mungkin kamu sudah tahu dari Xena, atau sudah bisa melihat.” tutur Juna, membuat Ale berasumsi—mungkin ini arti dari sinar mata Juna. Mungkin, ia sedih. Sedih karena tidak mengetahui banyak hal tentang putrinya lagi, seperti dulu.

“Xena masih menulis, Le?” Juna kembali bertanya sembari menoleh ke arah Ale. Ale diam sebentar, memikirkan jawaban yang pas. “Masih, Om. Kayanya nulis sudah jadi hobi mutlak Xena.” jawabnya sembari tersenyum. Sejujurnya, ia merasa bersalah karena menyembunyikan fakta besar tentang kesuksesan anaknya dalam mimpinya. Juna mengeluarkan senyuman lega.

“Dari dulu saya tidak pernah membatasi Xena. Saya merasa tidak begitu penting Xena jadi apa di masa depan. Selama itu baik, dan selama dia senang.” ucap Juna sembari menghembuskan asap rokoknya. “Kamu dukung kan, kalau dia nulis?” Ale mengangguk bersemangat.

“Saya dukung Om. Saya juga sama, apa yang buat Xena senang, selama itu baik, saya pasti ikut senang.” jawabnya. Juna menepuk-nepuk pundak Ale, kemudian berterimakasih dengan tulus, membuat Ale tersenyum. “Sejujurnya, saya cukup kaget karena Xena ternyata sudah punya pacar. Karena selama ini ya saya pikir dia tidak terlalu memikirkan itu, walau memang saya juga sih yang memang tidak tahu banyak hal tentang dia. Dan jujur, setelah Xena akhirnya cerita sama saya tentang kamu, saya merasa senang sekali. Pertama, senang karena akhirnya dia cerita sesuatu lagi sama saya. Kedua, senang karena saya semakin yakin—-Xena hidup dengan baik dan bahagia sekarang. Xena menemukan laki-laki baik, itu membuat saya senang sekali.” Juna menatap lurus kedepan, memperhatikan air yang jatuh dari pancuran di kolam ikan.

“Saya juga merasa beruntung sekali, Om. Bisa menemukan, dan bisa saya bilang—ditemukan Xena.” Juna kembali menepuk-nepuk pundak Ale, tersenyum dari telinga ke telinga. “Om senang dengarnya.”

“Kalian sudah berapa lama?” tanya Juna lagi. Ale menegakkan posisi duduknya. “Sudah mau 7 bulan, Om.” jawabnya.

“Maaf Om, seharusnya saya izin lebih awal sama Om. Seharusnya saya memperkenalkan diri sama Om dan Tante lebih awal.” lanjut Ale cepat. Dia benar-benar merasa bersalah, dan merasa kurang sopan. Juna menggeleng pelan. “Nggak apa, nggak apa, saya mengerti. Yang penting saya sekarang sudah tahu. Senang sekali saya, tahu sesuatu lagi tentang anak saya.” ujarnya lagi, membuat Ale entah bagaimana justru semakin merasa bersalah.

“Kamu serius, sama Xena?”

“Serius Om.” jawabnya mantap. Juna manggut-manggut sembari tersenyum, kemudian menghisap rokoknya yang tinggal setengah. Ale menghela napasnya pelan. Mengumpulkan keberanian untuk membuka suaranya. Ia berdehem pelan sebelum mulai berbicara. “Sebenarnya, saya dan Xena sudah berpikiran untuk menikah Om.” Ale sedikit ragu untuk mengutarakan niatnya secepat ini kepada Juna—bahkan di pertemuan pertama, tapi sepertinya ini moment yang pas untuk membahasnya. Menurutnya, sudah sepatutnya Juna tau niat ini secepatnya. Sudah seharusnya ia minta izin dari sekarang.

Juna langsung menoleh, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Ohya?” tanyanya.

Ale menatap Juna tepat di matanya, mulai berbicara dengan jauh lebih serius. “Kami sebenarnya sudah sama-sama membicarakan hal ini. Awalnya berpikiran sekitar 6 bulan sampai 1 tahun lagi, tapi akhirnya berpikir 6 bulan lagi. Tapi sebelum itu, saya mau minta izin sama Om, minta izin untuk menikahi Xena—-maaf jika terkesan terburu-buru, bahkan Om juga belum begitu mengenal saya, tapi saya benar-benar yakin. Saya benar-benar serius dengan Xena. Dan kalau boleh, saya mau minta izin, untuk menghabiskan waktu seumur hidup saya dengan Xena. Tujuan saya jelas, bagi saya. Untuk bisa bersama-sama Xena, dengan ikatan yang bisa saya lebih pertangunggjawabkan.”

Juna memandangi wajah Ale dan hanya diam selama beberapa detik, membuat Ale menelan ludahnya, sedikit gugup saat menunggu jawaban dari Juna. “Xena bagaimana? Xena sudah yakin juga?” Juna akhirnya menanggapi.

Ale mengangguk. “Dari pembicaraan kita, iya Om.”

Juna manggut-manggut tanda paham, kemudian balik menatap kolam ikan di depannya. “Kembali seperti yang saya bilang sebelumnya, saya bagaimana Xena. Saya tidak pernah mau membatasi Xena. Apapun itu yang buat dia senang, saya dukung.” jawabnya lagi. Ale diam sebentar, berusaha menganalisis ekspresi dan nada bicara dari Juna. Nada bicaranya lagi-lagi terdengar sendu bagi Ale, begitu juga dengan sorotan matanya. Membuat Ale selain merasa bahagia karena mendapatkan lampu hijau juga merasakan hal yang janggal dan membingungkan.

“Jadi, 6 bulan lagi?” tanya Juna lagi—seperti ingin memastikan.

“Kalau Om mengizinkan.”

“Selama Xena yakin, selama Xena senang. Selama kamu juga yakin, karena tentunya nikah bukan hal main-main.” jawabnya lagi.

“Saya percaya kamu. Saya bisa lihat, kamu sangat sayang anak saya. Saya juga bisa lihat, Xena sangat sayang kamu. Saya juga entah bagaimana bisa lihat kamu laki-laki yang baik, laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi satu pesan saya.” Ale membetulkan posisi duduknya, berusaha duduk lebih tegap. Kemudian memperhatikan Juna dengan saksama.

“Xena itu anak yang sangat perasa. Perasa sekali. Kalau ada hal yang kamu tidak suka dari sikapnya, tolong ingatkan dia dengan cara yang baik, ya? Jaga komunikasi kalian. Coba belajar untuk saling memahami dan mengerti. Pernikahan bukan hal yang mudah, jadi sebelum itu, kalian sama-sama belajar ya?” pesannya. Ale mengangguk, kemudian tersenyum lebar. Pesan yang akan ia ingat baik-baik. Meski masih banyak sekali pertanyaan di kepalanya perihal sinar mata sendu Juna, ia tidak bisa untuk tidak senang. Dia senang sekali. Bahagia mendapatkan persetujuan atas niat baiknya dan Xena.

“Terimakasih banyak, Om. Dan ya, saya akan banyak belajar sebelum itu. Kalau boleh, apa saya juga boleh menghubungi Om sewaktu-waktu?” tanyanya.

“Oh, boleh. Dengan Senang hati. Kamu kan akan jadi anak saya juga.” jawab Juna, membuat Ale lagi-lagi tersenyum senang. Ia kemudian berterimakasih, mencium tangan Juna sembari berjanji dalam hatinya akan benar-benar mengingat pesan Juna. Juna menepuk-nepuk pundak Ale yang membungkuk di hadapannya. Setelahnya, mereka saling diam, larut di dalam pikiran masing-masing, hanya suara gemericik air yang terdengar. Mereka bertahan seperti itu untuk beberapa lama, sebelum Juna akhirnya kembali bergumam. Gumaman yang pelan—pelan sekali, seakan berbicara dengan dirinya sendiri.

“Jadi, 6 bulan lagi ya.” gumamnya.

Membuat sejuta pertanyaan kembali singgah di pikiran Ale. Dan dengan begitu, perasaan mengganjal dalam dirinya yang Ale tidak tahu pasti apa—-menetap.

//cw: kiss

Xena selalu suka menghabiskan waktu dengan Ale, begitu juga dengan Ale yang bahkan seringkali mampir ke apartemen Xena hanya untuk bertemu selama satu sampai dua jam, sebelum akhirnya kembali pulang ke rumah. Kadang Ale datang menjemput Xena di kantor lalu pulang ke apartemen Xena bersama-sama, di perjalanan pulang mereka seringkali bernyanyi bersama—sekencang yang mereka bisa, begitulah cara mereka menyembuhkan lelah.

Di apartemen Xena, biasanya mereka berbincang, mengobrol tentang banyak hal. Kadang mereka hanya beristirahat bersama, duduk di sofa cokelat ditemani teh hangat sembari menonton acara televisi. What they do don’t really matter for them—-it’s the presence that matters the most, for them.

Apartemen Xena sudah menjadi saksi bisu banyaknya hal yang mereka lakukan bersama, dari membaca buku, menonton Stand Up Comedy, menonton Harry Potter yang berkali-kali mereka ulang, memasak bersama (meskipun kegiatan masak itu seringkali berakhir dengan Ale yang akhirnya hanya memperhatikan Xena sembari sesekali membantunya dengan kegiatan-kegiatan ringan seperti mengambilkan pisau atau sendok), mencoba berbagai jenis masker wajah, dan banyak hal lainnya. They really love to spend time together.

Seperti halnya malam ini, setelah banyak lelah yang Xena rasa, kehadiran Ale cukup untuk membuat wajahnya yang muram kembali bersinar. Setelah sebelumnya meluapkan kembali emosinya karena masalah di kantor, yang kemudian diakhiri dengan Ale yang memberikan berbagai solusi terkait Xena yang bingung tentang urusan karirnya, mereka sekarang merebahkan tubuh di karpet, menatap langit-langit, sama-sama terdiam. Ale memiringkan tubuhnya, menghadap Xena yang langsung mengikuti. Setelah bertatapan selama beberapa saat, Ale membuka suara.

“Aku pernah ngomong ini nggak ya, Na. Aku suka amazed aja sama cara kita ketemu——kamu yang tiba-tiba tau aku dari laguku, terus tiba-tiba kepikiran untuk cerita sama aku di DM, aku yang baca semua itu sampai akhirnya kita jadi kaya sekarang. Lucu juga ya, aku belum pernah bilang makasih ya, Na? Makasih karena meskipun hal buruk terjadi di hidup kamu, kamu nggak lantas marah sama seluruh isi dunia. Selalu coba untuk kasih kesempatan lagi buat diri sendiri coba hal baru. Contohnya, kamu yang abis sakit hati sama—bentar agak berat ngomongnya—mantan kamu itu tapi nggak lantas mikir semua cowok akan nyakitin kamu kaya gitu, you give me a chance, to get to know you, to be close to you. And I sincerely thank you for that. Maaf, aku ngomongnya kebanyakan ya?”

Xena terkekeh mendengar kalimat terakhir Ale barusan, “Ale, kalimat terakhir kamu itu kalimat khas aku, nggak boleh kamu ambil.”

Ale ikut tertawa, “Hahahaha—-kenapa ya, keseringan denger kalimat itu aku jadi keikutan kan. Tapi serius Na, I thank you for giving me a chance.”

“Instead of giving you a chance, I’ve been trying to give myself a chance, and I don’t regret this choice that I made. Aku juga merasa senang, karena aku kasih diriku kesempatan buat kenal kamu, Le. Kamu mau tau nggak Le, kenapa aku bisa kaya gitu?” Yang ditanya langsung menyunggingkan senyum, mengangguk dengan mantap.

“Karena Bunda.” Jawab Xena dengan senyum yang sama lebarnya. Ale manggut-manggut, semakin yakin kalau Bunda Xena adalah Ibu yang luar biasa. “I know it, she made you, you.” Ujarnya kemudian, menanggapi.

“Bunda pernah kasih aku surat pas aku ulang tahun waktu SD. Setiap aku kecewa sama orang atau keadaan, aku suka baca lagi surat itu. Surat dan kado buku diary gitu. Dulu aku nggak punya temen, aku cuma ngobrol sama kucingku, si Mochi. Aku sempat kecewa sama orang, sebenarnya ini drama anak SD tapi ternyata berpengaruh banget buat aku. Aku jadi nggak mau kenal orang lagi gitu deh. Aku selalu sendirian—kemana-mana sendirian, main sendirian. Aku nggak mau temenan lagi sama orang, menurutku mereka semua sama aja, sama-sama bisa kasih luka dan kecewa buat aku, agak sensitif untuk pikiran anak SD, ya? But that’s just how it was. Aku sekecewa itu, but then, Bunda kasih aku surat di hari ulang tahun aku. Mau liat? Bentar, aku masih simpan surat itu—lengkap sama diary-diarynya yang masih aku suka tulis juga.” Xena beranjak dari posisinya, berjalan menghampiri laci meja kerjanya, kemudian datang kembali membawa buku diary hijau. Ale ikut duduk disebelah Xena yang sekarang sudah membuka halaman demi halaman sembari tersenyum, mengingat banyak memori dari buku tersebut. Rasanya aneh ketika satu barang bisa mendatangkan banyak ingatan, hanya dengan buku diary tersebut, ia bisa menoleh kembali ke banyak hal yang sudah terjadi di hidupnya.

Xena membuka bagian tengah buku diary yang didalamnya terselip sebuah surat, “Ini surat dari Bunda.” Ale manggut-manggut, merapatkan duduknya dengan Xena, mereka kemudian membaca surat tersebut secara bersamaan.

“Selamat ulang tahun anak Bunda yang lagi banyak cemberutnya. Semoga sebentar lagi anak Bunda bisa banyak senyum lagi. Sayang, kamu tau kenapa kita baiknya tau rasa sakit hati? Itu supaya kita belajar untuk nggak buat orang merasakan sakit karena kita, karena kita tau pasti bagaimana rasanya sakit. Nana, orang di dunia ini banyak macamnya, semakin kamu besar, kamu akan semakin banyak ketemu manusia dari jenis A sampai Z. Kebahagiaan yang kamu temukan di orang A, belum tentu bisa kamu temukan di orang B, begitu juga dengan kekecewaan. Kalau kamu sudah besar, kamu pasti makin paham. Anak Bunda, jangan marah sama dunia lama-lama, ya?”

Ale menatap mata Xena setelah selesai membaca suratnya, “She’s amazing.”

Xena tersenyum, lalu mengangguk setuju, “I know, right? Karena surat Bunda ini, aku berpikiran kalau nggak semua orang bakal kasih kecewa yang sama buat aku, Le. Dengan kasih diriku kesempatan, aku udah ngelakuin hal yang baik buat diriku sendiri. Ya tentunya—-berbagai hal juga perlu diperhitungkan untuk menerima orang masuk ke hidup kita. Dan kamu, lolos.”

Xena kembali membuka halaman diary tersebut, “Liat deh, abis Bunda kasih ini, aku langsung jadiin diary ini kumpulan wishlist aku, yang pertama aku tulis itu 4 keinginan, semuanya terkabul, ‘Punya teman’, dan aku berhasil checklist ini pas SMP, aku punya beberapa teman. Terus yang kedua, ‘Punya sahabat’, aku berhasil checklist ini pas SMP juga, Dean itu juga sahabatku dulu. ‘Punya banyak buku keren’, aku bisa checklist ini pas SMA, dan ‘Jadi penulis’ aku bisa checklist ini tahun lalu. Setelah nulis wishlistnya pas SD.”

Xena membuka halaman selanjutnya, berhenti sebentar setelah baris permintaan pertama membuatnya sedikit merasa sedih, Ale merangkul Xena, menggenggam lengan atasnya erat, mencoba menenangkan Xena dengan caranya. “Bisa terus sama Bunda, itu keinginanku yang nggak kekabul, tapi nggak apa, Tuhan lebih sayang Bunda.”

Xena kembali tertawa kecil setelah membaca baris selanjutnya, “Keinginan lain lagi, Fallin love with real man, aku sempat nulis ini juga karena dulu aku kebanyakan ngayal cowok fiksi. Terus akhirnya keinginanku itu terkabul, pas aku jatuh cinta sama—————” Xena melirik Ale, sedikit ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

“Nggak apa, lanjutin, cuma masih suka jealous aja kalau kamu nyebut dia, dikit. Ada namanya lagi tuh di buku itu.”

“Udah kucoret!!”

“Iya, nggak apa, lanjutin.”

“Oke, sama he-who-must-not-be-named deh kalau gitu, tapi akhirnya nggak berakhir baik. Dan aku nggak nyerah, aku tulis lagi di bawahnya, fallin love with real—real man, dan aku checklist waktu aku jatuh cinta sama kamu, Le. Setelah aku contemplating, what if it doesn’t work out? Terus aku versi kanan jawab what if it does?

Ale tersenyum lebar, “And it really does work out.”

Xena mengangguk, “Kalau dipikir-pikir, aneh nggak sih? Aku yang fans kamu ini nih—-dulu cuma bisa mikirin kamu yang bahkan nggak kenal aku, tiba-tiba kamu dm aku, minta nomor aku, kalau dipikir-pikir, itu aneh banget! Rasanya kaya nggak bisa dipercaya, but look at me, setelah ngebiarin hal aneh itu terjadi di hidup aku, I got my own fairy tale, with you! Xena yang dulu mana mungkin bisa percaya kalau Ale Madheva yang video ketawanya sering dia puter-puter tiap lagi nangis supaya jadi ketawa—sekarang jadi pacarnya? Pingsan kali dia kalau tau di masa depan Ale Madheva bakalan jadiin apartemennya rumah kedua! Hahahaha. Kejang-kejang kali, kalau dia tau di masa depan dia bisa peluk dan ci——” Xena menghentikan ocehannya setelah melihat ekspresi Ale yang tiba-tiba berubah jadi senyum menyebalkan. “Nggak jadi, wajahmu mencurigakan.”

Ale tertawa, “Kenapa kamu curigaan banget? Cium, aku lanjutin.”

Xena kembali melanjutkan, “Gila, rasanya aku pengen tau reaksi Xena yang dulu kalau dia tahu masa depannya kaya gini.”

Ale manggut-manggut, “The future is indeed a mystery.”

“Iya, misteri banget. Kadang buat takut, ya nggak sih?”

“Sometimes. Kalau kamu, takut apa?”

Xena menelan ludah sejenak, kemudian lanjut berbicara, matanya menatap Ale dalam, suasana berubah menjadi sedikit lebih serius, “Kamu tau nggak Le? Kamu berpengaruh banget buat mood aku. Aku takut. Takut kalau jadinya terlalu bergantung sama kamu, padahal kita juga nggak pernah tau apa yang bakalan terjadi di masa depan. What if——what if——-things go wrong? Aku bakal kaya gimana ya, kalau tiba-tiba kamu nggak ada?”

“Kenapa tiba-tiba mikir aku nggak ada?”

“Kepikiran aja, kamu tau kan Le, aku banyak kehilangan. Aku kepikiran seberapa berpengaruhnya kamu buat aku sekarang, kayanya aku bakal hancur banget kalau kamu nggak ada, Le.”

Tatapan Ale melembut setelah melihat wajah Xena yang terlihat khawatir, “Trust me, aku juga. Aku bahkan nggak bisa bayangin. Aku nggak bisa janji sama kamu untuk terus ada, karena bener kata kamu, kita nggak pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan. But instead, aku mau janji, I’ll try my best for you. Jadi jangan khawatir, ya? Kita seneng-seneng aja sekarang, saling berdoa hal-hal yang kita khawatirin nggak bakal kejadian.” Ujarnya kemudian sembari menggenggam tangan Xena erat, ibu jarinya kembali mengusap punggung tangan Xena, Xena tersenyum.

I’ll try my best for you, what a thoughtful words.

“I’ll try my best for you too. Thank you, it calms me down. Semoga, kita sama-sama terus, ya?” Xena menatap Ale penuh harap, Ale mengangguk, kemudian mengecup dahi Xena. “Semoga. Aku juga maunya gitu.”

Xena kembali beranjak dari duduknya, “Yaudah aku mandi dulu deh Le, aku belum mandi tau dari tadi, bentar ya.”

Ale mengangguk-ngangguk sembari memasukkan yupi ke dalam mulutnya. Setelah mandi kilat selama 20 menit, Xena menghampiri Ale yang kini sudah berpindah posisi, ia berdiri di depan kompor listrik, sedang memasak sesuatu.

“Kamu lagi ngapain?” Tanya Xena yang tiba-tiba sudah ada di belakang Ale. Ale menoleh, memasang wajah polos, “Masak….mie?” Jawabnya dengan nada yang lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan.

Xena mengernyit dan memanyunkan bibirnya sebal, Ale melongo—masih dengan wajah polos, “Kok mie lagi sih? Perasaan kemarin kamu udah makan mie, kemarinnya juga, kemarinnya lagi juga. Ale, kamu udah makan mie 3 hari berturut-turut!! Aku tau deh ini kamu bukan laper, orang tadi kita udah makan. Kamu iseng kan?”

Ale menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Tiba-tiba pengen, Na.”

Xena berjalan makin dekat, kali ini mereka berdiri berhadap-hadapan, “Ale, bener deh, kamu harus sayangin perut kamu sendiri dong. Kamu tuh sibuk, capek, kamu harus jaga pola makan kamu. Kalau kamu mau apaan bilang aja deh jangan malah makan mie terus. Udah, kamu dengerin aku dulu jangan pasang muka cengegesan gitu. Aku nggak lagi bercanda. Ini padahal kamu tuh nggak kaya gini loh dulu, sekarang kenapa jadi suka banget mie instan? Ya nggak apa sebenernya, tapi nggak tiap hari juga, Ale. Beneran deh, lama-lama aku——”

Ale maju satu langkah kemudian mengecup bibir Xena singkat. Membuat Xena sedikit terlonjak, membelalakkan matanya tidak percaya, “Ale! Aku lagi ngomong.”

Ale nyengir, “Oke oke maaf, ayo lanjut lagi ngomelnya.” Katakanlah Ale gila, karena melihat Xena mengomelinya justru membuatnya makin merasa dicintai, tanpa sadar ia kembali tersenyum memperhatikan Xena yang melanjutkan omelannya.

“Beneran deh, habis ini aku nggak mau stock mie lagi disini. Kamu udah 3 hari berturut-turut makan mie. Sekarang mau lagi? Maaf aku ngatur, soalnya kamu suka sakit perut kalau makannya nggak bener, aku nggak suka kamu sakit. Nanti kalau sakit perut lagi, kamu yang kesakitan sendiri kan padahal? Terus nanti ngeluh-ngeluh bilang sakit perutnya, terus—”

Ale kembali mendekat dan mencium bibir Xena, lagi-lagi membuat Xena terbelalak. “Ale!!” serunya setelah Ale kembali mundur satu langkah.

“Maaf maaf, oke lanjut lagi.” Ujar Ale sembari terkekeh, geli melihat Xena yang melotot galak.

“AH NGGAK TAU AH! AKU LUPA MAU NGOMONG APA TADI! Yaudah, pokoknya jangan makan mie lagi dulu, ini buat aku aja, karena terlanjur udah dimasak.” Ujar Xena yang langsung mematikan kompor setelah mie terlihat sudah masak.

“Yaudah, yaudah. Iya aku nggak makan mie. Yaudah kamu duduk aja ini sekalian aku taro mangkok.” Jawab Ale menuruti.

Xena menyantap mie instan dengan lahap, Ale ikut duduk di meja makan—memakan buah semangka yang sempat Xena potong untuk mengganti mie yang tidak jadi ia makan. Ale melirik Xena yang menyantap mienya ala-ala bintang iklan mie instan, sengaja meledek Ale.

“Biasa aja makannya, nggak usah kaya bintang iklan mie instan gitu, kamu lebay!!” Seru Ale sebal, membuat Xena tergelak.

Xena menyeruput kuah mie nya lagi, kemudian memejamkan matanya, kembali berakting seolah ia adalah bintang iklan mie instan, “Emmmmm, tapi serius, mie rasa soto emang enak. Makasih ya, udah bikinin mie soto.”

Melihat Xena yang menikmati mie instannya, pertahanan Ale sedikit goyah, “Bagi dong, satu sendok aja.”

“Nggak.” Jawab Xena singkat.

“Please?” Ale kembali memohon. Kali ini ia menggeser posisi duduknya agar makin dekat dengan Xena.

“Yaudah terserah, nih.” Xena mendekatkan mangkok berisi mie instan ke hadapan Ale. Ale terkekeh melihat Xena yang tampak galak, ia kemudian berdiri dari duduknya, tangan kanannya memegang dagu Xena, mengangkatnya, membuat mereka akhirnya saling bertatapan, Xena hanya diam, membuat Ale tersenyum simpul, Ale lalu mengikis jaraknya dengan Xena, mencium bibirnya lembut.

“Nggak jadi, mienya. Already tasted it, rasa soto.” Ujar Ale sembari tersenyum setelah tautan bibir mereka terlepas. Ale kemudian berlalu, meninggalkan Xena yang membatu di tempatnya.

Xena kembali ke ruangan dengan wajah yang cerah. Membuat Ale tersenyum lebar karena semakin yakin semuanya berjalan dengan baik. “Ibu sama Zeta barusan ketemu temennya Ibu, jadi nyangkut dulu.” Xena mencuci tangannya di westafel, kemudian mengisi gelas Ale yang kosong dengan air, semburat senyum masih terlihat dari wajahnya, mata Ale terus mengikuti gerakan Xena, senang melihat wanitanya terlihat sebahagia ini. Setelah menyodorkan gelas berisi air minum pada Ale, Xena langsung memfokuskan perhatiannya pada Ale, mengecek kondisinya, “Kamu nggak ngerasa yang aneh-aneh kan? Pusing? Apapun?”

Ale menggeleng, kemudian menggenggam tangan Xena yang kini sudah berada disebelahnya. “No. In fact, I feel good. Kayanya aku udah sembuh deh. You seem happy, I’m glad and I feel relieved.” ibu jari Ale bergerak mengusap punggung tangan Xena, sebelum akhirnya ia menyadari sesuatu, “Sebentar, kamu nangis? Kok mata kamu sembab?” Tanya Ale yang langsung mengelus pipi Xena, jemarinya kini meraba bagian kantung mata Xena yang sedikit menggelap karena menangis tadi.

“Was it a happy tear?” Ale menebak, ia tahu bahwa Xena sangat mudah menangis. Karena sedih, senang, hal yang lucu, ia bisa menangis karena banyak hal. Xena mengangguk, ikut memegang tangan Ale yang masih mengusap pipinya, “It’s a happy tear, no need to worry. I can’t help it, I’m super happy!!” Jawab Xena sembari menguatkan genggamannya, dengan hanya melihat mata Xena yang sekarang semakin berbinar, Ale tahu pasti kalau Xena benar-benar senang, ia tersenyum kemudian mengubah posisi duduknya, kali ini mereka benar-benar berhadapan. “Jadi, ada cerita apa?” Tanya Ale, masih sambil tersenyum.

“Ibu kamu keren banget, sama kaya kamu dan Zeta. Ibu kamu keren! It’s such a blessing, you know, meeting another you.” Ale menggeser posisi duduknya di kasur, membiarkan Xena ikut duduk disebelahnya.

“And you know what, aku tadi ngomongin banyak buku sama Ibu kamu. Aku berasa lagi ngobrol sama Bunda, karena dulu aku juga suka ngobrolin buku sama Bunda.”

“Aku jadi tiba-tiba inget, dulu pas Bunda pertama kali lihat aku baca buku romance, kayaknya pas aku SMP kelas 1 atau 2 gitu, Bunda nangis sambil bilang ‘Anak Bunda ternyata udah gede, yaampun.’ Aku gatau kenapa tiba-tiba inget itu. Bunda sering nangis karena hal-hal kaya gitu—-kaya aku ya? Terus ya aku juga jadi ikutan nangis.”

“Kamu emang bener-bener mirip Bunda kamu, Na.” Ujar Ale menanggapi.

“Maksudnya, sama-sama cengeng ya?”

Ale menggeleng, “No, soft and warm.” Jawabnya, membuat Xena tersenyum dari telinga ke telinga. Lagi-lagi, Ale berhasil membuat salah satu hal yang tidak ia sukai dari dirinya jadi terasa istimewa. “Kamu tau, Le. Kamu selalu buat hal-hal yang nggak aku suka dari diriku jadi terasa spesial, tau nggak?”

“It is special, literally.” Ujar Ale dengan nada tulus, he really means it.

“Pertama aku yang banyak omong ini, aku yang suka cerita dan bawel, aku yang loud, kamu bilang justru itu hal yang bikin kamu mikir aku menghargai banyak hal termasuk hal kecil sekalipun. Kamu buat sifatku itu—yang kayanya emang udah nggak bisa aku ubah—jadi spesial, padahal aku sempat merasa sebal karena itu. Terus sekarang ini, aku tuh sempat sebal juga sama diriku sendiri yang gampang banget nangis. Kamu tau? Aku kalau liat pengumuman pemenang Stand Up Comedy itu bisa nangis. Orang lain bersorak sorai, aku nangis. Aku merasa aneh—-but once again, you help me accepting the fact that I am me, and there’s nothing wrong with that.”

Kali ini Ale mengubah lagi posisi duduknya, badannya yang sebelumnya bersandar ke kepala kasur kini ia miringkan, Xena mengikuti, sekarang mereka saling duduk bersila di atas kasur dengan posisi berhadapan. Ale menatap mata Xena dalam, mencoba menunjukkan kalau ia benar-benar serius, “There’s nothing wrong with that. There's nothing wrong with you being loud, as long as I'm with you, I'll always listen. And there's nothing wrong with you being a cry baby, as long as I'm here, I'll wait until you finish crying and wipe your tears for you. In fact, those things make you—you, I love the fact that you're you, always. I mean it.”

Xena kembali tersenyum, terenyuh, “I know you mean it.” Jawabnya sembari mengacak-acak rambut Ale.

“Ohya Ale, kamu tau, Ibu kamu juga berniat untuk nonton Stand Up Comedy Raditya Dika, kayanya acara kita buat nonton show itu bakalan jadi acara keluarga.” Ujarnya lagi sembari terkekeh.

“Hah? Yah!! Padahal itu kan acara date kita.”

“Kita bisa date kapan aja, dimana aja, gapapa ya?”

“I’m okay if you’re okay with that.”

“I’m okay, kok. Aku senang malah. Semakin rame semakin asik kan?” Ale tersenyum lebar, wajahnya menampakkan ekspresi orang-orang yang bangga melihat anaknya juara 1 di kelas.

“Ohya dan Ale, kamu tau?! Ibu kamu tadi cerita tentang kisah cintanya sama Ayah kamu. Ternyata dulu mereka sempat jadi teman sekelas, saling suka, tapi nggak saling ngomong. Sampai akhirnya move on masing-masing, dan tiba-tiba ketemu karena satu project setelah udah sama-sama kerja. Terus cinta lamanya bersemi lagi. Lucu banget!! Bukti nyata kalau jodoh pasti bakalan ketemu. Ale—-aku ngocehnya kebanyakan ya?”
Ale yang sudah menduga kalau pertanyaan semacam ini akan keluar dari mulut Xena merapatkan bibirnya untuk menahan tawa, “Aku udah tau, pasti di sela-sela kamu cerita, kamu bakal ngomong gini. Dan kamu mungkin udah tau, aku bakal selalu ngomong hal yang sama, gapapa, aku senang dengar kamu cerita.”

Lagi-lagi Xena tersenyum, rasanya otot muka Xena bisa pegal karena sedari tadi senyum enggan lepas dari wajahnya. Xena kembali bercerita, “Kamu mau tau nggak kenapa aku suka baca buku romance?” Tanyanya. Ale mengangguk, terlihat antusias.

“Aku suka baca buku romance karena rasanya menyenangkan aja. Dengan cuma baca buku, aku bisa tau gimana rasanya jatuh cinta—bahkan ketika aku nggak lagi merasakannya. Dengan baca buku romance, aku bisa jadi macam-macam karakter orang jatuh cinta. Aku juga bisa ngerasain gimana rasanya sakit hati, dan cara bangkit dari situ. Aku suka ketika aku bisa ngerasain rasa sakit selayaknya orang yang patah hati, terus sama-sama belajar bangkit dari situ bareng karakternya. Kadang aku merasa kalau buku romance self improvementnya itu seringkali bagus banget, aku malah suka belajar dari sana tentang kehidupan. Buku romance bukan sekadar buku fiksi menye-menye kaya yang orang lain bilang, buku romance itu buku yang penuh rasa, menurutku.”

“Aku juga suka sensasi kupu-kupu yang aku dapatin dari buku romance, ketika aku bisa ngerasain rasa bahagia selayaknya orang yang dicintai. Aku nggak pernah nyangka, aku bakal dapatin hal kaya gitu di kehidupan nyataku sendiri. The love is real, now. Kamu tau, Le? Kamu kaya karakter fiksi yang aku baca di buku romance dan hidup jadi nyata. You’re so real, yet so unreal. Too good to be true, but it is true.”

“I’m real, you can make sure of it.” Ale mengarahkan tangan Xena ke wajahnya, membuat jari-jari Xena menyentuh bagian pipinya. “See? I’m touchable, I’m real, here, in front of you.”

Xena terkekeh, setelah itu, jarinya asyik menyusuri setiap senti wajah Ale, dari pelipis, kelopak mata, hidungnya yang mancung, sampai ke bibirnya. Bahkan dalam kondisi sakit, Ale tetap terlihat mengagumkan. “You know what, I always love this mole on your right cheek. It makes you cuter.” Ujarnya sembari menunjuk tahi lalat di pipi kanan Ale.

“And I always love this little mole on the upper of your lips, it makes you prettier.” Ucap Ale yang ikut asyik mengagumi wajah Xena di depannya. Ale hampir lupa sesaat kalau dia sedang sakit karena pikiran untuk mencium Xena sempat terlintas, ia menggelengkan kepalanya pelan, kemudian balik berbicara, “Lucu banget nih, kalau lagi kaya gini tiba-tiba Zeta sama Ibu masuk.” Ale tersenyum iseng, membuat Xena tersadar kalau hal itu mungkin terjadi. Xena langsung bersiap untuk turun dari kasur Ale namun Ale menariknya untuk kembali duduk. “No, Ibuku pasti lama kalau ngobrol sama temennya.”

Ale kembali menatap Xena dalam, menyusuri helai rambutnya dengan jemarinya, “Makasih ya, Na. Makasih udah mau nemenin aku disini. Your presence makes me feel better. Lemas juga jadi nggak begitu kerasa, aku nggak lagi gombal, I really mean it.”

Xena tersenyum sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya dengan Ale, membuat Ale sedikit tersontak, Xena lalu mengecup singkat dahi Ale, “We’re each other’s sanctuary, remember? So of course, aku bakal temenin kamu. You can always count me in, okay? Because I love you.”

Kali pertama, semenarik apapun itu—-tetap selalu menakutkan. Setidaknya begitu bagi Xena. Kadang ia benci pikirannya sendiri, ia benci kekhawatirannya pada sesuatu yang bahkan belum tentu terjadi. Asumsi dan skenario di kepalanya seringkali membuat pikirannya lelah, bahkan sebelum hal yang dia khawatirkan terjadi. She hates being an overthinker and it really shows. But there’s something about Ale that seems to tame her and her wild mind, he always has a way to bring her back to her senses, and she loves that fact. Sometimes, it’s nice to have someone who will be around and say ‘It’s okay’ ‘Everything’s going to be okay’, and making sure you know, you're not alone. She’s forever grateful for that. Dan lagi, seperti beberapa kekhawatiran yang sebelumnya pernah ia rasakan, kekhawatirannya kali ini juga tidak terjadi. Lagi, it was just her and her wild mind.

Zeta yang sempat asik mengetik dengan handphone seketika melepas handphonenya untuk ikut tertawa bersama Xena dan Ibunya yang sedang membahas Stand Up Comedy. Wanita paruh baya yang wajahnya benar-benar terlihat seperti Ale versi wanita dengan setelan kemeja coklat ini tertawa kencang, sesekali memukul-mukul Xena pelan dengan tangan kanannya, membuat Xena tertawa makin kencang karena menyadari darimana Ale mendapatkan kebiasaan tersebut.

“Stand Up Comedy bener-bener seru ya, Na. Ternyata Ibu suka banget.” Ujar Ibu Ale—Reni dengan sisa tawanya. Xena mengangguk bersemangat, merasa senang karena semakin banyak orang disekitarnya merasakan hal yang dia rasakan.

“Apa yang bikin kamu pertama kali suka Ale, Na?” Kali ini pertanyaan cukup serius terlontar dari mulut Reni, membuat Xena terkejut sedikit karena perubahan topik yang tiba-tiba.

Xena berpikir sebentar, sebelum akhirnya menjawab, “Hmm, sebenarnya aku kenal Ale itu dari lagunya, Bu. Liriknya cantik, lagu Beg For Love. Mungkin sejak itu, aku akhirnya suka atau kagum sama Ale. Emang kata-kata itu ternyata punya kekuatan. Kita gak akan pernah tahu seberapa berartinya kata-kata kita buat orang lain. Dan bagi aku, lagu Beg For Love itu liriknya berarti banget.”

Reni manggut-manggut, secara tiba-tiba lantunan lagu Beg For Love dari Ale memenuhi seisi kafe, membuat Xena, Reni, dan Zeta saling pandang kemudian tertawa pelan. “Kaya disetujui dunia, tuh.” Ujar Reni sambil tersenyum iseng.

“Terus, apa yang buat kamu sadar kamu jatuh cinta sama Ale, Na?” Tanya Reni lagi.

Xena tersenyum kecil, ia tersipu, bagaimanapun, membahas hal seperti ini dengan Ibu dari kekasihnya yang mungkin-akan-menjadi-Ibunya-juga membuatnya sedikit malu.

“Kayanya, setelah aku sadar aku pengen selalu ketawa bareng Ale, Bu. Setelah aku sadar kalau ternyata ketawa bareng sama Ale bisa semenyenangkan itu. Setelah aku sadar kalau mungkin, pertemuan kita yang aneh itu justru bisa bawa kita ke hubungan yang istimewa. Setelah aku sadar, kalau aku mau lihat lebih banyak hal tentang Ale, mau belajar banyak hal tentang Ale, dan mau tahu hal apa lagi yang bisa kita lakuin sama-sama—-selain ngobrol dan ketawa bareng. Setelah aku sadar kalau aku bisa percaya Ale, dan Ale bertanggung jawab untuk setiap langkahnya, aku jadi merasa yakin kalau aku benar-benar sayang sama Ale.” Jawab Xena sembari tersenyum, membayangkan banyak hal yang sudah ia lalui bersama Ale, ia terbawa suasana, membuat senyum di wajah Reni melebar. Zeta sudah siap untuk meledek Xena dan jawabannya sebelum Reni kembali berbicara dengan wajah serius, tatapannya lurus kedepan, menatap orang yang berlalu lalang tanpa mengindahkan mereka.

“Ale itu laki-laki yang bertanggung jawab, bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bertanggung jawab atas perbuatan dan perkataannya, bertanggung jawab atas pilihan dan janjinya, juga orang yang ada di lingkup tanggung jawabnya. Jadi dengan memilih kamu untuk jadi pasangannya, artinya dia udah siap untuk bertanggung jawab atas pilihannya itu, setidaknya itu yang Ibu lihat dari Ale, dan ternyata kamu juga lihat dan yakin sama hal itu, ya. Kamu sempet takut gak, Na? karena Ale itu artis dan cukup terkenal?”

Xena mengangguk, jujur. “Sempet, aku sempet mikir. Tapi aku tiba-tiba sadar, hal yang paling menakutkan dari takut itu sendiri adalah kalau kita terus menerus merasa takut. Kalau aku terus merasa takut, aku mungkin kehilangan kesempatan untuk dapat bahagia itu. Lama-lama ketakutan karena itu berubah jadi ketakutan kalau aku kehilangan kesempatan untuk dapat bahagia itu——sama-sama takut, sih. Tapi takut yang justru buat aku memilih hal yang tepat, kayanya.” Kali ini, mata Xena dan Reni bertatap, Reni kembali tersenyum kemudian mengelus kepala Xena lembut.

“What a wise words, hal yang paling menakutkan dari ketakutan itu sendiri adalah kalau kita terus menerus merasa takut, Ibu setuju.” Xena menikmati usapan di kepalanya dengan senyum yang lebar, ia benar-benar merasa sedang bersama Ale sekaligus merasakan keberadaan Bundanya yang sama lembutnya.

“Ale itu…..orang yang super selfless.” Ujarnya lagi. Xena diam, menunggu Reni melanjutkan.

“Dia selalu berusaha ada untuk orang disekitarnya. Selalu berusaha jadi Ale terbaik untuk orang disekitarnya yang dia pedulikan. Dari dulu, Ibu nggak pernah dengar dia ngeluh karena kegiatannya. Bahkan dengan tanggungan dan tanggung jawab sebesar sekarang, jadi penyanyi yang cukup terkenal, punya studio rekaman, meskipun Ibu tahu dia pasti capek dan kadang stress, Ibu nggak pernah dengar dia mengeluh.”

“Dia nggak mau ngerepotin orang, mungkin itu kata yang pas, walau sebenarnya Ibu juga gak tahu. Atau mungkin terbiasa menelan sendiri semuanya—-kayanya turunan dari Ayahnya.” Kali ini Reni tertawa kecil.

“Bahkan, pas salah satu anak labelnya kena kasus narkoba sampai Madheva Records jadi korban padahal masih terbilang baru, Ale sampai rumah tetap kaya biasa—-tegar, walau wajahnya nggak bisa bohong, dia capek.”

“Selalu coba cari solusinya sendiri.” Lanjut Reni, ia menenggak minumnya sebentar, kemudian kembali berbicara, “setiap dia ngerasa sakit, dia nggak pernah minta orang lain untuk ini ataupun itu, kadang malah dia masih tetep kerja.”

“Jadi, Ibu seneng banget, karena sekarang pas dia sakit dia mau minta tolong sama kamu untuk nemenin dia, sama-sama dia.”

“Banyak hal yang berubah dari Ale semenjak ketemu kamu, Na. Ale jadi lebih bahagia, terasa lebih hidup dan lengkap, mungkin itu kalimat yang pas. Ale setelah ketemu kamu itu versi Ale favorit Ibu.” Reni menatap Xena lekat, kemudian tersenyum. “Jadi makasih sayang, makasih udah datang ke kehidupan Ale ya. Makasih udah mau ngalahin rasa takut kamu untuk bareng sama Ale, makasih udah kasih kesempatan buat diri kamu mencoba. Percaya, kebahagiaan yang kamu dapet itu sama besarnya dengan kebahagiaan yang Ale juga dapet. Ternyata anak setangguh Ale juga butuh seseorang untuk ada di sisinya, nemenin dia di segala masa sulitnya. Ibu senang karena orangnya kamu. Kamu bisa anggap Ibu seperti Ibu kamu sendiri, karena Ibu juga sudah menganggap kamu seperti anak Ibu sendiri.” Lagi, Reni mengusap lembut kepala Xena dengan tangan kanannya, tangan kirinya menggenggam tangan Xena. Xena tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. Banyak perasaan yang tidak bisa dideskripsikan datang, membuatnya bahkan tidak bisa berkata-kata.

Tidak dia sangka, mengalahkan satu ketakutan membuatnya merasakan banyak bahagia yang bahkan tidak bisa ia deskripsikan. Kebahagiaan yang menghangatkan hati, sekaligus terasa tidak nyata. Hanya dengan mengalahkan satu ketakutan, ia berhasil sampai pada bahagia yang selama ini ia cari. Perasaannya penuh, membuatnya tanpa sadar meneteskan air mata yang sedari tadi hanya menggenang di bawah matanya.

“Makasih——Bu.” Ujar Xena singkat, tertahan karena tangisnya yang tiba-tiba pecah. Ia menangis tanpa bersuara, Zeta yang ada di sebelahnya merengkuhnya erat, mencoba menenangkan. Banyak sekali yang ada di pikiran Xena saat ini.

“Bun, your Nana is really safe and happy now, Bun I hope you can see me happy now, I’m on the right hand, I’m on the right path.” Ujarnya dalam hati sembari menangis dalam dekapan Reni yang memeluknya erat sembari mengusap-usap punggungnya.

When one door closes, another opens. She believes that for sure. Her past relationship ended badly, but it brings her here—-here, in this very place, all happy and feeling so full. Now, she can say she’s a firm believer that everything happens for a reason. For her, it’s not just a lucky coincidence again, it’s a destiny.

“Ale, it’s been a long time since I’ve been me, thank you, thank you for coming into my life.”